Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Renungan tentang PKI

30 September 2022   21:54 Diperbarui: 30 September 2022   23:01 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat seluruh elemen bangsa Indonesia berjuang mengusir kembali Belanda, agenda PKI ternyata berbeda. Pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948 dianggap menusuk republik dari belakang sehingga sejumlah tokohnya 'mati atau dimatikan'. Ini tidak membuat PKI musnah karena izin diperoleh lagi setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.

Ternyata, PKI memanfaatkan betul statusnya sebagai partai politik. Pada Pemilu 1955, PKI memperoleh 16% dari total suara sah nasional atau nomor empat terbanyak pemilihnya. Alhasil, kader-kader PKI bisa nongol di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante.

Pintarnya pimpinan PKI mengambil hati Bung Karno juga berbuah manis. PKI turut diikutkan dalam kabinet meski menerima penolakan dari kekuatan politik lainnya. Penentang terberat adalah TNI Angkatan Darat.

Konflik PKI dengan militer kemudian memicu Gerakan 30 September atau G30S yang beraksi pada 1 Oktober 1965. Komplotan yang dipimpin oleh Letkol Untung tersebut membunuh enam perwira tinggi, termasuk Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani.

Para pembaca sejarah pasti tahu banyak versi tentang dalang dari peristiwa berdarah tersebut. Akan tetapi, versi pemerintah paling masuk akal: bahwa PKI-lah dalangnya. Disebut masuk akal karena PKI paling diuntungkan dengan kematian para jenderal antikomunis. Andai tidak segera ditumpas oleh Panglima Kostrad Soeharto, bisa jadi bandul bangsa ini bisa bergeser ke komunisme.

Peristiwa G30S akhirnya menjadi awal malapetaka PKI. Pemimpin tertinggi PKI, DN Aidit, boleh dibilang mati secara 'unlawful killing', serupa dengan ribuan kader tingkat bawah. Tak cukup, mahasiswa berdemo menuntut pembubaran PKI. Kekacauan akibat aksi massa menggiring Bung Karno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang ditujukan kepada Soeharto. Tindakan pertama Soeharto berbekal surat tersebut adalah membubarkan PKI pada 12 Maret 1966.

Dalam hitungan bulan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menguatkan surat pembubaran PKI menjadi ketetapannya sendiri. Inilah yang kita kenal dengan TAP MPRS Nomor XXV. Sampai sekarang, TAP tersebut masih berlaku sehingga PKI beserta ideologi komunisme tidak punya alas hukum untuk eksis di Tanah Air.

Jangan Dicabut

Tiba belas tahun lalu di Kompasiana ini, saya menuliskan usulan agar larangan PKI dan komunisme dicabut. Saya sebutkan tiga alasan: demokrasi, HAM, dan konstitusi.

Setelah merenungkan kembali, saya sekarang berubah pendapat. Menurut saya, tidak perlu ada pencabutan TAP MPRS XXV. Alasan utamanya adalah bahwa PKI dan komunisme berpotensi memecah persatuan bangsa.

Demokrasi, salah satu dalil yang saya pakai, mungkin secara ide dan substansi bagus. Akan tetapi, demokrasi tampaknya tidak bisa menjamin abadinya persatuan bangsa. Tengok saja sekarang ini ketika politik identitas membelah di segala lini. Orang-orang akan bilang iklim sekarang bisa dibenarkan dari perspektif demokrasi. Akan tetapi, kita bisa rasakan bahwa demokrasi prosedural melegitimasi perebutan kekuasaaan dengan aneka cara termasuk yang bisa memicu perpecahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun