RONNY Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, dua terdakwa kasus penyerangan air keras terdahap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan lebih baik di bebaskan daripada proses hukum hanya sebatas dagelan. Adilkah?
Mengherankan jika memang harus membebaskan orang yang sudah jelas-jelas ditetapkan jadi tersangka untuk kemudian jadi terdakwa dan akhirnya mendapatkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), pada sidang terkakhir yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Jamak, jika siapapun orangnya bakal mengernyitkan dahi dan merasa aneh. Namun ingin bebasnya kedua pelaku penyiraman air keras ini justru terlontar dari pihak korban. Dalam hal ini Novel Baswedan.
Entah kesal dengan kejanggalan hukum yang terjadi selama proses penanganan hingga persidangan. Yang pasti, Novel mengutarakan keinginannya untuk minta kedua pelaku penyiraman terhadap dirinya tersebut dia ungkapkan melalui cuitan akun twitter pribadinya.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan Novel Baswedan?
Dikutip dari Kompas TV.com, Novel merasa tidak yakin jika pelaku penyerangan terhadapnya adalah kedua pelaku tersebut di atas.
Novel menjelaskan, dirinya sudah bertanya kepada penyidik dan jaksa yang menangani kasus ini. Hasilnya, mereka tidak ada yang bisa menjelaskan kaitan pelaku dengan bukti. Tak hanya itu, juga sudah bertanya kepada sejumlah pihak saksi yang melihat pelaku penyiraman.
Dari keterangan para saksi, bukan Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang melakukan penyiraman air keras terhadap dirinya.
"Ketika saya tanya saksi-saksi, yang melihat pelaku dibilang bukan itupelakunya. Apalagi dalangnya? Sudah dibebaskan saja (pelakunya) daripada mengada-ada," kata Novel melalui akun Twitter miliknya pada Senin (15/6/2020).
Masih dikutip dari Kompas TV.com, senada dengan Novel juga diutarakan pengamat hukum tata negara, Refly Harun. Bahwa sebaiknya kedua pelaku itu dibebaskan.
Alasannya kurang lebih sama, bahwa dia tidak yakin bahwa pelaku penyiraman air keras terhadap Novel adalah Ronny dan Rahmat.
Refly menambahkan, tuntutan satu tahun penjara sangat menghina akal sehat publik. Selain itu, Refly menambahkan, Novel Baswedan juga merasa kedua terdakwa telah dipaksa mengaku melakukan tindakan penyiraman air keras terhadapnya.
"Kalau bukan pelaku sesungguhnya maka peradilannya kan bisa sesat. Maka kalau itu bukan pelaku sesungguhnya harusnya itu dibebaskan," ujar Refly.
Jika alasan di atas yang menjadi landasan pemikiran Novel Baswedan dan Reflly Harun agar kedua pelaku penyiraman itu dibebaskan memang dilihat dari kacamata logika biasa sangat beralasan.
Pertama, jika kecurigaan mereka benar maka proses hukum yang terjadi selama ini hanya sandiwara untuk memuaskan dan membungkam rasa penasaran publik yang hampir tiga tahun lamanya diliputi teka-teki.
Kedua, andai benar kedua pelaku ini hanyalah pelaku imajiner alias sengaja diadakan demi tujuan tersebut di atas yakni membungkam rasa penasaran publik, jelas akan sangat mendzolimi Ronny dan Rahmat Kadir. Mereka dipaksa untuk bertangung jawab atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya.
Namun, menurut hemat penulis, rasanya keinginan Novel dan Reffly Harun ini sulit terwujud. Karena jika itu terjadi akan menjadi preseden buruk bagi hukum di tanah air.
Pemerintah atau dalam hal ini para penegak hukum di tanah air jelas tidak akan mau terjebak atas keinginan Novel dan Reffly. Sebab jika akhirnya dibebaskan, malah tidak menutup kemungkinan akan timbul masalah baru.
Publik kembali akan bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya dalang dan pelaku penyiraman air keras terhadap Novel itu.
Maka, dalam pandangan penulis, para penegak hukum akan menjaga reputasinya dan tetap meyakinkan pada publik bahwa memang Ronny dan Rahmat Kadir yang melakukan penyiraman air keras tersebut. Walau mungkin jauh di lubuk hati masyarakat sebetulnya tidak yakin-yakin amat.
Tuntutan JPU Dipertanyakan
Seperti diketahui pasca tuntutan JPU, Fredrik Adhar Syarippudin terhadap kedua pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dianggap terlalu rendah, begitu banyak pertanyaan yang menghantui pikiran publik. Dan, menjadi trending di media sosial (Medsos).
Betapa tidak, tuntutan satu tahun penjara yang diputuskan JPU Fredrik benar-benar dianggap telah melecehkan hukum dan tak sedikit pula yang menuduhnya bahwa proses persidangan tersebut hanya dagelan atau opera sabun.
Terlebih, alasannya tuntutan satu tahun penjara itu karena si dua pelaku dinyatakan tidak sengaja menyiram air keras ke arah bagian muka Novel Baswedan. Sasarannya adalag bagian tubuh.
Untuk itu para penegak hukum hanya menjerat para pelaku dengan  pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang perbuatan penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat.
Kendati demikian, JPU menilai kedua terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Nasi sudah menjadi bubur, tuntutan sudah ditetapkan dan masyatakatpun sudah kadung menganggap proses peradilan itu sebuah sandiwara dan pengkhianatan terhadap supremasi hukum yang ada.
Sekarang kita hanya tinggal menunggu proses persidangan berikutnya. Kita lihat apakah para penegak hukum ini bisa mendengar segala keresahan publik, terus coba mengimplementasikannya dalam wujud putusan yang benar-benar adil dan bisa diterima semua pihak.
Atau malah tetap kekeuh dengan pendirian atau putusan awal. Tentunya menarik kita tunggu.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H