Perkembangan teknologi dari waktu ke waktu berpengaruh pada gaya hidup. Perubahan gaya hidup ini mempengaruhi perubahan cara dan gaya bersosialisasi. Dahulu, sistem sosialisasi pengajar ke siswa bersifat satu arah. Instruksi hanya berasal dari guru, siswa tidak berhak melakukan interupsi.Â
Teknologi internet dengan interaksi di sosial-media menghasilkan kesetaraan dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Tak pelak, kesetaraan ini juga mesti diterapkan di dunia nyata, termasuk dalam sistem belajar-mengajar. Untuk itu, gaya belajar-mengajar musti dilakukan penyesuaian.
Selain itu, masih banyak guru yang tidak menyesuaikan materi ajarnya dengan perkembangan yang terjadi di dunia nyata. Padahal materi ajar selalu berkembang dari waktu ke waktu. Siswa yang memiliki minat pada bidang tersebut dan selalu mengikuti perkembangannya akan merasa jenuh karena butuh materi yang mendalam.
Terbuka dengan Pertanyaan Ajaib
Masih banyak guru memposisikan dirinya sebagai si serba tahu. Padahal ada waktu ketika guru tidak bisa menjawab semua pertanyaan murid. Reaksi kebanyakan guru justru marah karena tidak senang dengan pertanyaan ajaib tersebut. Bukannya memberikan kesempatan seluruh siswa kelas untuk membantu menjawab.
Pertanyaan yang mestinya dapat membuka kesadaran diri bahwa sudah tidak relevan lagi menjadikan dirinya sebagai pusat pengetahuan. Pertanyaan itu mestinya bisa menjadi ruang diskusi guru bersama siswa di dalam kelas. Â Diskusi bersama dengan murid di kelas tidak akan menurunkan martabat guru di hadapan muridnya.
Justru diskusi ini membuat murid semakin respek padanya karena telah diberi kesempatan menyampaikan apa yang mereka ketahui. Pertanyaan juga bisa membuka khazanah pengetahun baru antara guru dan murid.
Padahal bisa saja memang gurunya yang tidak punya pengetahuan untuk menjawab pertanyaan siswanya. Bukannya menyadari kekurangannya, sering kali para guru malah memberi cap sebagai siswa yang tidak patuh. Padahal kepatuhan bukanlah di situ tempatnya. Kepatuhan terletak pada kedisiplinan yang sudah disepakati di kelas.
Kenyataannya, semakin banyak bertanya, justru semakin tinggi daya serap siswa pada materi ajar tersebut. Siswa yang memiliki daya serap yang tinggi pastinya punya rasa ingin tahu yang tinggi akan segala hal. Sehingga ia selalu mendapat sela untuk mempertanyakan hal-hal yang mengundang rasa ingin tahunya. Atau bahkan hal-hal dogmatis yang mengganjalnya.
Guru yang baik bukanlah guru yang mematikan nalar siswa dengan mengatakan bahwa hal itu tidak layak dipertanyakan. Guru yang baik menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam dirinya. Ia selalu membuka peluang ruang-ruang diskusi bersama siswa. Dari sini, guru akan menyadari, bahwa ternyata terdapat banyak pola pikir yang dapat dijembatani satu sama lain.
Bahwa ternyata, siswa di kelas pun ada yang bisa membantunya menjawab pertanyaan siswa lainnya. Dengan ini, guru tidak menjadi si serba tahu dan serba benar. Namun, dengan ini pula, beban mengajar guru menjadi terasa lebih ringan. Di sini penting untuk menjadi guru yang moderat, tidak ekstrim ke kanan atau pun ke kiri.
Lahirnya Generasi Malas Berfikir
Sebagian guru bahkan memberi label siswa yang banyak bertanya sebagai siswa yang bodoh. Padahal pertanyaan adalah indikator daya serap siswa terhadap materi yang disampaikan. Sehingga, lahirlah generasi masa kini yang enggan memberikan pertanyaan di kelas karena takut pertanyaannya salah dan dianggap bodoh. Lahirlah generasi masa kini yang tidak mampu berfikir kritis terhadap realita kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, jika itu bukan ranahnya, mereka tak mau pusing.
Sehingga timbullah sikap apatis, tidak peduli pada lingkungan sekitar, selama belum menjadi masalahnya. Bahkan, kalaupun sudah menjadi masalahnya, tak jarang yang tetap merasa masa bodoh. Tidak peduli bagaimana ia menjalani hidupnya, untuk apa, dan mau bagaimana nanti. Yang penting baginya tidak ada cap negatif dari orang. Padahal belum tentu cap negatif itu benar adanya.
Di sisi lain, pola ini membuat siswa yang punya daya nalar kuat dan kritis justru malah menjadi terhambat. Semakin banyak bertanya, maka semakin dianggap bodoh dan dikucilkannya. Bahkan, tidak sedikit siswa yang dianggap pembangkang akibat terlalu kritis di kelas.
Siswa-siswa kritis ini malah merasakan betapa menjenuhkannya suasana di kelas. Rasa jenuh di kelas membuat mereka mengalihkan perhatiannya pada hal lain yang dianggapnya lebih menarik. Atau bahkan sengaja berulah di kelas demi mendapat perhatian gurunya.
Di sini, mustinya guru dapat lebih sensitif dengan apa yang dirasakan siswa di kelas. Bukan malah mengecap mereka sebagai pembangkang. Murid yang mencari perhatian hanya butuh didengarkan pendapatnya. Bukan ditinggalkan karena dianggap sebagai perusuh kelas.
Munculnya perusuh-perusuh kelas ini akibat guru yang tidak mau peduli dengan fenomena perilaku siswa yang menjadi biang rusuh. Menjadi guru bukan sekedar menyampaikan pengetahuan. Tapi lebih dari itu, menjadi guru juga mengelola psikologis siswa agar nyaman mengikuti pembelajaran di kelas.
Berdayakan Kemampuan SiswaÂ
Guru pun diharapkan jadi lebih tanggap dan menghargai kemampuan siswa didiknya. Guru musti siap dikritik dan terima bahwa selalu ada kemungkinan siswa bisa lebih unggul darinya. Atau mungkin siswanya biasa saja tapi ada sedikit kelebihan dari siswa-siswa tersebut yang bisa diakui dan diambil ilmunya. Kelas dan workshop pun menjadi tempat saling berbagi ilmu.
Murid-murid unggul ini malah senang jika sang guru mau memberdayakannya di kelas. Misal, dengan menantangnya dengan hal/tugas yang lebih menggugah pengetahuannya. Atau bisa juga dengan meminta mereka untuk membantu teman-teman lainnya yang daya serapnya di bawah mereka.
Menjadi FasilitatorÂ
Tugas guru di era keberlimpahan informasi ini bukanlah menjadi sumber pengetahuan. Sumber informasi sudah banyak berserakan di internet. Tugas guru kini menjadi fasilitator para siswanya agar apa yang dituju siswa di kelas tersebut dapat tercapai. Fasilitator yang dengannya guru tidak lagi menjadi sumber kebenaran. Juga membuka ruang-ruang diskusi segara permasalahan terkait dengan yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar mencapai tujuan guru menyampaikan materi pelajaran yang memenuhi target beban silabus dan kurikulum.Â
Namun, yang perlu menjadi catatan, kesetaraan ini tetaplah dengan memegang nilai dan norma kesopanan. Kesetaraan bukan berarti murid menjadikan pertanyaan pada hanya untuk mengetes gurunya. Kesetaraan bukan berarti murid menjadi berani melakukan pembangkangan. Apalagi sampai menantangi dan berlaku aniaya terhadap gurunya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H