Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Soal Kasus Djoko Tjandra, Otto dan Kejagung Saling Serang

4 Agustus 2020   17:35 Diperbarui: 4 Agustus 2020   17:41 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BOLEH jadi, seluruh warga negara Indonesia saat ini sangat akrab dengan sosok yang bernama Tjan Kok Hui, alias Djoko Tjandra. Betapa tidak, sosok pria kelahiran 27 Agustus 1951 ini sempat membuat geger seantero negeri, khususnya pihak pemerintah Indonesia.

Ya, buronan kelas kakap 11 tahun atas tuduhan kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, senilai Rp. 904 milyar tersebut, kurang lebih sebulan lalu "keluar" dari persembunyiannya, dan berkunjung ke negara yang selama ini tengah memburunya.

Luar biasanya, kunjungan Djoko Tjandra ke tanah air seolah tidak ada yang menyadarinya. Dia, dengan leluasa bisa mengurus perpanjangan e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan, serta bisa bolak-balik Jakarta - Kalimantan dengan leluasa.

Selidik punya selidik, ternyata leluasanya Djoko Tjandra wara-wiri di tanah air tersebut dibantu oleh beberapa oknum pejabat pemerintah dan kepolisian.

Dalam perpanjangan e-KTP, Djoko Tjandra dibantu langsung oleh lurah setempat, yang bernama Asep Subahan. Sedangkan dalam hal surat perjalanan, sehingga dirinya leluasa bolak-balik Jakarta - Kalimantan, dibantu oleh Kabiro Kordinasi dan Perjalanan PPNS Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Prasetyo Utomo.

Anggota kepolisian yang membantu Djoko Tjandra tidak hanya Brigjend Pol Prasetyo, melainkan ada lagi dua anggota lainnya yang sama-sama berpangkat jendral. Mereka adalah, Kepala Divisi Hubungan Internasional Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo.

Bantuan yang diberikan oleh perwira tinggi kepolisian tersebut adalah menghapus red notice atas nama buronan Djoko Tjandra dari data Interpol. Hal ini dilakukan sejak tahun 2014 lalu.

Sudah pasti dengan tidak terdeteksinya Djoko Tjandra ke tanah air, ditambah lagi dengan adanya keterlibatan aparatur negara yang membantunya, merupakan tamparan keras bagi pemerintah sekaligus membuktikan lemahnya kedaulatan hukum di tanah air.

Mungkin merasa malu terhadap publik dan merasa dipermainkan oleh Djoko Tjandra, pemerintah melalui aparat kepolisian Mabes Polri langsung bergerak cepat untuk menelusuri keberadaan sang buronan.

Pendek kata, pihak Mabes Polri dengan bekerjasama dengan pihak kepolisian diraja Malaysia, DjokoTjandra akhirnya bisa dibekuk, kemudian di gelandang ke tanah air, pada Kamis (30/7/2020) lalu. Dan, Direktur PT Era Giat Prima ini harus mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut di hadapan hukum yang berlaku di tanah air.

Sesuai dengan aturan yang berlaku, adalah hak Djoko Tjandra untuk mendapat bantuan hukum pada setiap proses tingkat pemeriksaan. Hal ini tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 54, yang berbunyi, "Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan."

Sedangkan pada pasal 55-nya, berbunyi,"Untuk mendapatkan penasihat hukum tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya."

Berkenaan dengam hal tersebut, Djoko Tjandra pun coba menggunakan haknya dimaksud dengan menyewa pengacara kondang tanah air, Otto Hasibuan. Otto mulai akrab dan dikenal publik, sewaktu dirinya menjadi pengacara Jesica Kumala Wongso dalam kasus "kopi sianida".

Sayang, saat menjadi pengacara Jesica atas kasus pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin, pada tahun 2016 lalu, Otto tidak mampu banyak membantu. Jesica tetap dinyatakan bersalah dan divonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Kemudian, Otto juga pernah diminta untuk menjadi pengacara mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam kasus mega proyek KTP Elektronik. Namun, entah atas dasar alasan apa, Otto akhirnya mengundurkan diri jadi pengacara kasus Setya Novanto.

Otto pun beberapa waktu lalu sempat disebut-sebut diminta oleh pegiat media sosial (medos) Denny Siregar, untuk menggugat PT Telkomsel yang dianggap tidak mampu menyimpan kerahasiaan data pribadinya. Tapi, hingga kini belum jelas tindak lanjutnya seperti apa. Sampai akhirnya sekarang dia dipercaya oleh Djoko Tjandra untuk menjadi pengacaranya.

Otto Versus Kejagung

Sebagai pengacara, tentu saja sudah menjadi kewajiban Otto untuk membela kliennya. Dalam hal ini, Djoko Tjandra. Untuk itu, dia pun mulai bergerak cepat. Sebagai permulaan, Otto langsung "menyerang" Kejaksaan Agung (Kejagung).

Otto meminta Djoko Tjandra segera dibebaskan dari Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, karena penahanan kliennya tersebut diklaim tidak sah, karena beberapa alasan.

"Pada tanggal 28 Agustus 2000, DT (Djoko Tjandra) telah dinyatakan dilepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 156/Pid.B/2000/ PN.JKT.SEL ('Putusan PN')," kata Otto. Dikutip dari detikcom.

Atas putusan PN itu, kata Otto, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Namun upaya tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung nomor 1688 K/PID/2000 tertanggal 28 Juni 2001.

Lalu, pada 2009, JPU kembali mengajukan upaya hukum PK yang kemudian diputus oleh majelis hakim Agung pada 11 Juni 2009. Pada putusan PK itu Djoko Tjandra dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi. Otto menyebut PK itu bertentangan dengan Pasal 263 ayat 1 KUHAP.

Namun, pernyataan Otto tersebut langsung dibantah pihak Kejaksaan Agung. Mereka menilai, pada tanggal 31 Juli 2020, pihaknya hanya menjalani eksekusi bukan penahanan.

"Artinya tugas jaksa pada saat itu selaku eksekutor selesai terhadap penempatan napi mau ditempatkan dimana itu sudah menjadi wewenang Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Jadi kami ulangi, tugas jaksa dalam hal ini adalah eksekusi terhadap putusan peninjauan kembali nomor 12 tahun 2009. Jadi tidak ada istilah penahanan ya, jadi eksekusi," kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono, Selasa (4/7/2020). Dikutip dari LineToday.

Sebut Hari, eksekusi dilakukan berdasarkan putusan majelis hakim PK Djoko Tjandra. Sehingga menurutnya, bila ada yang mempermasalahkan Kejagung siap bertanggung jawab dalam ranah hukum.

Menarik kita tunggu apa yang bakal terjadi atas persinggungan atau perbedaan pandangan hukum diantara kedua belah pihak.

Sebagai pengacara, tentunya sudah menjadi tugas Otto untuk mencari celah atau kelemahan atas proses hukum yang terjadi pada kliennya. Sebab, bagi Otto hal ini akan dijadikan senjata buat dirinya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya selaku pengacara. Dia, tentu saja akan berbuat dengan segala cara demi memenangi kasus yang tengah ditangani.

Pun dengan pihak Kejaksaan Agung, sudah pasti mereka pun mempunyai alasan kuat terhadap apa yang sudah dilakukannya. Untuk itu, tinggal kita lihat, siapa paling kuat diantara mereka!

Namun, yang pasti, atas perbuatannya ini, Djoko Tjandra harus menerima hukuman yang setimpal. 

Bagaimanapun, kasusnya kali ini tidak hanya soal pengalihan hak tagih Bank Bali, melainkan kemungkinan ada kasus lain yang menyertainya. Sebut saja, dugaan kasus suap terhadap beberapa aparatur negara yang telah membantunya selama dirinya masih jadi buronan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun