Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Cara Saya Mengetahui Pentingnya Konsistensi dan Tawakal dari Tukang Combro

1 Juli 2020   15:09 Diperbarui: 1 Juli 2020   15:10 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BAGI warga masyarakat Jawa Barat, pasti sudah tidak asing dengan salah satu makanan yang bernama Combro. Betapa tidak, Combro memang merupakan makanan khas dari tanah Pasundan.

Terbuat dari parutan singkong yang bagian dalamnya diisi dengan sambal oncom kemudian digoreng, karena itulah dinamai combro yang merupakan kependekan dari oncom di jero (bahasa Sunda, artinya : oncom di dalam).

Untuk kebanyakan kalangan, makanan Combro ini boleh jadi biasa-biasa saja bahkan mungkin tak sedikit yang tidak menyukainya. Karena rasanya yang cenderung pedas.

Bagi saya pribadi, Combro justru menjadi salah satu makanan pavorit yang kerap dinikmati pada pagi hari dibarengi dengan segelas kopi atau sore masih dengan minuman serupa. Nikmat rasanya.

Tapi, lebih dari itu, Combro buat saya bukan sekedar makanan tapi menyimpan sebuah kisah yang mengakibatkan saya sedikit mendapatkan pelajaran hidup darinya.

Maksudnya di sini bukan dari makanannya, melainkan dari seorang pedagang combronya. Sayang, hampir dua tahun lalu pedagang ini telah meninggal dunia. Tapi, kata-katanya sampai saat ini masih terngiang.

Pelajaran hidup apa yang saya dapat dari almarhum pedagang combro ini? Berikut sekelumit kisahnya!

Sebagai seseorang yang bekerja di lapangan, hampir tiap pagi saya selalu menyempatkan diri nongkrong dulu di taman Alun-alun Sumedang untuk membeli sarapan dan ngopi.

Karena memang tiap pagi taman alun-alun Sumedang penuh dengan para padagang yang menjajakan aneka makanan. Salah satunya adalah pedagang combro.

Nama pedagang combro ini, saya masih sangat ingat betul perawakannya, gaya bicara, termasuk tentu saja namanya. Nama dia adalah Maman. Saya biasa memanggilnya dengan sebutan Kang Maman.

Hubungan saya dengan Kang Maman ini boleh dibilang sangat dekat. Mungkin karena saya hampir tiap hari bertemu dan membeli combronya. 

Lebih dari itu, Kang Maman adalah sosok manusia bersahaja dan enak di ajak ngobrol. Istilahnya almarhum ini tak pernah neko-neko alias eazy going.

Sehingga saya pun merasa santai dan tak ada sekat saat berbincang-bincang dengannya. Sampai suatu hari, saya dihadapkan pada satu masalah tentang pekerjaan. Ada rasa putus asa dan keinginan untuk resign dari pekerjaan yang sedang saya tekuni ini.

Saya merasa, pekerjaan ini hanya menimbulkan masalah terus. Sementara hasil yang didapat tidak sesuai dengan risiko yang harus dihadapi.

Pagi itu, seperti biasa saya nongkrong di tempat Kang Maman jualan. Namun, tak seperti biasanya yang suka menyapa atau sekedar say hai sebelum membeli combro. Kali ini saya tak banyak bicara. Cukup pesan saja dan langsung kembali diam. Maklum, pikiran sedang kacau.

"Kunaoan a?"  (Baca : kenapa a?), tiba-tiba Kang Maman bertanya. Mungkin dia merasa ada perubahan sikap dari saya, yang menurut dia janggal.

Ditanya seperti itu, saya tak langsung menjawab. Fokus aja makan combro dan minum kopi. 

Rasanya malas untuk menjawab pertanyaannya. Lagi pula saya pikir, almarhum tidak akan bisa memecahkan masalah yang sedang saya hadapi. 

Toh, dia hanya seorang tukang combro. Pikir saya saat itu. Begitu jeleknya hati saya saat itu telah tega merendahkan seseorang.

Melihat saya cuek saja, tak membuat Kang Maman tersinggung. Dia justru ikut duduk persis di samping saya. Sambil memegang pundak, dia kembali bertanya.

"Aya naon a, sok ngobrol sareng akang?!. Saha nu terang tiasa ngabantos." (Ada apa a, ngobrol aja sama akang?!. Siapa tahu bisa membantu).

Melihat ketenangan dan keseriusannya serta bentuk perhatiannya yang saya lihat sangat tulus, tak urung membuat saya tergugah juga. Saya pun perlahan menoleh sebentar ke Kang Maman, lalu menghela napas sejenak. Coba mengusir rasa sesak di dada.

Lalu, tanpa ragu lagi sayapun menceritakan tentang rasa cape dan bosan yang sudah mulai menghantui hati dan perasaan menjalani profesi kuli tinta amatiran.

Cape karena kerap dihadapkan pada intimidasi-intimidasi dari oknum-oknum tidak jelas, bosan dengan segala rutinitas yang hasilnya tidak seberapa. Padahal resiko yang dihadapi jauh lebih besar, hingga menyangkut keselamatan diri.

"Tah, kitu kang," (Baca : Nah, begitu kang), saya pun mengakhiri keluh kesah diri.

Setelah mendengar semua keluh kesah saya, Kang Maman hanya tersenyum. Lalu kembali bertanya.

"Kinten-kintena naon nu bakal dipilampah ku aa pami ninggalkeun profesi ayeuna?" (Baca : Kira-kira apa yang akan dikerjakan jika harus meninggalkan profesi saat ini).

Saya tertegun dengan pertanyaan itu. Bukan karena pertanyaannya sulit. Tapi, memang, saya sendiri tidak tahu akan berbuat apa jika harus meninggalkan profesi amatiran ini. Sementara kemampuan diri untuk melakukan hal-hal lainnya pun terbatas.

"Duka atuh." (Baca : Entahlah). Hanya itu yang bisa saya ucapkan menjawab tanya Kang Maman.

Menginspirasi

Usia Kang Maman memang terpaut lumayan jauh dengan saya kala itu. Namun saat mendengar keluh kesah saya tak tampak sedikitpun ingin menggurui.

Dia justru sangat hati-hati saat ingin menanggapi keluhan saya tadi.

"Ieumah sanes maksad akang mamatahan. Tapi, bade nyarioskeun pangalaman akang we. Margi kangtos gaduh masalah nu sami." (Baca : Bukan maksud saya untuk menggurui. Tapi sekedar berbagi pengalaman. Soalnya pernah mengalami hal serupa), ucap Kang Maman.

Saya pun mengiyakan, seraya penasaran, apa yang aoan dia ungkapkan.

"Ih, teu sawios, kang." (Baca : oh, nggak apa-apa, kang) saya hanya menimpali pendek saja.

Singkat cerita, Kang Maman pun mulai menceritakan, bahwa profesinya sebagai pedagang Combro telah dikerjakan sejak lulus SMP. Kang Maman memang tidak melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi karena keterbatasan biaya.

Dia berdagang Combro bukan miliknya sendiri, melainkan menjajakan dagangan milik majikannya. Setelah beberapa tahun lamanya berjualan, sampailah dia pada titik jenuh.

Faktornya, hasil yang dia dapat dari berjualan itu tidak pernah mampu mencukupi kebutuhan hidup. Apalagi, saat itu Kang Maman sudah memiliki kekasih yang siap untuk dinikahi.

Sempat terbersit oleh dirinya untuk beralih profesi. Namun, dia sadar bahwa tidak memiliki kemampuan apapun. Maklum hanya lulusan SMP.

Hingga suatu ketika, Kang Maman dipanggil oleh majikannya untuk berjualan Combro sendiri. Majikannya mau meminjamkan modal. Kesempatan ini tak disia-siakannya. Kang Mamanpun menyambut baik tawaran majikannya.

Dari jualan yang dikelolanya sendiri, singkat cerita Kang Maman pun bisa menikah. Namun masalah muncul saat anak-anaknya beranjak besar dan memerlukan biaya lebih. Sementara hasil dari berjualan combro tidak mencukupi.

Lagi, Kang Maman terbersit untuk alih profesi. Kembali niatnya ini mentok, dengan alasan serupa waktu dirinya berniat alih profesi pertama kali.

Akhirnya, dia pun kembali memaksakan profesi lamanya meski sarat dengan keterbatasan. Namun, dia tidak menyerah begitu saja.

Dalam benak Kang Maman, daripada harus memulai dari nol lagi, lebih baik menjalankan profesinya dengan sungguh-sungguh.

Dia jalani terus jualan combro itu meski halangan dan rintangan datang silih berganti termasuk beban hidup yang kian besar seiring bertambah besar kedua anaknya.

Kang Maman yang biasa memulai jualan jam 8 pagi hingga jelang magrib. Mulai menambah waktunya. 

Dia putuskan keluar jualan setelah sholat subuh dengan cara berkeliling dulu ke komplek-komplek perumahan. Lalu, paginya paginya nongkrong di sekolah untuk kemudian pindah ke alun-alun.

Disertai doa dan tawakal pada Sang Maha Pencipta, lambat laun Kang Maman pun mendapatkan hasil lebih baik, sehingga mampu mengumpulkan modal tambahan untuk mengembangkan dagangannya.

Kang Maman mampu membeli gerobak combro baru untuk di jajakan oleh orang yang dipercayanya.

Dari sana, hasil jualan combro Kang Maman terus meningkat sehingga akhirnya dia memiliki empat gerobak Combro.

Dan yang paling membanggakan dalam hidupnya, dari hasil jualan combro yang sebelumnya hendak ditinggalkan, Kang Maman mampu menyekolahkan kedua anaknya hingga perguruan tinggi.

Malah anak yang paling gede sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan layak di sebuah perusahan swasta ternama di Kota Bandung.

Cerita Kang Maman inilah yang akhirnya mampu menginspirasi saya. Bahwa profesi apapun akan mengandung resiko. Tapi, jika kita berani menggelutinya dengan sungguh-sungguh dan konsisten serta dibarengi doa dan tawakal, niscaya akan ada jalan lebih baik yang ditunjukan oleh Sang Maha Pencipta.

Dari cerita dan pengalaman Kang Maman pula, saya akhirnya memutuskan untuk tidak cengeng dengan kondisi apapun. 

Hadapi semua itu dengan tenang. Hasilnya alhamdulillah, meski masih tetap sebagai kuli tinta amatiran dan tidak sesukses Kang Maman, saya masih bertahan dengan profesi ini.

Terimakasih Kang Maman atas inspirasinya. Semoga engkau tenang di sisiNya. Aaminn.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun