Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Renungan tentang PKI

30 September 2022   21:54 Diperbarui: 30 September 2022   23:01 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu aksi pembakaran bendera PKI. Sumber gambar: www.antarafoto.com

Sebagai sebuah ideologi, komunisme sanggup memikat berbagai kalangan. Mengingat kondisi dunia masih dalam status pandemi Covid-19, saya ambilkan contoh seorang komunis dari dunia medis, Norman Bethune.

Dokter Bethune lahir di Kanada pada tahun 1890 dan meninggal di China pada tahun 1939. Bertolak belakangnya dua negara tempat kelahiran dan wafat ini saja sudah menarik, bukan? Belum lagi kalau ditilik dari situasi waktu itu di mana Kanada dan China berbeda kutub kultur dan ideologi.

Kendati berasal dari ras kulit putih, Bethune menemui ajalnya di tengah etnis China. Ini bisa terjadi karena Bethune mengadopsi salah satu konsep universal dalam komunisme: persamaan umat manusia tanpa memandang perbedaan primordial.

Bethune terpesona dengan komunisme setelah mengunjungi Uni Soviet pada 1935. Misi ke negeri komunis tersebut salah satunya untuk menengok implementasi sistem kesehatan di sana. Merasa terpuaskan, Bethune lantas bergabung dengan Partai Komunis Kanada.

Sebelum menabalkan diri sebagai seorang komunis, Bethune sudah menunjukkan ciri-ciri seorang sosialistik dan humanis. Berbeda dengan dokter kebanyakan yang kapitalistik, Bethune mendarmabaktikan diri kepada orang miskin. Dia juga pengusul konsep layanan kesehatan universal, suatu ide yang janggal dalam perspektif kaum kapitalis.

Bethune memiliki spesialisasi di bidang bedah torak. Namun, bukan pundi-pundi duit yang diniatkan menebal dengan keahliannya itu. Pada Januari 1938, Bethune tiba di China dan bergabung dengan perjuangan Partai Komunis pimpinan Mao Zedong. Kaum komunis Negeri Panda pada waktu itu tengah berjuang melawan agresor Jepang.

Sudah tentu banyak nyawa kombatan yang diselamatkan via tangan Bethune. Akan tetapi, perang pula yang mempercepat ajalnya. Dalam sebuah tindakan bedah, Bethune tidak sengaja memotong jarinya dan kemudian mengakibatkan infeksi penyakit mematikan. Nafas terakhir dihembuskannya pada 12 November 1939.

Pengaruh Bethune masih terasa setelah kematiannya. Partai Komunis China menggangapnya pahlawan. Begitu pun negeri kelahirannya, Kanada, tidak memutus ikatan dengan salah satu warganya yang dikubur di negeri jauh. Gara-gara popularitasnya di China, Bethune didaulat sebagai orang Kanada paling terkenal di dunia.

Komunis Indonesia

Sosok seperti Bethune yang dari 'sono'-nya memiliki jiwa sosial tinggi mungkin lebih mudah terpikat dengan komunisme. Mereka beranggapan rasa kemanusiaan itu tidak cukup dianut sendirian, tetapi harus diterapkan dalam skala luas. Nah, komunisme memang menawarkan cara untuk mewujudkan nilai-nilai itu yakni dengan terlebih dahulu merebut kekuasaan melalui revolusi. Contoh suksesnya adalah Revolusi Oktober 1917 di Rusia yang bermuara pada pembentukan Uni Soviet.

Di Indonesia, revolusi yang ditawarkan kaum komunis adalah mengganti pemerintahan kolonial Belanda. Dengan kata lain, kalau berhasil, mengakhiri penjajahan. Pemberontakan 1927 berhasil digagalkan oleh pemerintah kolonial, tetapi komunis masih bisa hidup di bawah tanah. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali eksis.

Saat seluruh elemen bangsa Indonesia berjuang mengusir kembali Belanda, agenda PKI ternyata berbeda. Pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948 dianggap menusuk republik dari belakang sehingga sejumlah tokohnya 'mati atau dimatikan'. Ini tidak membuat PKI musnah karena izin diperoleh lagi setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.

Ternyata, PKI memanfaatkan betul statusnya sebagai partai politik. Pada Pemilu 1955, PKI memperoleh 16% dari total suara sah nasional atau nomor empat terbanyak pemilihnya. Alhasil, kader-kader PKI bisa nongol di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante.

Pintarnya pimpinan PKI mengambil hati Bung Karno juga berbuah manis. PKI turut diikutkan dalam kabinet meski menerima penolakan dari kekuatan politik lainnya. Penentang terberat adalah TNI Angkatan Darat.

Konflik PKI dengan militer kemudian memicu Gerakan 30 September atau G30S yang beraksi pada 1 Oktober 1965. Komplotan yang dipimpin oleh Letkol Untung tersebut membunuh enam perwira tinggi, termasuk Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani.

Para pembaca sejarah pasti tahu banyak versi tentang dalang dari peristiwa berdarah tersebut. Akan tetapi, versi pemerintah paling masuk akal: bahwa PKI-lah dalangnya. Disebut masuk akal karena PKI paling diuntungkan dengan kematian para jenderal antikomunis. Andai tidak segera ditumpas oleh Panglima Kostrad Soeharto, bisa jadi bandul bangsa ini bisa bergeser ke komunisme.

Peristiwa G30S akhirnya menjadi awal malapetaka PKI. Pemimpin tertinggi PKI, DN Aidit, boleh dibilang mati secara 'unlawful killing', serupa dengan ribuan kader tingkat bawah. Tak cukup, mahasiswa berdemo menuntut pembubaran PKI. Kekacauan akibat aksi massa menggiring Bung Karno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang ditujukan kepada Soeharto. Tindakan pertama Soeharto berbekal surat tersebut adalah membubarkan PKI pada 12 Maret 1966.

Dalam hitungan bulan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menguatkan surat pembubaran PKI menjadi ketetapannya sendiri. Inilah yang kita kenal dengan TAP MPRS Nomor XXV. Sampai sekarang, TAP tersebut masih berlaku sehingga PKI beserta ideologi komunisme tidak punya alas hukum untuk eksis di Tanah Air.

Jangan Dicabut

Tiba belas tahun lalu di Kompasiana ini, saya menuliskan usulan agar larangan PKI dan komunisme dicabut. Saya sebutkan tiga alasan: demokrasi, HAM, dan konstitusi.

Setelah merenungkan kembali, saya sekarang berubah pendapat. Menurut saya, tidak perlu ada pencabutan TAP MPRS XXV. Alasan utamanya adalah bahwa PKI dan komunisme berpotensi memecah persatuan bangsa.

Demokrasi, salah satu dalil yang saya pakai, mungkin secara ide dan substansi bagus. Akan tetapi, demokrasi tampaknya tidak bisa menjamin abadinya persatuan bangsa. Tengok saja sekarang ini ketika politik identitas membelah di segala lini. Orang-orang akan bilang iklim sekarang bisa dibenarkan dari perspektif demokrasi. Akan tetapi, kita bisa rasakan bahwa demokrasi prosedural melegitimasi perebutan kekuasaaan dengan aneka cara termasuk yang bisa memicu perpecahan.

Sebelum maraknya politik identitas, mungkin tidak ada isu yang paling membelah bangsa ini selain komunisme. Apa jadinya bangsa ini jika dijejali lagi dengan isu lawas yang memecah? Sekali lagi, jika berpijak semata-mata pada kacamata demokrasi, pelarangan PKI dan ideologi komunisme adalah mungkin tidak demokratis. Namun, kita harus menomorsatukan soliditas bangsa ini di atas segalanya. Konsepsi demokrasi, andai pun kita terima, harus disesuaikan dengan kepentingan yang lebih besar itu.

Perubahan pandangan saya ini juga dipengaruhi oleh keputusan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI pada 2017 silam. Bagaimana pun, HTI yang ogah mengakui Pancasila bisa eksis semata karena alasan demokrasi. Menyusul pembubaran organisasi tersebut, karena niatnya untuk meniadakan Pancasila sama dengan tujuan akhir PKI, maka premis saya tersebut menjadi gugur dengan sendirinya. Negara telah bertindak adil karena menyingkirkan organisasi yang ingin Pancasila sirna---entah itu dari golongan kiri atau kanan.

Jika mempelajari sejarah komunisme, kita bisa melihat juga bahwa konsep ideal mereka tidak lebih hanya jargon. Uni Soviet telah bubar, sementara China secara konseptual sudah membuktikan ketidakampuhan ekonomi komunisme. Di negara demokrasi, partai-partai komunis yang eksis pun tidak laku saat pemilu. Boleh dibilang, hanya perebutan kekuasaan via kekerasan saja wahana kaum komunis untuk dapat berkuasa, bukan lewat proses demokratis.

Andai hidupnya lebih panjang, saya yakin Norman Bethune pun akan menanggalkan komunisme. Apakah mata hatinya sanggup untuk melihat jutaan orang kemudian mati di tangan Partai Komunis China dalam Revolusi Kebudayaan-nya Mao Zedong? Belum lagi eksekusi-eksekusi berdarah kaum komunis untuk sekedar merebut atau mempertahankan kekuasaan. Penghilangan nyawa jelas paling dibenci oleh Bethune yang sebagai dokter memperbanyak kesempatan orang-orang untuk bertahan hidup.

Nilai-nilai ideal komunisme mungkin bisa nyantol di hati orang-orang humanis semisal Bethune dan jutaan orang lainnya. Namun, nilai yang turut digelondongkan dengan metode pertentangan kelas ala Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan sebagainya itu terbukti mencabik-cabik nurani manusia. Hanya orang lapar kuasa dan haus darah saja yang masih mungkin menerimanya mentah-mentah.

Mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan sering dikutip bilang bahwa 'seorang komunis adalah yang membaca Marx dan Lenin, sedangkan seorang antikomunis adalah yang memahami Marx dan Lenin'. Saya pribadi jujur saja belum membaca langsung karya Marx dan Lenin. Namun, tidak perlu berlelah-lelah menguliti karya keduanya untuk sampai pada kesimpulan betapa pentingnya menjauhkan ideologi komunisme dari bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun