Mohon tunggu...
Sammad Hasibuan
Sammad Hasibuan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surau Tua "Kek Belalang"

21 September 2018   09:12 Diperbarui: 21 September 2018   09:38 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantas ia menatapku dengan mata penuh tanya. Kembali memandang bangunan tua yang berdiri di depannya. Surau rapuh.  Sebagian atapnya tinggal menunggu hujan mengamuk. Ambruk. Rata seperti tanah gersang yang tumbuh liar di semua bagiannya. Surau itu seperti kehilangan ruhnya. Lalu ia tak bertanya lagi. Ia mulai melangkah mendekati pintu surau. Memperhatikan setiap sudut yang dianggapnya telah  berubah.

Tidak seperti kala ia hidup sebagai kanak-kanak. Surau itu menjadi rumah kedua baginya. Di dalam surau, bersama anak-anak kecil lainnya, ia belajar iqra pada Kek Belalang. Sebelum magrib biasa mereka berkumpul. Kek Belalang akan menggilir satu per satu anak-anak secara tertib. Tak boleh ada keributan. Apalagi membuat kegaduhan atau lelucon yang bisa mengganggu suasana.

"Anu ? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkannya terbengkalai ?".

"Ceritanya panjang! Aku tak punya cukup waktu untuk bercerita saat ini".

"Kuharap lelucon kek Belalang  masih melekat dalam kepalamu?".

"Tentu. Tentu saja aku masih ingat. Terutama tongkat yang sering digunakannya untuk memukul anak-anak nakal saat mengaji".

"Kukira ada baiknya kita membuatnya hidup lagi. Seperti saat kita masih kanak-kanak".

Sayang sekali jika surau peninggalan kek Belalang tidak diperhatikan warga. Setidaknya merawat. Atau, mengganti beberapa bagiannya yang telah dimakan tahun. Belum lagi rerumputan dan semak-semak yang membuatnya semakin tak hidup. Kosong. Pasti orang-orang merasa takut, lewat ataupun masuk ke dalamnya.

Dalam hatiku aku mengiyakan usulnya. Surau tua itu -tempat mengaji anak-anak sebelum pemiliknya meninggal- adalah tempat paling ramai. Di mana anak-anak berkumpul. Bermain. Dan belajar mengaji. Adapun gurunya, tak lain adalah kek Belalang itu sendiri. Tetapi, kek Belalang hanya bersemayam dalam ingatan. Ia sudah meninggal.

------

"Ada yang tahu kenapa orang Muslim diwajibkan shalat ?". kek Belalang menatap satu per satu anak-anak yang duduk di hadapannya.

"Mmm. Shalat itu kan salah satu rukun Islam, kek. Makanya wajib dikerjakan". ujarku, kala itu sedikit ragu-ragu. Kek Belalang memandangku. Sepertinya belum cukup puas dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Yang lain, ayo, jawab!". Tiba-tiba kek Belalang meletakkan tongkatnya di depan kami. Artinya, jika tak ada lagi yang menjawab, sebentar lagi tongkat itu akan menemukan korbannya.

Semuanya terdiam. Yang satu menatap lainnya. Adapun aku yang merasa sudah memiliki jawaban, tersenyum angkuh. Anak-anak lain mulai tidak tenang dalam duduknya. Aziz, anak gemuk yang duduk paling depan tampak mundur sejengkal ke belakang. Sementara Arsyad, anak pak RT juga merapatkan tubuhnya ke tengah barisan. Akan tetapi, lagi-lagi aku keliru. Kukira, kek Belalang akan membiarkanku diam dalam keangkuhan. Sedangkan suara tak jelas mendengung seperti lebah. Meskipun yang hadir dalam surau tak lebih dari delapan anak, termasuk aku. Akan tetapi saat ketakutan suara kami bisa mengalahkan kawanan lebah yang sedang mengamuk sebab sarangnya diganggu.

Plak...

Tongkat keras, berwarna hitam mengkilap itu mendarat di bagian lutut kananku. Aduh! Sakit, kek. Ucapku sembari memijat pelan-pelan bagian tubuhku yang terkena pukulan kek Belalang. Adapun yang lainnya tertawa gembira. Lega. Ingin rasanya mengajukan pembelaan, tetapi melihat roman wajah kek Belalang yang menakutkan membuatku urung melakukannya. Nyaliku menciut. Tiba-tiba, kek Belalang berdiri. Mengambil bongkahan kapur yang terletak di sisi kanan papan tulis. Lalu menuliskan kutipan hadis Arba'in an-Nawawiyah.

 Shalat adalah tiang agama. Barang siapa yang mengerjakannya, ia telah turut mengokohkan agama. Dan, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia juga turut meruntuhkan agama. (HR. Bukhori dan Muslim). Kira-kira begitulah artinya, ujar kek Belalang. Oleh sebab itu, seorang muslim yang tidak shalat, otomatis telah meruntuhkan agamanya sendiri. Bukan agamanya saja yang runtuh, bahkan dirinya juga akan turut diremehkan. Sebaliknya, seorang Muslim yang benar-benar melaksanakan kewajibannya, tentunya ia berhasil dalam menjalankan tuntunan Baginda Nabi". tambahnya.

"Nah, kalau Islamnya hanya di-KTP saja bagaimana, kek?". Tiba-tiba suara Aziz menciptakan keberanian pada lainnya. Benar. Banyak orang mengaku Muslim, tapi mengabaikan perintah shalat. Miris sekali, gumamku. Kek Belalang mondar-mandir di depan papan tulis. Mengacung-acungkan tongkat sembari menjelaskan kewajiban shalat sebagai salah satu rukun Islam.

"Lagi! Ada yang tahu bedanya antara orang Muslim dengan non-Muslim?". tanya kek Belalang. Anak-anak kembali berpikir mencari jawaban. Aziz menekuk kedua kakinya. Matanya mengarah pada papan tulis hitam. Seolah ia menemukan jawaban dari hitamnya papan tersebut.

"Kek ?". aku mengacungkan tangan sedikit ragu-ragu.

"Ya. Kau sudah dapat jawaban, Hamzah?".

"Hmm. Tidak terlalu yakin. Namun, aku mencoba menghubungkan hadis yang tertulis di papan itu dengan apa yang saya lihat di sekitar kita". masih dalam keragu-raguan.

"Lalu ?". kek Belalang semakin mendesakku untuk menjawab.

"Jadi begini, kek. Bedanya adalah shalat".

"Kau yakin?". Kek Belalang terus mengintrogasi.

"Setidaknya begitu, kek".

Kek Belalang manggut-manggut. Dan lainnya saling menyapa. Apa yang baru kukatakan adalah jawaban yang benar ? Tapi, kek Belalang masih terdiam. Menimbang-nimbang. Hari semakin sore. Matahari bergulir cepat menjemput peraduan. Lautan berubah warna tersapu sinar matahari yang mengintip di ufuk timur. Kalong berhamburan dari sarang. Lelah. Seharian menggelantung di balik dahan-dahan pohon entah di mana. Seekor burung Nuri terbang menyendiri. Tertinggal oleh kawanannya. Adapun kek Belalang menyuruhku menutup pengajian sore itu. Pulang. "Jangan lupa, kalian sekali-kali tidak boleh meninggalkan shalat", nasehatnya.

Sore berikutnya sama seperti sore sebelum-sebelumnya. Selepas bergelut dengan kesibukan di sekolah dasar, aku dan anak-anak lainnya mulai mengerumuni surau Kek Belalang. Ketika sampai di sana, kek Belalang masih sibuk memetik buah mangga yang sedang bermusim di belakang suraunya. Banyak sekali. Besar-besar juga. Begitu menyadari kedatangan kami, ia pun menghentikan kegiatannya. Memilah beberapa buah yang sudah matang, lalu diberikan kepada kami. Saking senangnya, bahkan mengucapkan terima kasih pun bukan lagi sesuatu yang harus dikatakan ketika memperoleh pemberian. Kek Belalang masuk ke dalam rumahnya yang kecil di samping surau. Entah apa yang dilakukannya. Begitu lama ia berada di dalam sana. Menghilang dari mata kami.

"Kok, masih di luar ?". tiba-tiba suara berat kek Belalang mengejutkan kami.

"Kakek lama sekali ganti bajunya". Aziz masih sempat-sempatnya membalas.

Semua masuk ke dalam surau. Sebelum mengaji, kek Belalang akan menyuruh salah seorang untuk memimpin doa. Selepas itu, menjadi kebiasaannya menceritakan kisah nabi-nabi agar kami tidak merasa jenuh. Kami tidak pernah bosan mendengar ceritanya. Meskipun, kisah yang dibawakannya kali ini adalah cerita yang sama. Hanya saja dengan pembawaan yang berbeda. Usianya yang sudah senja mempengaruhi kesehatannya. Terutama giginya yang mulai rontok di sana-sini. Belum sempat mencapai ujung kisah, batuk berat terdengar parau berhamburan dari tenggorokannya. Spontan aku berlari ke dalam dapur, mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. Lalu bergegas mempercepat langkah ke dalam suaru.

"Diminum dulu, kek". Suruhku agak khawatir. Ia mencoba minum. Akan tetapi, batuk berat lagi-lagi tak membiarkan kerongkongannya ditenangkan.

"Sebentar. Kakek juga sudah tua. Maklum saja, penyakit orang tua". Katanya menenangkan kami yang mulai panik. Menebarkan senyumnya agar kami tidak ketakutan.

"Iya. Tapi kakek tetap harus minum". aku memaksanya. Dan kali ini ia menyerah. Ia mengambil beberapa tegukan. Cukup untuk membersihkan kerongkongannya.

"Sana kau panggilkan dokter atau siapalah. Kita yang anak-anak tidak akan mengerti". Perintahku pada Aziz. Yang langsung disambut dengan langkah panjang dan tergesa-gesa. Kupikir ia juga merasakan gejolak yang bersemayam dalam pikiranku.

Yang lainnya membantu membaringkan kek Belalang di atas dipan kumuh satu-satunya yang dimiliki surau. Wajahnya tampak pucat. Seperti gumpalan awan yang kini menghitam di bawah langit. Semoga saja tidak hujan, doaku dalam hati. Sore tampak menunjukkan dirinya. Angin kencang menerpa dinding surau. Menimbulkan suara dari ranting-ranting pepohonan yang bergoyang mengikuti hembusan angin. Terasa dingin menusuk kulit.

Hampir lima belas menit Aziz telah pergi, tetapi selama itu pula ia belum juga memperlihatkan tanda-tanda pulang. Nyaris batuk kek Belalang hampir pulih sendiri. Ia sudah bisa duduk dan mulai bicara pelan-pelan. Ah, mana si Aziz ? tanyanya ketika melihat anak itu tak ada di antara kami. Semua memilih diam, termasuk aku sendiri. 

Ia berusaha berdiri dengan bertumpu pada tongkatnya. Lalu, dua orang bapak-bapak muncul di depan pintu. Dan Aziz berada di belakang mereka dengan nafas ngos-ngosan. Capek, matanya tampak mengatakan kalimat itu. Mereka langsung membantu kek Belalang menuju kamarnya di belakang. Dan, selepas itu aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Kami disuruh pulang.

Hampir lima hari pengajian diliburkan. Katanya kek Belalang masih dalam kondisi kurang sehat. Jadi, kami memaklumi hal itu. Hari yang keenam, kek Belalang tampak duduk di pintu surau. Merindukan anak-anak pengajiannya.

"Kemari, nak?". Panggil kek Belalang begitu girang melihatku berjalan ke arahnya.

"Alhamdulillah, kakek sudah sehat kembali". Ucapku tak kalah girang. Jika kek Belalang sudah pulih, pasti suraunya akan dipenuhi anak-anak lagi.

"Lah, mana teman-temanmu?". Kek Belalang memperhatikan apakah di belakangku masih ada yang lain.

"Tak ada, kek. Aku disuruh Ibu untuk memberikan ini pada kakek". sambil menyodorkan bungkusan berisi buah yang dibelikan Ibu di pasar pagi.

"Ibumu baik sekali". sambut kek Belalang dengan ucapan terima kasih.

"Kapan kita akan mengaji lagi, kek?". Kataku menempatkan diri di dekatnya.

"Entahlah! Kondisi tubuh kakek mulai rentan. Apalagi saat batuk, sesak rasanya di tenggorokan". Jawabnya.

"Aku berharap kakek cepat sembuh. Anak-anak rindu mengaji bersama kakek". aku tidak bisa memaksanya untuk mulai mengaji secepatnya.

Dua puluh tahun berikutnya usianya genap satu abad. Di desaku, kek Belalang merupakan orang yang dituakan. Bahkan ia sendiri tidak tahu tahun kelahirannya. Namun ia sangat gigih dan menyempatkan sebagian waktunya untuk mengajari anak-anak desa belajar mengaji. Meskipun hanya sebagian dari anak-anak saja yang mau. Tak ada upah dari mengajar mengaji. Orang tua kami hanya memberikan tujuh kaleng beras di akhir tahun. Kadang-kadang orang tua kami menitipkan makanan ketika berangkat menuju surau.

"Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (Al-Qur'an)" tiba-tiba potongan ayat al-Qur'an itu membuyarkan lamunanku.

"Iya, kek. Hamzah akan selalu mengingatnya". Sembari menatap lamat-lamat wajahnya yang penuh keriput.

"Kau pulanglah, sudah hampir magrib".

"Baik, kek".

Setelah peristiwa itu, dan beberapa tahun berikutnya kek Belalang masih kuat mengajari anak-anak mengaji. Suatu pagi, aku dikejutkan dengan kepindahan Aziz bersama keluarga besarnya. Aku hendak mengahalanginya, namun semua sia-sia. Ia tetap pergi. Katanya menyeberangi pulau Sumatera dan tidak tahu kapan akan pulang. Mengaji bersama kakek Belalang. Aziz pergi, dan tinggallah tujuh anak yang setia mendengarkan kisah-kisah kek Belalang. Seperti ada yang kurang.

-----

"Jadi, kapan kek Belalang meninggal?" Aziz sudah kembali lagi ke desa.

"Delapan tahun yang lalu".

"Kasihan surau ini, sudah tak dirawat lagi". keluhnya.

"Kita harus merenovasinya kembali". Sahutku

"Ya, kau benar. Di desa ini masih banyak anak-anak. Mereka akan senang jika ada yang bersedia mengajar".

"Sebenarnya anak-anak yang mengaji bersama kita dulu juga bisa mengajar. Tapi, entah apa yang mereka pikirkan sehingga membiarkan surau ini rapuh begitu saja".

Siang itu, kami membongkar beberapa yang dianggap sudah tak layak. Mengubahnya menjadi surau yang layak sebagai tempat mengaji. Di belakang surau, kek Belalang terbaring di bawah nisannya. Pasti surga mengelu-elukan dirinya segera masuk ke dalamnya. Angin berdesir menciptakan alunan nada sendu. Lalu matahari menggelinding. Menghilang. Purnama muncul dan sekelumit kenangan bergantian mengisi pikiran.

Lombafsi.u.a@gmail.com

Lomba cipta cerpen Milad FSI Ulul Albab dengan Tema Budaya Berkarakter Islami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun