Hubungan saya dengan Kang Maman ini boleh dibilang sangat dekat. Mungkin karena saya hampir tiap hari bertemu dan membeli combronya.Â
Lebih dari itu, Kang Maman adalah sosok manusia bersahaja dan enak di ajak ngobrol. Istilahnya almarhum ini tak pernah neko-neko alias eazy going.
Sehingga saya pun merasa santai dan tak ada sekat saat berbincang-bincang dengannya. Sampai suatu hari, saya dihadapkan pada satu masalah tentang pekerjaan. Ada rasa putus asa dan keinginan untuk resign dari pekerjaan yang sedang saya tekuni ini.
Saya merasa, pekerjaan ini hanya menimbulkan masalah terus. Sementara hasil yang didapat tidak sesuai dengan risiko yang harus dihadapi.
Pagi itu, seperti biasa saya nongkrong di tempat Kang Maman jualan. Namun, tak seperti biasanya yang suka menyapa atau sekedar say hai sebelum membeli combro. Kali ini saya tak banyak bicara. Cukup pesan saja dan langsung kembali diam. Maklum, pikiran sedang kacau.
"Kunaoan a?" Â (Baca : kenapa a?), tiba-tiba Kang Maman bertanya. Mungkin dia merasa ada perubahan sikap dari saya, yang menurut dia janggal.
Ditanya seperti itu, saya tak langsung menjawab. Fokus aja makan combro dan minum kopi.Â
Rasanya malas untuk menjawab pertanyaannya. Lagi pula saya pikir, almarhum tidak akan bisa memecahkan masalah yang sedang saya hadapi.Â
Toh, dia hanya seorang tukang combro. Pikir saya saat itu. Begitu jeleknya hati saya saat itu telah tega merendahkan seseorang.
Melihat saya cuek saja, tak membuat Kang Maman tersinggung. Dia justru ikut duduk persis di samping saya. Sambil memegang pundak, dia kembali bertanya.
"Aya naon a, sok ngobrol sareng akang?!. Saha nu terang tiasa ngabantos." (Ada apa a, ngobrol aja sama akang?!. Siapa tahu bisa membantu).