Mohon tunggu...
Sammy Sahertian
Sammy Sahertian Mohon Tunggu... -

tinggal di Bag Timur Indonesia, bekerja sebagai Buruh Bulanan hanya mampu menulis apa yang ada dan terlintas dipikirannya.

Selanjutnya

Tutup

Money

Penentuan UMP yang Tak Berujung Damai

6 Mei 2013   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:01 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir di seluruh wilayah NKRI ketika penentuan Upah Mimum Propinsi (UMP) boleh dikatakan tidak pernah memuaskan buruh di satu sisi dan pengusaha di sisi yang lain. Diduga beberapa penyebab antara lain :

1. Dasar Penggunaan Indikator Makro ekonomi yang bisa menyesatkan karena tidak dipahami dengan baik oleh para pihak.

2. Perbedaan cara pandang antara buruh dan pengusaha.

3. Ketidakterbukaan perusahaan terhadap buiruh menyangkut perkembangan usaha dari perusahaan itu sendiri.

4. Ketidakmampuan perusahaan maupun buruh dalam memahami arti hubungan kerja diantara keduanya.

5. Pemerintah dalam hal ini Kementrian di tingkat Pusat dan Dinas Tenaga Kerja di tingkat daerah belum mampu memainkan peranannya dengan baik untuk mempertemukan perbedaan cara pandang antara buruh dan pengusaha.

Dasar Penggunaan Indikator Makro ekonomi yang bisa menyesatkan karena tidak dipahami dengan baik oleh para pihak.

Mencermati tiap pedebatan menyangkut penentuan UMP (Upah Minimum Propinsi) antara pihak pengusaha di satu pihak dengan pihak pemerintah dan buruh pada pihak lain, pengusaha selalu mencoba menguraikan/menganalisis pertumbuhan ekonomi secara agregat/keseluruhan kedalam rician sektor ekonomi bahkan katagori perusahaan secara rinci, namun kelihatannya selalu tidak digubris. Hal bisa mengindikasikan bahwa penentuan UMP kemungkinan besar lebih cenderung menggunakan angka-angka indikator makro ekonomi khususnya angka pertumbuhan ekonomi adalah angka agregat atau angka pertumbuhan ekonomi Nasinal dan atau daerah secara keseluruhan.

Indikasi diatas tadi diperkuat lagi dengan seringnya terdengar salah satu argumentasi buruh untuk meminta kenaikan upah minimum adalah perekonomian Nasional maupun regional semakin meningkat yang ditandai dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional pertahun sekitar 6(enam) persen.

Benar terlihat demikian (sekitar 6 persen pertahun)tapi dalam kenyataan tidak semua sektor ekonomi bertumbuh enam persen. Ada yang lebih dari enam tapi juga mungkin tidak sampai satu persen, bahkan dibawah nol alias mengalami penurunan. Itu berarti bukan saja terjadi perbedaan pertumbuhan antar sektor ekonomi, tapi juga terjadi perbedaan pertumbuhan usaha antar perusahaan sekalipun bergerak dalam usaha yang sama. Namun nampaknya bagi buruh, angka laju pertumbuhan ekonomi agregat yang kelihatannya mengesankan itu seolah berlaku disegala sektor ekonomi bahkan perusahaan. Mereka tidak mau lagi mendengar argumentasi para pengusaha. Pokoknya upah harus dinaikan karena perekominan nampak baik (bertumbuh sekitar 6 persen).

Saya jadi teringat pada suatu kesempatan, ada salah satu anggota DPRD Propinsi Maluku yang bertanya kepada Kepala BPS Proinsi Maluku, kenapa beberapa indikator makro ekonomi Maluku seperti pertumbuhan ekonomi, IPM dan berberapa indikator makro ekonomi lainnya terlihat baik, tapi jumlah persentase penduduk miskin Maluku menduduki ranking ketiga di Indonesia? Jawaban tentunya sederhana karena indikator makro ekonomi tersebut hanya dilihat secara agregat tanpa dilihat secara rinci. Contoh Pertumbuhan ekonomi yang berkesan manis itu apakah terjadi pada sektor-sektor ekonomi yang digeluti oleh si miskin? Ataukah lebih banyak terjadi pada kaum berdasi? Yah kalau lebih banyak terjadi pada sektor-sektor ekonomi yang digeluti kaum berdasi, maka simiskin akan tetap menjadi miskin saja, namun si kaya akan terus bertambah kaya.

Begitu juga dengan indikator makro ekonomi yang lain.

Biasanya indikator makro ekonomi secara agregat lebih cenderung hanya digunakan untuk menggambarkan berhasil/tidaknya suatu kegiatan secara umum, lain dari itu harus dicermati baik dari sisi landasan teori atau konsep dan defenisi yang digunakan maupun metodologi penghitungannya.

