Mohon tunggu...
Semprianus Mantolas
Semprianus Mantolas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pecandu Kopi

Baru belajar melihat dunia, dan berusaha menyampaikannya melalui simbol (huruf)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Tan Malaka dalam Semangat Muda

30 Maret 2017   22:13 Diperbarui: 30 Maret 2017   22:48 1932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dimasa foedalisme atau zaman bangsawan, perkakas di sawah dan ladang hanyalah cangkul atau bajak. Di tempat pertukangan, pahat yang semuanya diangkat dengan tangan menjadi perkakasnya. Hasil sawah, pertukangan dan penenunan, hanya cukup untuk keperluan masing-masing keluarga saja -kalau lebih baru dijual oleh mereka. Ringkasnya dimasa ini, perkakas yang dimiliki kecil dan hasilnya pun kecil.  

Seiring berjalannya waktu, beberapa petani, tukang dan saudagar di zaman bangsawan berkumpul untuk mendirikan desa atau kota. Untuk menjaga keamanan desa dibentuklah pemerintah desa. Pemimpin biasanya diangkat dari orang yang tua, yang pandai, dan banyak mendapat kepercayaan dari banyak orang. Pangkat memerintah negeri akhirnya jadi turun temurun dari bapak ke anak. Sekarang penduduk terbagi berdasarkan kasta, tani, saudagar, dan kasta pemerintah. Semakin kuat pemimpinnya semakin besar pula wilayah kekuasaanya. Untuk memenuhi kebutuhan di pemerintah, para petani yang mengusung pemimpin tadi dihisap habis-habisan dengan istilah upeti, sebagai bayaran uang keamanan.

Negeri makin besar, kekuasaan tertumpuk pada raja dan bangsawan, kekayaan makin tertumpuk pada kaum hartawan serta kaum buruh tani makin terhisap dan tertindas.  Supaya buruh tani yang terhisap itu takluk dan tunduk kepada kaum raja dan bangsawan, maka diadakanlah agama, peraturan, didikan dan adat yang bersifat kekastaan atau kebudakan.

Gereja dan Masjid jatuh di tangan kaum bangsawan juga, anaknya rakyat diajar untuk jongkok dan menyembah, sedangkan anaknya raja serta bangsawan diajar memukul, memaki dan menerjang (Tan Malaka, Semangat Muda, hal. 11)

Sistem yang berjalan selama 200 tahun lebih ini, setelah perdagangan telah terjadi lintas batas negara membuat kaum hartawan (saudagar) merasa terus dibatasi perdagangannya. Raja dan bangsawan masa bisa mengambil pajak sekehendak hatinya, ditambah lagi upaya untuk mengirim barang dari satu negeri ke negeri lainnya terus dibatasi oleh kaum bangsawan. Sehingga agar para kaum hartawan ini dapat dengan bebas melakukan perdagangan, dan secara leluasa mengirim barang ke negeri lain maka mereka harus merdeka dalam urusan politik negeri.

Dengan pertolongan Tani dan Buruh, kaum Hartawan pada tahun 1789 dapat menghancurkan kekuasaan kaum bangsawan dan raja Prancis. Hal ini kemudian dikenal dengan Revolusi Prancis. Dimana Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Dari sinilah petualangan zaman kapitalisme bermula.

Sekarang modal bisa tumbuh dan menjalar dari kiri ke kanan dengan leluasa. Satu pabrik tidak seratus atau dua ratus pekerja, melainkan sudah mencapai 30 ribu kuli kerja (Inggris, Jerman dan Amerika). Bahkan ada pula perusahaan asing yang tidak memiliki pabrik namun dapat keuntungan berkali-kali lipat jumlahnya, seperti NIKE.

Tantangan Masa Kini

Ketika kapitalisme telah merongrong pemerintahan, maka yang terjadi adalah pemerintah akan tunduk pada semangat kapitalisme (Tan Malaka, Semangat Muda, hal. 10). Alhasil segala macam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berada diluar koridor kebangsaan yang dicita-citakan oleh bangsa.

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan hukum tertinggi dalam NKRI ini, kemudian lucuti kekuasaannya dan digantikan dengan peraturan-peraturan daerah, pemerintah atau peraturan lainnya yang sekiranya mampu menguntungkan para kaum hartawan.

Pun dapat kita lihat dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan Perorangan atau Pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam dianggap bertentangan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945. Tapi coba perhatikan, Freeport milik siapa? Sumber Air kita milik siapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun