PENYAMBUNG lidah rakyat, bapak pendiri bangsa, bapak proklamator dan segudang julukan apapun yang sipatnya apresiatif rasanya pantas dan sah-sah saja kita sematkan terhadap Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno.
Segala "embel-embel" nama julukan terhadap Bung Karno, begitu sapaan akrabnya, tentu tidak serta merta hanya bentuk pujian tak bermakna. Ada kisah dan sejarah yang kadang harus ditebus dengan darah dan pengorbanan tanpa batas.
Perjuangan Bung Karno untuk rakyat, bangsa dan negara Indonesia tidak dimulai saat dirinya didaulat sebagai presiden pertama RI, melainkan telah diawali sejak beliau muda.
Ya, karena jiwa patriotismenya yang begitu tinggi untuk menentang segala bentuk penjajahan Belanda, beliau kerap dan bahkan harus akrab dengan bilik penjara dan pengasingan.
Namun semua itu tidak pernah membuatnya kapok. Sebaliknya membuat jiwanya kian terbakar untuk dapat membebaskan bangsa dan negara dari belenggu penjajahan Belanda.
Singkat cerita, pada 17 Agustus 1945, kala penjajahan telah beralih ke Negara Jepang yang berhasil memukur mundur Belanda pada tahun 1942, Bung Karno yang tentu bersama segenap perjuangan rakyat Indonesia berhasil memproklamirkan diri sebagai bangsa dan negara yang merdeka.
Bersama Bung Hatta, Putra Sang Fajar ini membacakan teks proklamasi sebagai tanda bahwa Indonesia telah merdeka, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat.
Sukarno Jadi Presiden hingga Gestapu
Pasca kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, keesokan harinya babak baru Sukarno dimulai. Tepat tanggal 18 Agustus di tahun yang sama, Singa Podium tersebut diangkat jadi presiden yang didampingi Bung Hatta sebagai wakilnya.
Dari situlah Bung Karno mulai merumuskan segala sesuatunya yang dipandang perlu demi kelancarannya mengemban amanah sebagai penguasa. Salah satunya lahirlah dasar negara, yaitu Pancasila. Saat ini isu Pancasila ini tengah memanas gara-gara adanya wacana pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) oleh DPR.
Tahun demi tahun, pemerintahan Sukarno terus berjalan. Tidak ada kata mudah selama beliau berkuasa.
Ditengah segala keterbatasan yang ada, pemerintahan Sukarno hampir selalu dihadapkan pada masalah-masalah pelik, termasuk pemberontakan yang terjadi dimana-mana yang berniat menggulingkan kekuasannya. Tapi, semua itu berhasil dia lewati dengan baik.
Sampai akhirnya, terjadilah Pengkhinatan Gerakan 30 September yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Pemberontakan ini akhirnya dikenal dengan sebutan Pengkhianatan G 30 S PKI atau Gestapu.
Sukarno yang biasanya selalu berhasil melalui badai pemberontakan, tapi tidak untuk pemberontakan yang terjadi pada 30 September 1965, yang mengakibatkan enam orang jendral dan satu orang perwira terbunuh oleh kebiadaban PKI.
Pemberontakan yang dipimpin oleh DN Aidit dan Untung yang bergerak di lapangan, menjadi tonggak awal kekuasaan penyambung lidah rakyat tersebut menjadi kelu.
Momentum Gestapu tersebut benar-benar telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyatukan anti komunis dan PKI sebagai "kambing hitam" kudeta. Sejak peristiwa itulah, posisi Sukarno sebagai penguasa mulai melemah.
Melemahnya kekuasaan Sukarno juga bukan tanpa dasar. Beliau juga dianggap sebagai sosok yang pro PKI. Terlebih, dia menganggap bahwa pemberontakan G 30 S tersebut adalah hal biasa dalam sebuah revolusi.
Wajar, jika pada akhirnya kabar burung pun berhembus bahwa Bung Karno terlibat dalam pemberontakan tersebut mulai terdengar luas. Akibatnya, bapak pendiri bangsa ini tidak lagi memiliki kendali penuh atas politik.
Pemberontakan G 30 S PKI 1965 benar telah melemahkan kekuasaan Bung Karno yang telah berkuasa 20 tahun lamanya. Namun di sisi lain, peristiwa ini menjadi momentum emas bagi Jendral Soeharto.
Soeharto mampu memanfaatkan situasi chaos ini dan keluar sebagai "super hero". Di bawah kendalinya, PKI dibumihanguskan, seluruh anggota berikut simpatisannya ditangkap. Kemudian dihukum hingga banyak juga yang dibunuh.
Dalam buku 30 tahun Indonesia Merdeka, setidaknya ada 1.334 orang ditangkap di Jakarta per 16 Oktober 1965. Dan, diperkirakan 400.000 anggota dan simpatisan partai telah dibunuh oleh tentara atau anggota Ormas yang berafiliasi dengan musuk politik PKI.
Dari sinilah banyak pihak percaya bahwa kudeta Soeharto bermula. Sejarah mencatat bahwa Sukarno bertumpu pada dua kekuatan politik besar, yakni ABRI dan PKI. Kedua kekuatan politik ini sangat berpengaruh dalam menciptakan demokrasi terpimpin ala Sukarno.
Namun, pasca pemberontakan G 30 S PKI, menjadikan putra sang fajar harus "berebut" kekuasaan dengan tentara yang sudah berada di bawah kendali Soeharto. Dampaknya, kekuasaan Sukarno menjadi semakin melemah.
Puncaknya terjadi pada waktu Sukarno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) untuk Jendral Soeharto.
Sayangnya, mandat Supersemar yang sejatinya memerintahkan Soeharto menjamin jalannnya pemerintahan dan menjaga keselamatan Sukarno, dipergunakan Soeharto sebagai kendali penuh. Supersemar dijadikan alat untuk mengambil panggung dan mengasingkan Sukarno.
Hingga pada akhirnya, kekuasaan Sukarno benar-benar berada di ujung tanduk saat pertanggungjawabannya sebagai presiden ditolak MPRS.
Hingga akhirnya seperti dikutip dari Tirto.id, pada tanggal 20 Februari 1967, Soeharto meyakinoan Sukarno dan para pengikutnya bahwa kekuasaannya telah usai. Dengan terpaksa, Sukarno pun bersedia menyerahkan kekuasaan dan mundur dari jabatan presiden.
Tak cukup, Soeharto tetap menginginkan adanya penyerahan kekuasaan secara konstitusional. Soekarno pun tanpa daya menyerahkan kekuasaan eksekutif pada 22 Februari 1967. TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967 pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan menetapkan Soeharto sebagai presiden.
Peristiwa tersebut adalah tanda kematian karier politik Sukarno sekaligus menjadi era baru kepemimpinan Soeharto. "The Smiling General" julukan Soeharto benar-benar apik dalam menyelesaikan kudeta merangkaknya. Segala upayanya mampu menggulingkan kekuasaan Sukarno dengan PKI menjadi "kambing hitamnya".
Abaikan Wasiat Sukarno
Setelah berkuasa, Soeharto menjelma menjadi raja tega bagi keluarga Sukarno. Sang penguasa baru itu memerintahkan sang proklamator beserta keluarga angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor.
Pasca keluar dari Gedung Istana Merdeka dan Istana Merdeka, lambat laun kesehatan Sukarno terganggu dan menjadi lebih buruk. Hingga akhirnya seperti dikutip dari Historia, 11 Juni 1970, Soekarno dirawat ke RSPAD Gatot Subroto karena kondisinya sangat memburuk.
Lalu, tepat pada tanggal 21 Juni 1970, Soekarno pun wafat. Namun kematiannya tidak sampai menghentikan perilaku kasar rezim Orde Baru.
Soekarno pernah berwasiat ingin dikubur di bawah pohon rindang di Bogor. Namun Soeharto mengabaikannya. Wasiat Sukarno begitu tumpul bagi Soeharto. Dia sama sekali tak memberi izin dengan dalih bahwa pemakaman di Blitar dilakukan agar dekat dengan mendiang ibu Soekarno.
Namun, juga menjadi alasan logis bila penempatan makam pun dianggap pelik oleh Soeharto. Sebab, lokasi pemakaman yang jauh dari Jakarta tentu akan menghambat politisasi para pendukung Soekarno.
Seperti diketahui, Soeharto pun akhirnya berkuasa selama 32 tahun lamanya. Dia benar-benar mengendalikan penuh kekuasaannya dengan menggunakan kekuatan militer dan partai politik yang seolah telah menjadi "boneka" untuk tetap terus melanggengkan kekuasaannya.
Namun, sekuat-kuatnya Soeharto, pada akhirnya harus lengser juga, dengan cara kurang lebih sama seperti yang dialami Sukarno.
Soeharto dilengserkan secara paksa dari kekuasaannya setelah tidak mampu lagi membendung ratusan ribu demonstran mahasiswa, tepat pada tanggal 21 Mei 1998.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H