Lantas ia menatapku dengan mata penuh tanya. Kembali memandang bangunan tua yang berdiri di depannya. Surau rapuh.  Sebagian atapnya tinggal menunggu hujan mengamuk. Ambruk. Rata seperti tanah gersang yang tumbuh liar di semua bagiannya. Surau itu seperti kehilangan ruhnya. Lalu ia tak bertanya lagi. Ia mulai melangkah mendekati pintu surau. Memperhatikan setiap sudut yang dianggapnya telah  berubah.
Tidak seperti kala ia hidup sebagai kanak-kanak. Surau itu menjadi rumah kedua baginya. Di dalam surau, bersama anak-anak kecil lainnya, ia belajar iqra pada Kek Belalang. Sebelum magrib biasa mereka berkumpul. Kek Belalang akan menggilir satu per satu anak-anak secara tertib. Tak boleh ada keributan. Apalagi membuat kegaduhan atau lelucon yang bisa mengganggu suasana.
"Anu ? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkannya terbengkalai ?".
"Ceritanya panjang! Aku tak punya cukup waktu untuk bercerita saat ini".
"Kuharap lelucon kek Belalang  masih melekat dalam kepalamu?".
"Tentu. Tentu saja aku masih ingat. Terutama tongkat yang sering digunakannya untuk memukul anak-anak nakal saat mengaji".
"Kukira ada baiknya kita membuatnya hidup lagi. Seperti saat kita masih kanak-kanak".
Sayang sekali jika surau peninggalan kek Belalang tidak diperhatikan warga. Setidaknya merawat. Atau, mengganti beberapa bagiannya yang telah dimakan tahun. Belum lagi rerumputan dan semak-semak yang membuatnya semakin tak hidup. Kosong. Pasti orang-orang merasa takut, lewat ataupun masuk ke dalamnya.
Dalam hatiku aku mengiyakan usulnya. Surau tua itu -tempat mengaji anak-anak sebelum pemiliknya meninggal- adalah tempat paling ramai. Di mana anak-anak berkumpul. Bermain. Dan belajar mengaji. Adapun gurunya, tak lain adalah kek Belalang itu sendiri. Tetapi, kek Belalang hanya bersemayam dalam ingatan. Ia sudah meninggal.
------
"Ada yang tahu kenapa orang Muslim diwajibkan shalat ?". kek Belalang menatap satu per satu anak-anak yang duduk di hadapannya.