Melihat ketenangan dan keseriusannya serta bentuk perhatiannya yang saya lihat sangat tulus, tak urung membuat saya tergugah juga. Saya pun perlahan menoleh sebentar ke Kang Maman, lalu menghela napas sejenak. Coba mengusir rasa sesak di dada.
Lalu, tanpa ragu lagi sayapun menceritakan tentang rasa cape dan bosan yang sudah mulai menghantui hati dan perasaan menjalani profesi kuli tinta amatiran.
Cape karena kerap dihadapkan pada intimidasi-intimidasi dari oknum-oknum tidak jelas, bosan dengan segala rutinitas yang hasilnya tidak seberapa. Padahal resiko yang dihadapi jauh lebih besar, hingga menyangkut keselamatan diri.
"Tah, kitu kang,"Â (Baca : Nah, begitu kang), saya pun mengakhiri keluh kesah diri.
Setelah mendengar semua keluh kesah saya, Kang Maman hanya tersenyum. Lalu kembali bertanya.
"Kinten-kintena naon nu bakal dipilampah ku aa pami ninggalkeun profesi ayeuna?" (Baca : Kira-kira apa yang akan dikerjakan jika harus meninggalkan profesi saat ini).
Saya tertegun dengan pertanyaan itu. Bukan karena pertanyaannya sulit. Tapi, memang, saya sendiri tidak tahu akan berbuat apa jika harus meninggalkan profesi amatiran ini. Sementara kemampuan diri untuk melakukan hal-hal lainnya pun terbatas.
"Duka atuh." (Baca : Entahlah). Hanya itu yang bisa saya ucapkan menjawab tanya Kang Maman.
Menginspirasi
Usia Kang Maman memang terpaut lumayan jauh dengan saya kala itu. Namun saat mendengar keluh kesah saya tak tampak sedikitpun ingin menggurui.
Dia justru sangat hati-hati saat ingin menanggapi keluhan saya tadi.