"Lalu ?". kek Belalang semakin mendesakku untuk menjawab.
"Jadi begini, kek. Bedanya adalah shalat".
"Kau yakin?". Kek Belalang terus mengintrogasi.
"Setidaknya begitu, kek".
Kek Belalang manggut-manggut. Dan lainnya saling menyapa. Apa yang baru kukatakan adalah jawaban yang benar ? Tapi, kek Belalang masih terdiam. Menimbang-nimbang. Hari semakin sore. Matahari bergulir cepat menjemput peraduan. Lautan berubah warna tersapu sinar matahari yang mengintip di ufuk timur. Kalong berhamburan dari sarang. Lelah. Seharian menggelantung di balik dahan-dahan pohon entah di mana. Seekor burung Nuri terbang menyendiri. Tertinggal oleh kawanannya. Adapun kek Belalang menyuruhku menutup pengajian sore itu. Pulang. "Jangan lupa, kalian sekali-kali tidak boleh meninggalkan shalat", nasehatnya.
Sore berikutnya sama seperti sore sebelum-sebelumnya. Selepas bergelut dengan kesibukan di sekolah dasar, aku dan anak-anak lainnya mulai mengerumuni surau Kek Belalang. Ketika sampai di sana, kek Belalang masih sibuk memetik buah mangga yang sedang bermusim di belakang suraunya. Banyak sekali. Besar-besar juga. Begitu menyadari kedatangan kami, ia pun menghentikan kegiatannya. Memilah beberapa buah yang sudah matang, lalu diberikan kepada kami. Saking senangnya, bahkan mengucapkan terima kasih pun bukan lagi sesuatu yang harus dikatakan ketika memperoleh pemberian. Kek Belalang masuk ke dalam rumahnya yang kecil di samping surau. Entah apa yang dilakukannya. Begitu lama ia berada di dalam sana. Menghilang dari mata kami.
"Kok, masih di luar ?". tiba-tiba suara berat kek Belalang mengejutkan kami.
"Kakek lama sekali ganti bajunya". Aziz masih sempat-sempatnya membalas.
Semua masuk ke dalam surau. Sebelum mengaji, kek Belalang akan menyuruh salah seorang untuk memimpin doa. Selepas itu, menjadi kebiasaannya menceritakan kisah nabi-nabi agar kami tidak merasa jenuh. Kami tidak pernah bosan mendengar ceritanya. Meskipun, kisah yang dibawakannya kali ini adalah cerita yang sama. Hanya saja dengan pembawaan yang berbeda. Usianya yang sudah senja mempengaruhi kesehatannya. Terutama giginya yang mulai rontok di sana-sini. Belum sempat mencapai ujung kisah, batuk berat terdengar parau berhamburan dari tenggorokannya. Spontan aku berlari ke dalam dapur, mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. Lalu bergegas mempercepat langkah ke dalam suaru.
"Diminum dulu, kek". Suruhku agak khawatir. Ia mencoba minum. Akan tetapi, batuk berat lagi-lagi tak membiarkan kerongkongannya ditenangkan.
"Sebentar. Kakek juga sudah tua. Maklum saja, penyakit orang tua". Katanya menenangkan kami yang mulai panik. Menebarkan senyumnya agar kami tidak ketakutan.