"Kapan kita akan mengaji lagi, kek?". Kataku menempatkan diri di dekatnya.
"Entahlah! Kondisi tubuh kakek mulai rentan. Apalagi saat batuk, sesak rasanya di tenggorokan". Jawabnya.
"Aku berharap kakek cepat sembuh. Anak-anak rindu mengaji bersama kakek". aku tidak bisa memaksanya untuk mulai mengaji secepatnya.
Dua puluh tahun berikutnya usianya genap satu abad. Di desaku, kek Belalang merupakan orang yang dituakan. Bahkan ia sendiri tidak tahu tahun kelahirannya. Namun ia sangat gigih dan menyempatkan sebagian waktunya untuk mengajari anak-anak desa belajar mengaji. Meskipun hanya sebagian dari anak-anak saja yang mau. Tak ada upah dari mengajar mengaji. Orang tua kami hanya memberikan tujuh kaleng beras di akhir tahun. Kadang-kadang orang tua kami menitipkan makanan ketika berangkat menuju surau.
"Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (Al-Qur'an)" tiba-tiba potongan ayat al-Qur'an itu membuyarkan lamunanku.
"Iya, kek. Hamzah akan selalu mengingatnya". Sembari menatap lamat-lamat wajahnya yang penuh keriput.
"Kau pulanglah, sudah hampir magrib".
"Baik, kek".
Setelah peristiwa itu, dan beberapa tahun berikutnya kek Belalang masih kuat mengajari anak-anak mengaji. Suatu pagi, aku dikejutkan dengan kepindahan Aziz bersama keluarga besarnya. Aku hendak mengahalanginya, namun semua sia-sia. Ia tetap pergi. Katanya menyeberangi pulau Sumatera dan tidak tahu kapan akan pulang. Mengaji bersama kakek Belalang. Aziz pergi, dan tinggallah tujuh anak yang setia mendengarkan kisah-kisah kek Belalang. Seperti ada yang kurang.
-----
"Jadi, kapan kek Belalang meninggal?" Aziz sudah kembali lagi ke desa.