Covid-19 atau yang lebih sering kita kenal dengan istilah Virus Corona, akhir-akhir ini masihlah menjadi perbincangan hangat diseluruh dunia. Virus yang mulai berkembang di Kota Wuhan, China pada Desember 2019 lalu mulai menginfeksi berbagai negara di kawasan Asia bahkan hingga ke Eropa dan Amerika.Â
Virus yang asal mulanya dianggap berasal dari hewan ini menjadi wabah karena terus menerus menyebar dan menginfeksi berbagai belahan bumi. Bahkan WHO (World Health Organization) telah menetapkan virus ini sebagai pandemi atau wabah yang telah menyerang ke beberapa daerah/negara yang luas atau telah menyebar di seluruh dunia pada 11 Maret 2020 yang lalu.
Meluasnya pandemi Covid-19 yang tidak hanya menginfeksi di China bahkan di berbagai negara di kawasan Eropa dan juga negara-negara di kawasan Amerika menyebabkan kewaspadaan dan kekhawatiran terhadap kestabilan dan kesehatan manusia.Â
Tidak hanya kewaspadaan dan kekhawatiran terhadap manusia saja, tetapi juga kewaspadaan dan kekhawatiran terhadap kestabilan perekonomian dunia.Â
Pandemi Covid-19 pada saat ini menjadi salah satu faktor atau penentu arah kebijakan pemerintah pada suatu negara untuk memutuskan kebijakan apa saja yang baik dan sesuai dengan keadaan di masing-masing negara untuk menjaga perekonomian negaranya.
Banyaknya negara yang harus dan cepat berpikir ulang untuk mengatur dan mengelola arah kebijakan yang tepat dan sesuai dengan kondisi pada saat ini mengakibatkan perubahan ekonomi dunia.Â
Pada tahun 2020 diramalkan bahwa perekonomian dunia akan membaik dan pertumbuhan ekonomi akan meningkat dengan diputuskannya perjanjian dagang antara China dan Amerika Serikat. Namun, dengan adanya pandemi Covid-19 ini pertumbuhan ekonomi dunia harus lebih realistis dan bahkan harus menjaga kestabilan perekonomian dunia.
Begitupun pada Indonesia yang harus realistis dan menerima keadaan yang terjadi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Indonesia pada tahun 2020 diprediksi pertumbuhan ekonomi akan mengalami kenaikan yang dikarenakan juga pertumbuhan ekonomi global juga kan meningkat.Â
Perjanjian dagang antara China dan Amerika Serikat memberi angin segar kepada ekonomi dunia. Namun, hal tersebut sepertinya harus ditunda terlebih dahulu mengingat adanya pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara di dunia pada awal tahun 2020. Bahkan IMF (International Monetary Fund) membuat pernyataan mengenai kondisi perekonomian global yang terdampak oleh wabah Covid-19.Â
IMF menyatakan bahwa  prospek pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2020 adalah negatif alias turun daripada tahun lalu. Artinya, dunia akan mengalami resesi yang diperkirakan setidaknya sama dengan kondisi krisis keuangan global di tahun 2008 atau bahkan akan lebih buruk dari itu. Namun IMF mengharapkan perbaikan pertumbuhan ekonomi global akan terjadi pada tahun 2021, maka dari itu semua negara harus menjaga kestabilan ekonominya masing-masing.
Pandemi Covid-19 mendunia, mengakibatkan dominasi dolar Amerika Serikat terhadap mayoritas uang dunia semakin tinggi, termasuk pada rupiah. Para ekonom menyatakan Indonesia masih beruntung karena adanya interfensi dari Bank Indonesia. Bank Indonesi dengan devisanya  masuk ke dalam pasar untuk tetap menjaga kestabilan ekonomi Indonesia, dimana cadangan devisa pada Bank Indonesia masih mencukupi.
Ketidakstabilan ekonomi global juga menyebabkan ketidakstabilan pada nilai tukar yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Nilai tukar berbagai negara mengalami defisit, begitupun juga nilai tukar rupiah.Â
Rupiah masihlah beruntung dibandingankan dengan mata uang lainnya. Namun juga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih berubah-ubah (naik – turun).Â
Bahkan perubahan nilai tukar rupiah terhadap Amerika Serikat yang terus bergejolak (volatile) disebabkan sentiment negatif terhadap wabah global Covid-19 dan kebijakan dari bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menurunkan tingkat suku bunga (Fed Fund Rate) sebanyak dua kali pada Maret 2020, dengan total suku bunga yang diturunkan sebesar 1,5 persen menjadi hampir nol.
Ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus menerus berlanjut bahkan hingga akhir Kamis (2/4) nilai tukar rupiah ditutup melemah di Rp 16.470, dan pada Jum’at (3/4) nilai tukar rupiah dibuka menguat di level Rp 16.450. Memang di dua hari tersebut pergerakan nilai tukar rupiah tidak terlalu besar.
Namun rupiah pernah mengalami volatilitas yang tinggi pada 23 Maret 2020. Di tanggal itu rupiah sedang tinggi-tingginya mengalami volatilitas dengan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di level Rp 16.608, yang bermula sebelumnya pada tanggal 20 Maret 2020 nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terletak pada level Rp 16.273.Â
Kemudian pada tanggal 24 Maret 2020 yang sebelumnya pada 20 Maret 2020 hingga 23 Maret 2020 rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat, tetapi di hari berikutnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menguat terhitung pada level Rp 16.486. Mayoritas mata uang Asia juga bergerak melemah.Â
Beberapa di antara yang melemah adalah won Korea melemah sebesar 2,71 persen, ringgit Malaysia melemah sebesar 0,88 persen, dan baht Thailand melemah sebesar 0,65 persen. Sementara yang bergerak menguat hanya yen Jepang sebesar 0,37 persen.
Upaya Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter, serta pemerintah menetapkan kebijakan fiskal untuk mencegah volatilitas pada nilai tukar agar tidak terjadi terus menerus terhadap nilai tukar rupiah.Â
Hal ini sangat diperlukan mengingat pandemi Covid-19 tidak ada yang tahu kapan akan mereda dan tanpa ada yang tahu kepastiannya. Perlunya kerjasama antara para pemegang otoritas dan juga perlunya kebijakan yang sesuai dan tepat, sehingga tidak akan menimbulkan permasalah lain dalam memecahkan suatu masalah.
Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar terus memperkuat intensitas triple intervention baik secara spot, DNDF (Domestic Non Delivery Forward), dan pembelian SBN (Surat Berharga Negara) dari pasar sekunder.
Bank Indonesia telah melakukan pembelian SBN di pasar sekunder sebesar 172,5 triliun (ytd), yang diantaranya sebesar Rp 166,2 triliun dilakukan melalui pembelian dari pasar sekunder yang dilepas investor asing.
Bank Indonesia juga bersama OJK, industri perbankan, PJPS, dan PJPUR akan terus berkomitmen untuk menjaga kelancara layanan sistem pembayaran dan transaksi keuangan untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi.Â
Bank Indonesia bersama Kementrian Keuangan akan terus melakukan komunikasi dengan para investor global mengenai perkembangan ekonomi di Indonesia, langkah stabilitas moneter dan pasar keuangan.Â
Dengan adanya hal ini memberikan kepercayaan tersendiri bagi para investor, sehingga para investor global memberikan apresiasi kepada sistem kerjanya Bank Indonesia dan juga Kementerian Keuangan dengan masih tetap percaya dan bertahan untuk berinvestasi di Indonesia walaupun dalam keadaan seperti ini.Â
Bank Indonesia dalam hal ini juga bersama Bank Sentral yang tergabung dalam kerjasama ASEAN-5, melalui video conference telah berkoordinasi dan saling tukar menukar informasi terkait stabilisasi moneter dan pasar keuangan, maupun dalam kebjakan fiskal yang ditempuh di masing-masing negara dalam menjaga dan memitigasi dampak dari penyebaran pandemi Covid-19.Â
Bank Indonesia juga terus melakukan langkah-langkah untuk memperkuat stabilitas moneter dan pasar keuangan bersama pemerintah dan juga OJK. Bank Indonesia menilai bahwa stabilitas sistem keuangan masih terjaga dan kondisinya masih lebih baik apabila dibandingkan dengan krisis global pada tahun 2008 (Global Financial Crisis/GFC) bahkan pada krisi 1997-1998 (Krisis Moneter Asia).
Bank Indonesia akan terus berkoordinasi dengan Kemeterian Keuangan, OJK, dan LPS yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSKK), termasuk memperkuat Protokol Manajemen Krisi (PMK).Â
Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan OJK untuk memonitor perkembangan penyebaran Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu, serta menentukan apa saja langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik serta dapat memitigasi dan megurangi dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Langkah yang telah dan akan ditempuh oleh para otoritas pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, LPS dan lembaga lainnya memerlukan kepercayaan dari masyarakat di berbagai aspek misalkan saja para kreditor, pelaku usaha dan lain sebagainya untuk tetap berpikir positif dan mendukung apa saja kebijakan dari para otoritas pemerintah dalam menjaga dan menstabilkan perekonomian di Indonesia, karena sesungguhnya semua kebijakan yang telah diambil merupakan kebijakan yang terbaik untuk Indonesia pada saat pandemi Covid-19 ini berlangsung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI