Sejarah kepresidenan menunjukkan para pendahulu Jokowi pun memiliki menteri atau pejabat selevel yang dianggap lebih kuat dari koleganya. Akan tetapi, sosok Luhut bagi Jokowi agak berbeda. Dari manakah kekuatannya bersumber? Untuk menjawab pertanyaan ini tampaknya butuh waktu. Yang sekarang bisa terjawab adalah seperti apa kekuatan Luhut itu.
Secara politik, Luhut ternyata mencengkeram tiga partai politik: Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN). Ketiga pucuk pimpinan partai itu adalah pelontar ide penundaan pemilu dari kalangan politisi. Dengan demikian, Luhut bukan hanya mengontrol partainya sendiri, Golkar. Kendali mantan Menko Polhukam tersebut ternyata lebih dari satu. Bagaimana bisa mereka bertekuk lutut?
Spekulasi bisa bermacam-macam. Namun, ini menjadi indikator kelihaian Luhut bermain politik. Seseorang yang bukan pendiri partai sanggup menguasai partai politik dan bisa mengarahkan mereka.
Sulit dibantah bahwa tiga partai itu sudah berada 'di ketiak Luhut'. Melontarkan isu yang tidak populer di tengah masyarakat tentu beresiko besar. Elektabilitas partai dalam pemilu berpotensi melorot. Label negatif seperti 'pengkhianat demokrasi' dan 'teroris konstitusi' menambah jelek citra.
Suka tidak suka, faktanya Luhut mampu mengendalikan tiga partai parlemen. Jika digabungkan, ketiganya menguasai 187 kursi atau 32,52% bangku DPR. Artinya, blok politik Luhut lebih besar dari PDIP (128 kursi/22,26%) dan Partai Gerindra (78/13,57%). Lebih gede juga dari gabungan oposisi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang mencakup 104 kursi (18,08%).
Jumlah 187 kursi di DPR/MPR memang tidak cukup untuk mengegolkan perubahan UUD. Akan tetapi, Luhut bisa memanfaatkan modal tersebut untuk menghasilkan produk legislasi level UU. Sebuah langkah yang dapat memelos citranya.
ROMBAK PRESIDENTIAL THRESHOLD
Kebetulan, salah satu isu politik hangat lima tahunan adalah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT). Sejak 2009, PT sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah menjadi syarat gabungan partai politik mengusung calon presiden. Ketika Pilpres 2019 berlangsung serentak dengan Pileg, PT masih dipertahankan. Basis suaranya adalah hasil kontestasi lima tahun sebelumnya.
Gara-gara PT, sulit sekali pilpres Indonesia banjir calon presiden. Malah, penyelenggaraan tahun 2014 dan 2019 hanya ada dua peserta. Akibatnya, polarisasi pemilih semakin menebal dan terasa sesudah pemilu selesai. Karena itu, sejumlah elite intelektual dan politik mewacanakan agar PT diturunkan atau di-nol-kan.
Sikap elite beresonansi dengan akar rumput. Menurut survei terbaru Median, sebanyak 39,9% masyarakat setuju penghapusan PT. Bandingkan dengan 29,6% yang bersikap tidak setuju.
Sayangnya, penyurvei hanya memberikan dua opsi kepada responden: setuju 0% atau 20%. Saya meyakini, dukungan publik akan semakin besar jika persentase PT diturunkan. Bagaimana pun, penghapusan PT akan menjadikan pilpres seperti pasar bebas.