“Di tanganmu tergenggam kemerdekaan Indonesia, yakni kekapaan, keselamatan, kepandaian dan peradaban. Kamu kaum Revolusioner, kelak rakyat dan keturunanmu dan angin kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: Di sini bersemayam semangat Revolusioner”
Kutipan di atas adalah sepenggal kalimat dari ratusan halaman buku yang ditulis oleh seorang Revolusioner dengan judul “Semangat Muda”. Tan Malaka namanya.
Kini sosok Revolusioner tersebut telah tiada. Parahnya lagi, setelah diangkat oleh Prisiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1963, yang ditandai dengan dikelurkannya Keputusan Presiden (Kepres) No 53, Tan Malaka malah dihilangkan dari daftar pahlawan nasional dalam buku sejarah Indonesia saat orde baru[1].
Akibatnya, cita-cita Tan Malaka dalam menghilangkan kapitalisme di Indonesia hingga saat ini bak di dalam gua yang gelap. Ini dapat kita lihat, mulai dari kasus Freeport (yang sampai saat ini tak jelas nasibnya), penjualan Indosat kepada asing, air kita dikuasai pemodal asing -lihat siapa yang menguasaiaqua saat ini, hingga kasus kendeng dimana petani yang harus melawan pemerintah sendiri untuk bertahan hidup.
Semangat menghilangkan kapitalisme inilah yang sebenarnya ingin dibangun oleh Tan dalam bukunya semangat muda. Sebab menurutnya, kapitalisme Indonesia gunanya buat memenuhi keperluan asing, yang tinggalnya jauh, maka keadaan dan majunya kapitalisme Indonesia juga semata-mata menurut keperluan bangsa asing yang tinggal di negeri asing (Tan Malaka, Semangat Muda, hal. 35). Rakyat harus menyewakan tanah buat pembangunan pabrik (gula, semen dll), dan agar memenuhi kebutuhannya mereka harus menjadi kuli bagi perusahaan yang berdiri di tanah mereka.
Menariknya, sebelum Tan Malaka membangkitkan semangat juang kaum muda, ia terlebih dahulu memaparkan bagaimana terjadinya perubahan dari feodalisme kepada hatawanisme atau lazimnya kapitalisme.
Di sini dapat kita lihat dialektika materialis Tan Malaka yang tentunya terpengaruh dari Karl Marx. Hemat saya, tujuan dari Tan memasukan perubahan dari zaman feodalism ke kapitalism tak lain adalah untuk mengatakan kepada masyarakat Indonesia bahwa zaman akan berubah ketika masyarakat (buruh dan petani) berani untuk bertindak. Dengan kata lain diperlukannya aksi masa atau masyarakat yang berani turun ke jalan dan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Ini kemudian sejalan dengan apa yang ia tuliskan bahwa senjata feodalisme dan kapitalisme terletak pada peluru dan pedang. Sedangkan senjata dari kaum proletar Industri adalah agitasi, mogok dan demonstrasi (Tan Malaka, Semangat Muda, hal. 6).
Dari Feodalisme hingga Kalitalism
Tiap pergaulan hidup di muka bumi ini, baik di Asia atau Eropa, dulu dan sekarang memiliki klassen atau kasta, yakni kasta tinggi, rendah dan tengah. Imanuel Wallerstein seorang globalis membagi struktur global dalam tingkat yang serupa, yakni core, phery-phery dan semi phery-phery[2].
Menurut pikiran karl Max, timbulnya kasta tadi disebabkan oleh hasil dari perkakas yang mereka miliki, seperti pahat, cangkul, mesin. Mesin menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari cangkul ataupun pahat. Ringkasnya perkara mengadakan hasil, menimbulkan kasta, dan kasta itu menimbulkan paham politik, agama dan adat yang semuanya bersifat kekastaan.