Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Renungan tentang PKI

30 September 2022   21:54 Diperbarui: 30 September 2022   23:01 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum maraknya politik identitas, mungkin tidak ada isu yang paling membelah bangsa ini selain komunisme. Apa jadinya bangsa ini jika dijejali lagi dengan isu lawas yang memecah? Sekali lagi, jika berpijak semata-mata pada kacamata demokrasi, pelarangan PKI dan ideologi komunisme adalah mungkin tidak demokratis. Namun, kita harus menomorsatukan soliditas bangsa ini di atas segalanya. Konsepsi demokrasi, andai pun kita terima, harus disesuaikan dengan kepentingan yang lebih besar itu.

Perubahan pandangan saya ini juga dipengaruhi oleh keputusan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI pada 2017 silam. Bagaimana pun, HTI yang ogah mengakui Pancasila bisa eksis semata karena alasan demokrasi. Menyusul pembubaran organisasi tersebut, karena niatnya untuk meniadakan Pancasila sama dengan tujuan akhir PKI, maka premis saya tersebut menjadi gugur dengan sendirinya. Negara telah bertindak adil karena menyingkirkan organisasi yang ingin Pancasila sirna---entah itu dari golongan kiri atau kanan.

Jika mempelajari sejarah komunisme, kita bisa melihat juga bahwa konsep ideal mereka tidak lebih hanya jargon. Uni Soviet telah bubar, sementara China secara konseptual sudah membuktikan ketidakampuhan ekonomi komunisme. Di negara demokrasi, partai-partai komunis yang eksis pun tidak laku saat pemilu. Boleh dibilang, hanya perebutan kekuasaan via kekerasan saja wahana kaum komunis untuk dapat berkuasa, bukan lewat proses demokratis.

Andai hidupnya lebih panjang, saya yakin Norman Bethune pun akan menanggalkan komunisme. Apakah mata hatinya sanggup untuk melihat jutaan orang kemudian mati di tangan Partai Komunis China dalam Revolusi Kebudayaan-nya Mao Zedong? Belum lagi eksekusi-eksekusi berdarah kaum komunis untuk sekedar merebut atau mempertahankan kekuasaan. Penghilangan nyawa jelas paling dibenci oleh Bethune yang sebagai dokter memperbanyak kesempatan orang-orang untuk bertahan hidup.

Nilai-nilai ideal komunisme mungkin bisa nyantol di hati orang-orang humanis semisal Bethune dan jutaan orang lainnya. Namun, nilai yang turut digelondongkan dengan metode pertentangan kelas ala Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan sebagainya itu terbukti mencabik-cabik nurani manusia. Hanya orang lapar kuasa dan haus darah saja yang masih mungkin menerimanya mentah-mentah.

Mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan sering dikutip bilang bahwa 'seorang komunis adalah yang membaca Marx dan Lenin, sedangkan seorang antikomunis adalah yang memahami Marx dan Lenin'. Saya pribadi jujur saja belum membaca langsung karya Marx dan Lenin. Namun, tidak perlu berlelah-lelah menguliti karya keduanya untuk sampai pada kesimpulan betapa pentingnya menjauhkan ideologi komunisme dari bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun