Mohon tunggu...
samidi khalim
samidi khalim Mohon Tunggu... -

Profesi : Peneliti bidang Khazanah Keagamaan Balai Litbang Agama Semarang. Spesialis : Islam dan Budaya Jawa, Filologi Penddk : S1, S2, dan S3 diselesaikan di UIN WALISONGO SEMARANG Home : Semarang Hoby : Reading $ Writing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tasawuf Sebagai Terapi

14 Juli 2010   02:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53 5460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

a)      Niat

Satu hal yang sangat mempengaruhi hasil dari proses terapeutik adalah niat. Aspek ini memungkinkan keberhasilan atau tidaknya seorang terapis dalam menyelesaikan pekerjaannya sehubungan proses terapeutik tersebut. Sebab niat secara tidak langsung merupakan bagian dari transmisi positif penyembuhan Agha Menilai;

Niat dari setiap terapis adalah dan seharusnya, membantu proses penyembuhan pasien. Diantara para terapis dan pasien tidak mungkin berkompetisi, atau hasilnya bisa kematian pasien itu. Niat juga penting karena alasan lain : jika niat terapis untuk menyembuhkan seorang pasien cukup kuat, dia mentransmisikan pengaruh ekstra pada orang yang sakit, gugup, cemas atau tegang. Terapis tidak hanya sekedar mengatakan kepada pasien, "ya, saya dapat membantu anda, saya akan berusaha menyembuhkan anda". Niat terapis bahwa, dan jika niatnya cukup kuat berfokus pada itu, dia menstransmisikan faktor itu kepada pasien juga. (Omar Alishah 2005 : 259).

b)      Wawancara

Terapi yang dicontohkan oleh Agha sehubungan dengan menggunakan pendekatan tradisi tasawuf kepada klien di dahului melalui tahap wawancara ini sekalipun tidak mengadopsi dari model psikoanalisis dengan cara klien harus berbaring di atas balai-balai sedangkan terapis atau analisis berada di belakangnya, namun itu hanya sejenis pengembangan dari teknis wawancara.

Hal ini ditunjukkan dengan apa yang disarankan Agha kepada para peserta konggres mengenai tahap-tahap awal dan prosedur terapeutik.

Kita mulai dengan menggunakan jenis wawancara psikologi atau psikiatri klasik, dengan lain perkataan situasi semi medis. Pasien berbaring disana, seseorang mencatat dan pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan bentuknya diubah agar dapat diterima oleh pasien itu sebagai bincang-bincang. Artinya kita dapat menemui klien kita di sebuah restoran, warung kopi atau kelab malam, kita dapat berjalan-jalan di tepi sungai itu semua adalah ide yang bagus untuk mulai dengan melanggar situasi klasik baju putih, stetoskop dan bloknote. (Omar Alishah 2002: 22)

Pada tahapan awal atau sesi wawancara, tradisi tasawuf tidak mempunyai suatu sesi yang lehas atau ala tradisi. Ini menunjukkan bahwa tahapan awal hanyalah sebuah formalitas atau mengikuti formalitas yang ada, baku dan paling efektif, hanya saja beberapa penekanannya justru lebih terlihat santai sehingga prosedur terapeutik yang dilakukan oleh terapis dengan menggunakan terapi tasawuf terkesan jauh dari hal-hal yang berbau klinis atau medis. Model wawancara seperti ini bisa terlihat dalam pendekatan psikoterapi eksistensial humanistik, tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat sebagaimana psikoanalisis.

Teknik wawancara model klasik adalah selalu disesuaikan dengan tujuan sebuah terapi. Untuk mendapatkan data yang akurat, terapis harus mengemukakan terlebih dahulu aturan-aturan yang akan terjadi pada klien selama terapis berlangsung. Aturan-aturan ini tentu akan berimplikasi apda lancarnya proses terapeutik. Hal ini tidak ada dalam terapi tasawuf. Namun prinsip bahwa dalam teknik klasik ada kode etik bahwa tugas terapis adalah memberikan perhatian penuh dan mendengarkan dengan seksama apa yang diungkapkan oleh klien, sehingga tugas klien adalah menceritakan semuanya kepada terapis. (Amin Annajar 2002: 194) hal ini juga diadopsi oleh Agha Omar Alishah.

Penggunaan suatu topik yang dapat diperbincangkan bersama tidak lain adalah tehnik yang biasa digunakan dalam wawancara klasik. Tehnik ini adalah suatu persekutuan antara klien dengan terapis untuk melawan masalah yang dihadapi klien, penting artinya disini adalah untuk membangun rasa kepercayaan klien bahwa terapis mampu mengerti dan sanggup menghadapi masalah yang sedang diderita klien.

Terlepas dari persekutuan itu, klien juga harus menjalankan peranannya sebagai klien, sehingga dalam waktu yang bersamaan terapis mampu mengarahkan arah pembicaraan klien sesuai dengan agenda wawancara yang diinginkan terapis. Tulis Agha Omar Alisha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun