Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rocky Gerung, Gibran dan Rezim Orba

22 Juli 2020   23:33 Diperbarui: 22 Juli 2020   23:32 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Rocky - Gibran - Tomy : detikcom - edit : elang salamina


MULUT pedas Rocky Gerung dalam mengkritisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Iokowi) memang tak usah diragukan lagi. Pria yang kerap disebut profesor akal sehat ini bukan sekali dua kali melontarkan narasi-narasi yang mampu membuat merah telinga yang dikritiknya.

Bukan hal aneh jika Rocky Gerung selalu antusias mengkritisi pemerintahan Presiden Jokowi, sebab sejak awal dia telah terang-terangan memproklamirkan diri sebagai pihak yang menempatkan dirinya sebagai oposisi.

Tak ada yang salah dengan sikap Rocky. Sejatinya, tiap pemerintahan dimanapun tak terkecuali dengan Indonesia membutuhkan seseorang atau institusi yang kritis. Hal ini demi terciptanya pemerintahan yang benar dan selalu on the track alias tidak menyimpang dari kententuan aturan yang berlaku. Asal, tentu saja kritik dimaksud lebih bersipat konstruktif.

Hanya saja, wujud kritik yang dilakukan oleh pria kelahiran Manado, 20 Januari 1959 ini seringkali cenderung sarkasme, destruktif dan tidak membangun.

Tapi, dalam kritik terbarunya kali ini sedikit berbeda. Rocky menyoroti soal isu yang sedang hangat-hangatnya menjadi materi diskursus publik dalam beberapa waktu terakhir. Yaitu, soal majunya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka pada Pilwakot Solo 2020 mendatang.

Rocky yang juga ahli filsuf ini menyebut majunya Gibran dalam kontestasi Pilkada serentak tersebut menunjukan, bahwa Presiden Jokowi lebih otoriter dibanding dengan era rezim orde baru, yang dipimpin Presiden Soeharto.

Hal itu dipicu dengan tindakan Presiden Jokowi yang memanggil pesaing utama Gibran, yang saat ini tengah menjabat sebagai Wakil Wali Kota Solo, Ahmad Purnomo ke Istana Presiden. 

Dia menyebut tindakan orang nomor satu di republik ini secara terang-terangan sedang memainkan penyogokan politik demi memuluskan langkah anaknya menjadi orang nomor satu di Kota Solo.

Demikian disampaikan oleh Rocky melalui channel YouTube miliknya, Rocky Gerung Official bertajuk 'Pilwalkot Solo, Kotak Kosong vs 0t4k Kosong' yang tayang pada Selasa (21/7/2020).

"Jokowi sogok pesaing anaknya dengan mengundang ke Istana. Ini orang nggak lagi hitung macam-macam, ini bukan sekadar arogansi, tapi maksimum kebusukan politik, ultimum kebusukan politik," kata Rocky, Selasa (21/7/20). Suara.com.

Masih dikutip Suara.com, Rocky menilai Jokowi sedang memainkan nepotisme jabatan politik.
Rocky mengingatkan publik pada nepotisme di zaman Orde Baru. Saat Presiden Soeharto berkuasa, dia menunjuk anaknya, Siti Hardijanti Rukmana atau dikenal Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial.

"Kalau dibandingkan (dengan era Soeharto), ya lebih otoriter Jokowi sebenarnya. Dalam sistem demokrasi terang benderang, Jokowi bermain di air keruh, mencari keuntungan dari jabatan politik. Sebut saja lebih totaliter dari sistem Orde Baru," ungkap Rocky.

Rocky mengatakan majunya Gibran menjadi calon wali kota sebenarnya sah-sah saja secara kacamata hukum. Meski demikian, Ia menyarankan Gibran bisa maju dalam kontestasi politik setelah Jokowi lengser dari kursi orang nomor satu di Indonesia. Tidak maju secara tergesa-gesa seperti yang saat ini dilakukan oleh Gibran.

"Maju saja setelah Jokowi selesai. Suruh saja magang dulu jadi ketua di kota. Ada pelajaran politik yang ditinggalkan baru nyalon," tuturnya.

Dari apa yang disampaikan Rocky Gerung kali ini, ada poin yang paling saya sepakati, yakni terkait masih prematurnya Gibran langsung terjun pada kontestasi Pilwakot Solo.

Akan jauh lebih baik, jika Gibran lebih bisa menahan diri syahwat politiknya. Ayah kandung dari Jan Ethes ini memang akan lebih elegan jika belajar politik dulu dari bawah. 

Ya, dia bisa meniti karir dulu jadi Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) di tingkat kabupaten/kota atau mungkin kalau mau dimulai dari kepengurusan anak cabang terlebih dahulu, di tingkat kecamatan.

Dengan begitu, Gibran akan lebih merasakan atmosfer politik dengan benar, sekaligus menjadi bahan pembelajaran buat dirinya, agar pada saatnya kelak bisa menjadi seorang politisisi yang matang.

Pilih Cara Instan Raih Kekuasaan

Apa yang saya sebutkan di atas adalah cara idealis yang seharusnya Gibran lakukan untuk lebih mematangkan dulu pengalaman dalam dunia politik. Tapi nyatanya, syahwat Gibran memang sudah tidak bisa dibendung lagi. Kakak kandung dari Kaesang Pangarep ini lebih memilih cara instan dalam meraih kekuasaannya.

Iya, Gibran lebih memilih terjun dalam dunia politik di saat ayahnya masih menjadi penguasa. Dengan demikian, tanpa diminta sekalipun, pengusaha kuliner ini otomatis mendapatkan "fasilitas istimewa".

Betapa tidak, tak sedikit yang menilai direkomendasinya Gibran oleh PDI Perjuangan (PDI-P) untuk maju pada Pilwakot Solo karena statusnya sebagai putra penguasa. Sebab, secara hitung-hitungan head to head di kancah politik dan pengalaman, dia jelas kalah telak dari rivalnya, Ahmad Purnomo.

Namun, nyatanya PDI-P seolah tidak memperdulikan segala pengalaman dan senioritas Purnomo. Pihak DPP malah lebih memilih Gibran. Sekali lagi, banyak yang percaya, ini karena Gibran putra sang presiden.

Rezim Orba dan Trah Cendana

Melanggengkan kekuasaan memang tidak hanya terjadi pada Presiden Jojowi. Seperti diungkapkan Rocky Gerung, nepotisme dan dinasti politik pun tumbuh subur pada saat rezim orba di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, diketahui pernah menunjuk putri sulungnya Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial. Bahkan, "the smiling general" ini juga menarik rekanannya di ABRI dalam sejumlah jabatan sipil termasuk DPR RI.

Meski sudah tak berkuasa dan bahkan telah meninggal dunia, Soeharto nyatanya tidak benar-benar telah pergi. Beberapa waktu belakangan seakan tumbuh lagi politik nostalgia, yang ditandai dengan munculnya jargon "lebih enak era Soeharto".

Rupanya kondisi ini dijadikan peluang oleh ahli warisnya atau sebut saja trah cendana untuk kembali berkiprah dalam dunia politik. Salah satu yang cukup populer tentu saja Hutomo Mandala Putra atau akrab disebut Tomy Soeharto.

Dalam meneruskan trah ayahnya, putra bungsu Presiden Soeharto ini mendirikan Partai Berkarya. Meski, pada Pemilu 2019 lalu tidak mampu lolos ke Senayan, karena tidak memenuhi parliamentary threshold.

Bahkan, belakangan Partai ini terpecah jadi dua kubu, setelah belum lama ini kubu Muchdy PR juga mengklaim sebagai Ketua Umumnya.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun