Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sekongkol Djoko Tjandra di Sarang Polisi

18 Juli 2020   13:06 Diperbarui: 18 Juli 2020   13:21 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BUKAN satu atau dua orang, yang mengatakan bahwa praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah begitu menggurita di republik ini. Bahkan, tak sedikit pula yang menyebut, prilaku KKN ini sudah seperti menjadi "budaya bangsa". Miris, bukan?

Berita korupsi tiada henti menghiasi layar kaca atau media-media maistream lainnya. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap para pelaku korupsi dan sejenisnya tidak sedikitpun menyurutkan orang untuk melakukan korupsi. 

Bukan omong kosong, sampai saat ini kasus korupsi tidak berkurang jumlahnya, tetapi hampir sama banyaknya dengan zaman orde baru (orba) alias sebelum era reformasi.

KKN di negeri ini seperti tak pernah mengenal kata ujung, tak ubahnya lirik lagu 'gugur satu tumbuh seribu'. Padahal, lembaga antirasuah kerap menangkap para pelaku tindak pidana korupsi. Akan tetapi, koruptor selalu tumbuh tidak mengenal ruang dan waktu, terus berevolusi, beregenerasi dan bermetamorfosis seiring kemajuan peradaban.

Namun, setujukah jika KKN dianggap budaya bangsa? Saya pribadi, jelas tidak setuju. Pasalnya, budaya sepengetahuan saya adalah prilaku yang cenderung positif dan berakal budi.

Jelas, KKN sangat bertolak belakang dengan prilaku positif dan berakal budi. Jadi, kata apa yang pantas dengan mengguritanya prilaku KKN di tanah air? Silahkan, tergantung anda masing-masing untuk memilih kata yang tepat.

Bagi saya, menjamurnya KKN di tanah air tak lebih karena mental pelaku atau pejabat publik yang rapuh, gampang tergiur harta dan tahta serta lemahnya sistem peradilan (hukum) yang diterapkan.

Bicara tentang rapuhnya mental penyelenggara negara. Baru-baru ini kembali terbukti, dengan heboh pemberitaan tentang munculnya buronan kelas kakap, Djoko Tjandra, di tanah air.

Djoko Tjandra adalah seorang buronan yang sudah belasan tahun menghilang atas tuduhan kasus pengalihan hak tagih (Cessie) Bank Bali. Atas prilaku korupnya itu, negara dirugikan hingga Rp. 904 milyar.

Sontak, dengan wara-wirinya Djoko Tjandra di tanah air menimbulkan kecurigaan banyak pihak. Bagaimana bisa, seorang buronan kelas kakap atau mungkin sudah level paus ini bisa dengan santuy-nya berkunjung ke negara yang telah menjadikan dirinya DPO (Daftar Pencarian Orang) sejak belasan tahun lalu.

Mungkinkah pria kelahiran 27 Agustus 1951 ini menyamar, layaknya Ethan Hunt, seorang agen rahasia seperti dalam film Mission Imposible?

Iya, Ethan Hunt yang diperankan oleh Tom Cruise dalam setiap misi rahasianya kerap melakukan penyamaran, sehingga mampu lolos dari segala pantauan atau penjagaan ketat sekalipun.

Tidak, Djoko Tjandra tentunya tidak akan memlilki kemampuan selihai itu. Lagi pula, apa yang dilakukan Ethan Hunt hanya berlaku dalam sebuah adegan film, yang segala sesuatunya telah diatur oleh skenario.

Benar saja, melenggangnya Djoko Tjandra ke tanah air, bukan karena kelihaiannya menyamar. Tapi, diduga kuat telah menggunakan kekuatan uangnya untuk meluluhkan para penyelenggara negara, agar "memberikan jalan mulus" dirinya masuk ke tanah air.

Penyelenggara negara pertama yang mulai terkuak telah membantu Djoko Tjandra adalah Lurah Grogol Selatan, Jakarta Selatan, Asep Subahan. Dia diduga telah membantu dalam memperlancar pembuatan e-KTP, sebagai salah satu syarat untuk mandaftar PK (Peninjauan Kembali) atas kasusnya.

Atas perbuatannya membantu Djoko Tjandra, Asep harus menerima ganjaran setimpal. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, tanpa ampun langsung menonaktifkan jabatannya.

Tiga Jendral Polisi Terlibat

Rupanya, Lurah Grogol Selatan, Asep Subahan, bukan satu-satunya pihak yang terlibat dalam persekongkolan dengan Djoko Tjandra.
Pria yang kabarnya telah menjadi warga negara Papua Nugini ini juga telah melakukan persekongkolan dengan beberapa jendral di Mabes Polri.

Hal tersebut mulai terkuak, saat beberapa media massa hampir serempak mewartakan tentang adanya surat jalan yang diberikan oleh Kabiro Kordinasi dan Perjalanan PPNS Bareskrim  Mabes Polri, Brigjen Pol Prasetyo Utomo.

Surat jalan tersebut dibuat Brigjen Pol Prasetyo secara sepihak atau tanpa diketahui unsur pimpinan lainnya. Setali tiga uang dengan Asep Subahan, Prastyo pun akhirnya dicopot dari jabatannya, dan kemungkinan akan terkena ancaman hukum pidana.

Celakanya, Brigjen Pol Prasetyo, bukanlah satu-satunya pihak yang terlibat dalam persekongkolan dengan Djoko Tjandra. Berdasarkan dari hasil pengembangan kasus, terungkap, dua perwira tinggi lainnya di korps Bhayangkara.

Kedua perwira tinggi ini diduga terlibat dalam sengkarut penghapusan red notice atas nama buronan Djoko Tjandra dari data Interpol sejak 2014 lalu.

Mereka adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo.

Dikutip dari CNNIndonesia, pencopotan dua perwira tinggi itu tertuang dalam surat telegram (STR) nomor ST/2076/VII/KEP/2020 yang ditandatangani oleh Asistem Sumber Daya Manusia (SDM) Polri Irjen Sutrisno Yudi Hermawan atas nama Kapolri tertanggal 17 Juli 2020.

Nugroho dalam jabatannya sempat bersurat ke Dirjen Imigrasi pada 5 Mei 2020 lalu untuk memberikan informasi terkait terhapusnya data red notice Joko Tjandra di Interpol. 

Menurut Argo, terdapat kesalahan dalam penerbitan surat tersebut dan tidak melalui proses pelaporan terhadap pimpinannya.

Masih dikutip CNNIndonesia, hal itu kemudian merembet juga pada Napoleon yang merupakan pimpinan dari Nugroho di Divisi Hubungan Internasional Polri.

"Kelalaian dalam pengawasan staf," kata Argo.

Dalam surat telegram itu, Napoleon dimutasi sebagai Analis Kebijakan Utama Inspektorat Pengawasan Umum Polri. Sementara Nugroho dimutasi sebagai Analis Kebijakan Utama bidang Jianbang Lemdiklat Polri.

Dengan adanya keterlibatan tiga perwira tinggi Mabes Polri dalan pusaran kasus Djoko Tjandra tentu saja telah "menampar" muka Kapolri, Idham Azis.

Telah menjadi tanggung jawabnya untuk memastikan kasus ini diusut dengan tuntas. Sebab, tidak menutup kemungkinan masih merembet kemana-mana.

Dan, yang paling penting, Idham Azis bisa memastikan bahwa kejadian serupa tidak lagi terjadi di masa-masa mendatang.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun