Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Khawatir Pilkada Kerabat, AHY Mulai "Bernyanyi"

3 Agustus 2020   22:06 Diperbarui: 3 Agustus 2020   21:58 2275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak, rencananya akan digelar pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang. Pesta demokrasi rakyat lima tahunan ini akan diikuti oleh 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia.

Seperti ramai dipublikasikan dan menjadi diskursus panas sejumlah kalangan. Pilkada kali ini banyak diikuti oleh calon-calon yang teramat dekat dengan kekuasaan. Maka, tak berlebihan kalau ada pihak-pihak yang mengatakan, bahwa Pilkada serentak 2020 ini untuk calon-calon tertentu dinilai sebagai cara instan menggapai kekuasaan.

Kenapa disebut cara instan?

Pasalnya, memang tidak dipungkiri dari sekian banyak calon yang ikut berkontestasi pada Pilkada serentak kali ini, tidak terlebih dahulu menempuh proses atau jalur politik dari bawah. Misal, jadi pengurus partai dari tingkat ranting, kecamatan hingga akhirnya jadi salah seorang pengurus di tingkat kabupaten/ kota, maupun provinsi.

Dalam hal ini, beberapa calon langsung terjun pada politik praktis dengan mengikuti langsung kontestasi pemilihan kepala daerah hanya dengan mengandalkan nama besar dan kekuasaan orang tua atau kerabat dekatnya.

Artinya, mereka-mereka ini mungkin sama sekali tidak mengetahui bagaimana susah atau berdarah-darahnya para kader partai yang berjuang merangkak dari bawah. Namun, saat hendak mengikuti ajang Pilkada, namanya terpaksa harus tergusur, karena partai politik lebih mengutamakan nama-nama yang mendompleng kekuasaan orang tua atau kerabat dekatnya tersebut.

Salah seorang nama calon yang paling fenomenal dan banyak mendapat sorotan tajam publik, tentu saja putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka.

Tidak sedikit pihak yang menilai, alasan bisa lolosnya Gibran (baca: direkomendasi PDI Perjuangan) untuk maju pada kontestasi Pilwakot Solo 2020, karena pengaruh ayahnya yang merupakan orang paling berkuasa di negeri ini. Dengan kata lain, bukan lantaran kredibelitas, pengalaman atau kekuatan yang dimiliki oleh Gibran sendiri.

Jamak, jika ada pihak-pihak yang menilai pengusaha martabak "Markobar" hanya mengandalkan kekuasaan ayahnya. Sebab, jika boleh jujur, untuk Pilwakot Solo, PDI Perjuangan sebenarnya memiliki kader yang jauh lebih mumpuni dibanding Gibran, baik dari segi senioritas, mental, maupun pengalaman politik atau pemerintahan. Sosok tersebut adalah Ahmad Purnomo, yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Wali Kota Solo, masa bakti 2015 - 2020.

Selain Gibran, masih banyak lagi calon yang ujug-ujug ikut berkontestasi, karena kedekatannya dengan pihak penguasa.

Misalnya di Pilwalkot Tangerang Selatan, ada nama Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang merupakan keponakan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Putri dari Hasyim Djoyohadikoesoemo ini akan berhadapan dengan Putri dari Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, yakni Siti Nur Azizah.

Di Pilkada Kediri, Jawa Timur, ada putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramana. Sedangkan di Pilwakot Medan, Sumatera Utara, ada menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution.

Itulah beberapa nama calon yang erat dengan kekuasaan di tingkat pusat. Namun, tak sedikit pula calon-calon yang bakal terlibat pada kontestasi Pilkada serentak 2020 mendatang yang sangat dekat kekerabatannya dengan pihak-pihak penguasa setempat.

Dari sudut pandang hukum dan demokrasi, tidak ada yang salah dari keterlibatan nama-nama calon yang dekat dengan kekuasaan ini berkontestasi pada Pilkada serentak mendatang. Toh, hal ini sudah dilegalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi pada 8 Juli 2015 lalu.

Saat itu MK membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tak mempunyai  konflik kepentingan dengan petahana.

Selain itu, tidak ada regulasi yang mengatur atau mengatakan, bahwa siapapun yang hendak mencalonkan diri harus tidak ada hubungan kekerabatan apapun dengan pihak penguasa. Maka, pencalonan Gibran Rakabuming Raka cs, jelas sah-sah saja.

Hanya saja, mungkin apa yang dilakukan oleh para calon-calon tersebut sedikit mengganggu jika dilihat dari sudut pandang etika demokrasi. Sebab, diakui atau tidak, ada nama-nama calon yang mungkin sebenarnya jauh lebih pantas, malah tidak diberi kesempatan manggung. Pasalnya, jatah itu telah diberikan pada nama-nama calon yang dekat dengan kekuasaan.

Satu hal lagi, yang dikhawatirkan dari politik kekerabatan ini adalah tidak bisa dilepaskan dari conflic of interest. Artinya, pihak-pihak penguasa yang anak atau kerabatnya bertarung pada Pilkada, tentu saja tidak menginginkan kekalahan. Mereka, baik langsung maupun tidak langsung akan berupaya bagaimana caranya agar bisa memenangkan kontestasi.

Jadi, jika hal tersebut terjadi, maka sudah barang tentu pertandingan atau kompetisi fair play itu hanyalah slogan semata, atau masih jauh panggang dari api.

AHY Bernyanyi

Rupanya rasa khawatir ini juga dirasakan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dia sangat berharap, Pilkada Serentak 2020 berjalan dengan demokratis dan tak ingin ada calon kepala daerah yang diuntungkan hanya karena memiliki hubungan dengan penguasa.

AHY bicara demikian menyikapi anggapan publik tentang Pilkada Serentak 2020 menjadi ajang kerabat pejabat negara meraih kekuasaan.

"Yang penting kompetisi bisa dijamin berjalan secara demokratis, adil, fair, semua mendapat peluang yang sama. Kemudian ada kandidat yang istilahnya diuntungkan karena ada kaitannya dengan kekuasaan, itu yang harus kita cegah," kata AHY, Minggu (2/8). CNNIndonesia.

AHY mengamini bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Bukan negara kerajaan atau kesultanan. Karenanya, seorang pemimpin tidak mendapat kekuasaan sebagai hasil warisan, melainkan harus mendapat suara rakyat.

Masih dikutip dari CNNIndonesia, AHY menginhinkan, semua pihak tetap harus mengawasi proses pelaksanaan pemilu. Jangan sampai ada pihak yang diuntungkan hanya karena memiliki hubungan dengan penguasa.

"Yang harus kita jaga bersama adalah bahwa semua proses itu harus diikuti secara beretika dan meyakinkan agar tidak ada hal-hal yang di luar dari kepatutan,"  kata AHY.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun