Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gugatan Rachmawati, PA 212, dan Isu Pemakzulkan Jokowi

8 Juli 2020   20:25 Diperbarui: 9 Juli 2020   15:22 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEMARIN, Selasa, (7/07/2020), hampir seluruh media massa "kompak" mewartakan dikabulkannya gugatan pemilihan presiden (Pilpres) 2019 yang diajukan oleh adik kandung Ketua Umum (Ketum) PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yakni Rachmawati.

Sebagaimana diketahui, sekira bulan Mei 2019 lalu, sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan atau menetapkan kemenangan pasangan Jokowi-KH. Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 2019 - 2024. Rachmati dan kawan-kawan mengajukan gugatan atas hasil Pilpres 2019.

Rupanya, bagi Persauadaraan Alumni (PA) 212, dikabulkannya gugatan Racmawati dan kawan-kawan oleh Mahkamah Agung (MA) tersebut seolah menemukan sebuah kunci kotak pandora, kemudian membuka jalan mereka untuk semakin kuat menyuarakan pemakzulan Presiden Jokowi.

Ya, pasca kemenangan gugatan pendiri Yayasan Pendidikan Sukarno (YPS) tersebut, PA 212 langsung mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna segera melengserkan Presiden Jokowi dan KH. Ma'ruf Amin sebagai wakilnya.

Seperti dikutip PojokSatu.id, Ketua Media Center PA 212 Novel Bamukmin menyebut, pihaknya akan terus mengawal sampai MPR menggelar Sidang Istimewa untuk mengeksekusi putusan MA tersebut.

"Khusus MPR, harus segera bisa mengeksekusi putusan MA dengan menggelar Sidang Istimewa untuk melengserkan presiden dan wakilnya," ungkap Novel, Rabu (8/7/20).

Dalam kesempatan itu, Novel juga mendesak Jokowi-Ma'ruf segera mengundurkan diri.

"Presiden (Jakowi) segera mengundurkan diri, tidak usah nunggu berasa bersalah dulu," kata Novel.

Novel juga menyatakan, putusan MA itu mempertegas bahwa hasil pilpres lalu tidak sah.

"Presidennya secara konstitusi sesuai putusan MA. Kalau memang Jokowi tidak juga legowo mau mengundurkan diri," sambungnya.

Sebelumnya, PA 212 juga pernah menyuarakan pemakzulan Presiden Jokowi. Tuntutan tersebut pernah disuarakannya pada saat mereka menggelar aksi massa  dalam aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), di depan Gedung DPR/MPR, pada Rabu, (24/6/2020) lalu.

Dalam aksi yang kemudian terjadi insiden pembakaran bendera kebesaran PDI Perjuangan itu, PA 212 sama juga mendesak agar MPR menggelar sidang istimewa untuk memberhentikan Presiden Jokowi.

Pangkal masalahnya, PA 212 menganggap pemerintahan Jokowi membuka ruang yang besar bagi bangkitnya PKI dan Neo Komunisme, karena adanya wacana pembahasan RUU HIP.

Namun kemudian tuntutan PA 212 tersebut dianggap salah alamat. Sebab yang menjadi inisiator pembahasan RUU HIP bukan pemerintah. Melainkan anggota DPR yang ada di Gedung Parlemen Senayan Jakarta minus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.

Kembali pada kemenangan gugatan Racmawati yang dikabulkan oleh MA terkait hasil Pilpres 2019 rupanya tidak serta merta menjadikan posisi Jokowi dan KH. Ma'ruf Amin terancam.

Sejumlah pakar menilai putusan itu tidak akan mempengaruhi hasil atau membatalkan hasil putusan KPU atas kemenangan Jokowi dan KH. Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden.

Salah satu pakar yang meyakinkan bahwa posisi Jojowi dan KH. Ma'ruf Amin tetap aman adalah Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid

Dikutip dari JawaPos.com, Fahri menyebut, putusan MA yang mengabulkan gugatan Rachmawati tersebut tidak memiliki implikasi yuridis apapun terhadap kedudukan Jokowi-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 lalu.

Sebab, secara konstitusional keabsahan Presiden Jokowi telah final. Dan putusan MA ini tidak ada dampaknya sama sekali, karena secara teknis hukum berbeda. Baik dari aspek yurisdiksi kewenangan antara MA dan MK maupun fungsionalisasi serta kepentingan peradilan.

Isu Pemakzulan Jokowi Kerap Terjadi

Isu pemakzulan yang dialamatkan terhadap Presiden Jokowi bukan hanya disuarakan oleh PA 212 saja. Sebelumnya ada pihak-pihak lain yang menyuarakan hal serupa.

Sebut saja, saat krisis pandemi virus corona atau covid-19 menyerang tanah air sejak awal bulan Maret 2020 lalu, telah cukup banyak kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Salah satunya adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020, tentang kebijakan keuangan dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19.

Sayang, kebijakan ini memantik reaksi dari sejumlah pihak. Diantaranya adalah Amin Rais dan kawan-kawan. Mereka menggugat Perppu dimaksud ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap tidak sesuai dengan amanah konstitusi UUD 45.

Selain Amien Rais cs, ada juga anggota DPR RI yang cukup bereaksi keras. Dia adalah Masinton Pasaribu dari Fraksi PDI Perjuangan. Menurutnya, Perppu No 1/20 merupakan sabotase konstitusi.

Berangkat dari terbitnya Perppu tersebut, muncul isu pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.

Beberapa tokoh negeri seperti antusias membahas isu pemakzulan ini. Diiantaranya, pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Amin Rais dan Guru besar Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Din Syamsuddin.

Mundur lagi ke belakang, isu pemakzulan terhadap Presiden Jokowi juga pernah terjadi. Yang melemparkan isu dimaksud justru datang dari internal partai koalisi pemerintah.  Yaitu, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh.

Isu tersebut dilontarkan Paloh saat Presiden Jokowi akan merencanakan penerbitan Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, jika terjadi kesalahan maka pemakzulan atau impeachment jadi risikonya.

Itulah beberapa isu pemakzulan yang kerap menghantui Presiden Jokowi dalam misinya menjalankan amanah rakyat selaku pemimpin bangsa dan negara.

Sah-sah saja jika memang ada pihak-pihak yang menginginkan hal tersebut terjadi. Namun tentu saja pemakzulan terhadap presiden dan wakil presiden tidak semudah dibayangkan. Ada aturan yang mengikatnya, yakni UUD 45 pasal 7A.

Ada tiga syarat pemakzulan presiden seperti tertuang dalam UUD 45 Pasal 7A dimaksud. Pertama, presiden melakukan pengkhianatan, korupsi atau tindak pidana berat. Kedua terkait etika, yaitu perbuatan tercela. Ketiga, alasan administratif, yakni jika presiden dan wakil presiden tidak memenuhi syarat untuk jadi presiden dan wakil presiden.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun