Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memanfaatkan Kelihaian Luhut

11 April 2022   21:03 Diperbarui: 11 April 2022   21:04 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Luhut B. Pandjaitan./sumber: https://maritim.go.id/

Salahkah Menko Luhut B. Pandjaitan ketika menggaungkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden? Bukan sekadar mewacanakan, malah Luhut dituding telah bergerilya untuk mengegolkan ide tersebut. 

Bagi kita yang meyakini bahwa demokrasi dan pembatasan masa jabatan adalah sepaket, tidak perlu ragu menjawab 'salah'. Pembatasan masa jabatan presiden memang hanya salah satu norma UUD 1945 hasil amendemen. Meski demikian, periodisasi presiden adalah jantung Reformasi 1998. Sebuah gerakan yang turut membuahkan demokrasi langsung. Tanpa demokrasi langsung, mustahil seorang saudagar mebel seperti Joko Widodo menjadi RI-1.

Wajar kiranya para pecinta demokrasi bak tersambar petir mendengar wacana penundaan pemilu berseliweran di sekitar Istana. Luhut, sejumlah menteri, dan pentolan partai dengan entengnya mengemukakan penundaan pemilu. Ketika rakyat menunggu komentar Presiden Jokowi, yang ada kata-kata bersayap.

Minggu kemarin, 10 April 2022, Jokowi akhirnya secara resmi memastikan Pilpres 2024 berlangsung sesuai jadwal. Kata-kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut jauh lebih terperinci dibandingkan saat rapat kabinet beberapa hari sebelumnya. Dengan ketegasan ini, wacana tersebut mati dengan sendirinya.

Penolakan Jokowi baru diucapkan ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara terbuka menolak amendemen UUD 1945. Amendemen merupakan salah satu pintu masuk untuk melonggarkan masa jabatan presiden. Partai lain kemudian segendang sepenarian dengan sikap PDIP.

Bolehlah dikatakan bahwa PDIP menjadi pahlawan dari drama ini. Jika PDIP sebagai pemenang maka Luhut berada di barisan pihak yang kalah. Sebuah noda bagi seorang pejabat yang pernah mengatakan 'belum ada operasi saya yang gagal'. Caci maki kepada Luhut pun masih deras dibarengi dengan desakan pencopotannya dari kursi menteri. Termasuk disuarakan mahasiswa ketika berdemonstrasi hari ini, Senin, 11 April 2022.

Drama penundaan pemilu boleh dikatakan mati. Akan tetapi, saya melihat ada sebuah misteri yang semakin terbuka. Ini masih soal Luhut.

Selama ini, Luhut kerap disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Jokowi. Jejak pertemanan keduanya bermula dari dunia bisnis. Andil Luhut dalam pemenangan Jokowi sudah bukan rahasia lagi.

Selain mengisi pos menteri di dua periode pemerintahan Jokowi, Luhut pun sering mendapatkan tugas tambahan. Salah satu yang paling vital adalah sebagai Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali guna meredam pandemi Covid-19.

Para pengkritik kerap menyebut kewenangan Luhut sebagai menteri terlalu kuat. Olok-olok vulgar melabelinya 'presiden yang sebenarnya' yang sama saja mengatakan Jokowi sekadar boneka. Sindiran agak sopan menyebutnya 'perdana menteri'---setidaknya masih mengakui ada presiden di atasnya.

KENDALI PARTAI

Sejarah kepresidenan menunjukkan para pendahulu Jokowi pun memiliki menteri atau pejabat selevel yang dianggap lebih kuat dari koleganya. Akan tetapi, sosok Luhut bagi Jokowi agak berbeda. Dari manakah kekuatannya bersumber? Untuk menjawab pertanyaan ini tampaknya butuh waktu. Yang sekarang bisa terjawab adalah seperti apa kekuatan Luhut itu.

Secara politik, Luhut ternyata mencengkeram tiga partai politik: Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN). Ketiga pucuk pimpinan partai itu adalah pelontar ide penundaan pemilu dari kalangan politisi. Dengan demikian, Luhut bukan hanya mengontrol partainya sendiri, Golkar. Kendali mantan Menko Polhukam tersebut ternyata lebih dari satu. Bagaimana bisa mereka bertekuk lutut?

Spekulasi bisa bermacam-macam. Namun, ini menjadi indikator kelihaian Luhut bermain politik. Seseorang yang bukan pendiri partai sanggup menguasai partai politik dan bisa mengarahkan mereka.

Sulit dibantah bahwa tiga partai itu sudah berada 'di ketiak Luhut'. Melontarkan isu yang tidak populer di tengah masyarakat tentu beresiko besar. Elektabilitas partai dalam pemilu berpotensi melorot. Label negatif seperti 'pengkhianat demokrasi' dan 'teroris konstitusi' menambah jelek citra.

Suka tidak suka, faktanya Luhut mampu mengendalikan tiga partai parlemen. Jika digabungkan, ketiganya menguasai 187 kursi atau 32,52% bangku DPR. Artinya, blok politik Luhut lebih besar dari PDIP (128 kursi/22,26%) dan Partai Gerindra (78/13,57%). Lebih gede juga dari gabungan oposisi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang mencakup 104 kursi (18,08%).

Jumlah 187 kursi di DPR/MPR memang tidak cukup untuk mengegolkan perubahan UUD. Akan tetapi, Luhut bisa memanfaatkan modal tersebut untuk menghasilkan produk legislasi level UU. Sebuah langkah yang dapat memelos citranya.

ROMBAK PRESIDENTIAL THRESHOLD

Kebetulan, salah satu isu politik hangat lima tahunan adalah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT). Sejak 2009, PT sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah menjadi syarat gabungan partai politik mengusung calon presiden. Ketika Pilpres 2019 berlangsung serentak dengan Pileg, PT masih dipertahankan. Basis suaranya adalah hasil kontestasi lima tahun sebelumnya.

Gara-gara PT, sulit sekali pilpres Indonesia banjir calon presiden. Malah, penyelenggaraan tahun 2014 dan 2019 hanya ada dua peserta. Akibatnya, polarisasi pemilih semakin menebal dan terasa sesudah pemilu selesai. Karena itu, sejumlah elite intelektual dan politik mewacanakan agar PT diturunkan atau di-nol-kan.

Sikap elite beresonansi dengan akar rumput. Menurut survei terbaru Median, sebanyak 39,9% masyarakat setuju penghapusan PT. Bandingkan dengan 29,6% yang bersikap tidak setuju.

Sayangnya, penyurvei hanya memberikan dua opsi kepada responden: setuju 0% atau 20%. Saya meyakini, dukungan publik akan semakin besar jika persentase PT diturunkan. Bagaimana pun, penghapusan PT akan menjadikan pilpres seperti pasar bebas.

Sampai saat ini, perombakan PT masih terbentur secara legal. Gugatan masih terus masuk, tetapi Mahkamah Konstitusi berkukuh dengan putusannya terdahulu bahwa PT adalah norma konstitusional. Alhasil, perombakan PT hanya bisa dilakukan lewat proses legislasi amendemen UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum.

Jika melihat kondisi status quo, mungkin hanya PDIP yang paling berkepentingan mempertahankan PT. Bermodalkan 22% kursi DPR, hanya partai berlogo banteng moncong putih itu yang bisa mandiri mengusung calon presiden. Secara historis pun PDIP adalah inisiator PT ketika diterapkan menjelang Pilpres 2009.

Di isu cukup-populer-tapi-mandek inilah Luhut bisa memperlihatkan kelihaian berpolitik. Revisi PT dapat dilakukan via RUU usulan DPR. Bermodalkan Golkar, PKB, dan PAN, Luhut sudah mengamankan 32,5% kursi DPR. Jumlah kursi bertambah menjadi 50,5% karena kubu oposisi Demokrat dan PKS nyaring bersuara menghapus PT.

Walau sudah cukup 50% plus satu, panen dukungan bisa meluas lagi. Partai Nasdem yang sudah lengket dengan Gubernur DKI Anies Baswedan tentu lebih leluasa di 2024 kalau PT dilonggarkan. Hati kecil Gerindra yang mengusung kembali Prabowo Subianto pun pasti khawatir gigit jari jika gagal berkoalisi. Walau suaranya paling bontot, PPP tentu berharap pula bisa mengusung calon seperti 2004 silam.

Praktis tinggal PDIP sendiri yang kemungkinan menginginkan PT dipertahankan. Namun, kekuatan PDIP tentu bukan semata bangku di parlemen. PDIP adalah partainya Presiden Jokowi. Faktor ini lebih penting dari 100% kursi parlemen sekalipun. Mengapa?

Sebab konstitusi mengatur bahwa UU disusun bersama oleh DPR dan presiden. DPR boleh mengusulkan RUU, tetapi semua sia-sia kalau Istana tidak mengirimkan surat presiden. Sebaliknya, RUU usulan pemerintah bisa mentok kalau parlemen menolak.

Di sinilah Luhut bisa kembali bermain dengan kelihaiannya. Bagaimana meyakinkan Jokowi sang sohib untuk bersedia mengirimkan surat presiden membahas RUU usulan DPR. Jika ingin prosesnya cepat Jokowi bisa meneken peraturan pemerintah pengganti UU atau perppu. Nantinya, DPR tinggal voting untuk menyetujui.

Apakah Jokowi berani berbeda dengan partainya? Faktanya, Jokowi pernah menolak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri meski ditekan PDIP pada 2015 silam. Masuknya Luhut ke kabinet pun disebut-sebut melawan kehendak partainya. Terkait legislasi, pada pertengahan 2020 Jokowi menolak mengirimkan surat presiden pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila inisiatif Fraksi PDIP.

Sebelum mengambil langkah seberani itu, tentu Jokowi harus mendapatkan dukungan massa. Kalau soal ini, Luhut kembali bisa bergerilya. Mewacanakan isu mustahil saja mampu, mengapa soal revisi PT yang didukung mayoritas publik tidak bisa?

Jika PT berhasil dirombak, saya meyakini citra 'porak-poranda' Jokowi dan Luhut akan sedikit terperbaiki. Sebaliknya, PDIP akan menjadi pihak antagonis. Andai bertahan dengan sikap tersebut, PDIP harus siap terpojokkan sendirian.

Secara prinsip, Luhut pun sudah sepakat untuk mengakhiri pembelahan publik akibat pemilu. Itulah salah satu justifikasinya mengusulkan penundaan pemilu. Tentu salah alamat karena berapa tahun pun pemilu digeser polarisasi masih ada jika sumbernya, ambang batas pencalonan presiden 20%, terus eksis.

Dalam politik, tidak ada gunanya membenci terlalu keras. Tengok saja PDIP yang sering dipandang sinis oleh lawan ideologinya, tetapi kini dielu-elukan karena berhasil menyetop manuver seorang Luhut. Semua bisa berbalik karena kepentingan bersama bertemu.

Begitu pula dengan Luhut. Betapa pun banyak isu kontroversial di sekitar dirinya kini, Luhut punya kelihaian dalam berpolitik. Tinggal bagaimana kelebihan itu dimanfaatkan untuk kepentingan lebih besar. Bukan sekadar jago merebut atau melanggengkan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun