Melihat dua contoh di atas, sudah jelas bahwa kedua penguasa tersebut (SBY dan Jokowi) memiliki syahwat serupa, yaitu ingin melanggengkan kekuasaan. Hanya saja, saya melihatnya ada dua perbedaan mencolok dari cara-cara yang dilakukan oleh mereka.
Dari segi momentum atau waktu "mewariskan" kekuasaannya di pemerintahan, saya lihat SBY harus mengakui keunggulan Presiden Jokowi.
Gibran patut beruntung, saat "diorbitkan" menjadi calon Wali Kota Solo, sang ayah masih memiliki kekuasaan mutlak. Maka, kesempatan putra sulungnya melenggang mulus jadi penguasa Kota Solo berpeluang sangat besar. Apalagi, didukung oleh kendaraan politik yang superior.
Iya, sebagaimana diketahui, PDI-P adalah partai yang mampu meraup 66 persen kursi di DPRD Kota Solo, atau 30 dari 45 kursi yang tersedia.
Belum lagi, rencananya partai-partai lainpun bakal turut mendukungnya. Meski, saya rasa dukungan tersebut bukan karena kualitas Gibran yang mumpuni sebagai calon seorang pimpinan.Â
Melainkan, mereka lebih memilih realistis melihat peta politik di Kota Solo. Arti kata, memaksakan diri untuk menandingi Gibran pun, kemungkinan menangnya sangat tipis.
Dengan demikian, ada kemungkinan dalam kontestasi Pilwakot Solo, Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa, melawan kotak kosong.
Jika ini terjadi, jelas iklim demokrasi di Kota Bengawan ini tidak sehat. Sebab, rakyat tidak diberi kesempatan untuk memilih calon pemimpin terbaik.
Namun, apapun itu, Gibran memang diuntungkan oleh momentum dan waktu. Dengan kata lain, Gibran menang masa atau momentum dibanding AHY.
Bukan tanpa alasan, saat AHY mencalonkan diri pada Pilgub DKI Jakarta, statusnya bukan lagi putra sang penguasa, karena SBY sudah tak lagi menjabat presiden. Keuntungannya kala itu tak lebih dari putra dari Ketua Umum Partai Demokrat. Hasilnya, memang sudah diprediksi sejak awal. Mantan tentara itu kalah telak.
Gibran Kalah Kasta