Perbedaan Cara Pandang Antara Buruh Dan Pengusaha.

Menurut hemat saya buruh hanya melihat upah yang diterima dibandingkan dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi tanpa mau mengerti keberadaan perusahaan yang menampungnya sebagai tenaga kerja. Celakanya nilai upah yang diterima dibandingkan dengan nilai upah pekerja lain yang ada disekitarnya bahkan dengan Negara lain yang penataan perekonomiannya lebih baik. Sebaliknya bagi pengusaha, upah buruh bukan satu-satunya komponen biaya produksi tetapi masih ada komponen biaya produksi lain yang harus ditanggulanginya. Yang namanya usaha pasti akan mencari untung atau setidaknya kelangsungan hidup perusahaan bisa dipertahankan.

Ketidakterbukaan Perusahaan Terhadap Buruh menyangkut Perkembangan Usaha Dari Perusahaan Itu Sendiri.

Menurut hemat saya, perbedaan cara pandang di atas, akan membuka peluang terjadinya kecurigaan buruh terhadap para pengusaha. Ditambah dengan masalah status pendidikan para buruh yang umumnya rendah, sehingga pemahaman mereka lebih bertumpu pada apa kata orang disekitarnya. Apa kata orang disekitarnya tidak tertutup kemungkinan dijadikan sebuah kebenaran yang akan digunakan untuk memperjuangkan kenaikan upah mereka Memang sulit dihindari keadaan pemahaman buruh semacam ini, karena tidak sedikit pula pengusaha nakal yang berperilaku buruk dalam menjalankan usaha mereka. Pengusaha yang jujur terpaksa ikut menggung resiko akibat ulah pengusaha nakal tadi.

Alangkah baiknya jika pengusaha mau membuka diri untuk memperlihatkan data keuangan perkembangan usaha kepada buruhnya sendiri dalam batas-batas kerahasiaan tertentu sehingga tercipta suatu pengertian untuk saling membutuhkan dan saling menghidupkan. Supaya tidak ada dusta lagi diantara pengusaha dan buruh.

Ketidakmampuan Perusahaan Maupun Buruh Dalam Memahami Arti Hubungan Kerja Diantara Keduanya.

Dari berbagai berita, baik media cetak maupun elektronik, tersirat hubungan antara buruh dan pengusaha tidak jauh berbeda seperti hubungan antara tuan yang berkuasa dengan hamba yang hidupnya sangat bergantung kepada tuan. Hubungan yang demikian menyebabkan buruh hanya berpikir soal besar kecilnya upah yang mesti dibayar oleh perusahaan dikaitkan dengan kebutuhan hidup mereka tanpa memikirkan kelangsungan hidup perusahaan. Sebaliknya perusahaan hanya berpikir bagaimana mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan tenaga buruh yang telah diupahnya.

Dengan hubungan yang demikian maka baik buruh mapun pengusaha sama-sama akan merasa tertekan, padahal hubungan mereka adalah hubungan yang saling membutuhkan demi kelangsungan hidup bersama. Hubungan yang saling menghidupkan inilah yang mungkin dimaksudkan dengan hubungan Industrial Pancasila yang dipopulerkan saat almarhum bapak Sudomo menjadi Menteri Tenaga Kerja R.I waktu jaman Orde Baru.

Pemerintah Belum Mampu Memainkan Peranannya Dengan Baik Untuk Mempertemukan Perbedaan Cara Pandang Antara Buruh Dan Pengusaha.

Nampaknya pemerintah dalam hal pengambilan keputusan untuk menentukan UMP ternyata masih menjadi bulan-bulanan baik dari buruh maupun pengusaha. DKI misalnya, buruh merasa pemerintah masih berpihak kepada pengusaha, eh ternyata para pengusaha bersama bapak Presiden RI malah meyindir bapak Jokowi karena membela buruh. Ini betul-betul hal yang sangat memalukan Pemerintah sendiri. Hal ini diduga disebabkan karena penggunaan indikator makro yang menyesatkan sebagai dasar penentuan UMP tanpa dilihat secara terinci dan faktual. Kashian Pemerintah makan buah simalakamanya sendiri, tidak makan dicerca buruh, dimakan eh masih juga dicerca buruh bersama pengusaha.

Kementrian Tenaga Kerja dan Dinas Tenaga kerja mestinya lebih pro aktif menncari indikator lain yang lebih relevan untuk digunakan melengkapi ataupun menggagntikan indikator makro ekonomi yang selama ini dipakai sebagai dasar penentuan UMP. Dengan demikian angka UMP bisa ditetapkan dalam beberapa kataggori yang lebih realistis, tidak seperti sekarang ini dimana UMP itu hanyalah satu angka yang dipaksakan berlaku bagi seluruh perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun