Sebuah kisah tentang menemukan tujuan, ke mana hendak pergi, melalui kenangan demi kenangan masa lalu, pertarungan hidup dan mati, untuk memutuskan ke mana langkah kaki akan dibawa. Pergi.
Deretan kata yang begitu memikat pada sampul belakang buku ini mampu membikin pembaca langsung jatuh hati sekaligus didera rasa penasaran dengan kisah Bujang, tokoh utama dalam novel Pulang yang masih belum usai. Ya, novel Pergi ini memang merupakan sekuel dari novel Pulang, yang telah lama dinanti kehadirannya oleh pembaca setia Tere Liye, salah satu novelis kondang di negeri ini yang telah menulis karya-karya laris dan best seller, bahkan sebagian karyanya sudah diangkat ke layar lebar.
Ada yang sedikit berbeda dengan novel ini. Sebelumnya, novel Pulang ditulis langsung oleh Tere Liye. Namun pada novel Pergi ia bekerja sama dengan Sarippudin, sebagai co-authornya. Sebagaimana diungkap Bambang Trim di blog Kompasiana-nya, yang dimaksud co-author adalah penggagas atau pengarang pendamping. Menurut Bambang, menggunakan co-author dalam penulisan fiksi seperti novel itu adalah hal lazim dan sah-sah saja.
Meskipun novel ini dikerjakan bersama co-author, tapi rasanya seolah tak ada bedanya. "Rasa" setiap kalimat dalam novel ini tetap khas Tere Liye; enak dibaca, mudah dipahami, dan sebagian pemilihan diksinya pun cukup memesona. Rupanya Tere Liye sangat selektif dalam memilih co-author yang benar-benar jeli dan sangat memahami karakter tulisan-tulisannya.
Dalam novel ini, Bujang, sebagai tokoh utama, yang dulu menjabat tukang pukul andalan Keluarga Tong, kini telah naik derajat sebagai Tauke Besar atau Kepala Keluarga Tong, yang cukup disegani oleh bawahan dan para musuh besarnya. Konflik utama yang dikemas penulis masih sama dengan novel sebelumnya, yaitu tentang "ekonomi bayangan" yang berjalan di ruang hitam atau dalam istilah asing disebut shadow economy. Namun, kali ini jalinan cerita terasa lebih seru, makin banyak konflik yang diolah dengan sangat tajam sehingga mampu menguras emosi pembacanya.
Dikisahkan ada delapan keluarga penguasa shadow economy di Asia Pasifik. Mereka adalah: Keluarga Tong, Keluarga Lin di Makau, El Pacho di Meksiko, satu di Miami Florida, satu di Tokyo, satu di Beijing, satu di Moskow, dan satu lagi kepala dari seluruh keluarga, Master Dragon di Hong Kong; pimpinan tunggal dari delapan keluarga.Â
Beragam praktik keculasan pun silih berganti mewarnai kehidupan para penguasa shadow economy. Mulai dari pencucian uang, perdagangan senjata, transportasi, properti, minyak bumi, valas, pasar modal, retail, teknologi mutakhir, hingga penemuan dunia medis yang tidak ternilai, semuanya dikendalikan oleh institusi ekonomi pasar gelap di bawah naungan shadow economy.Â
Keberadaan mereka nyata adanya, tetapi tidak dikenal oleh masyarakat, tidak terdaftar di pemerintah, dan tentu saja tak diliput oleh media massa. Mereka berdiri di balik bayangan, menatap semua kepalsuan sistem dunia (hal 38).
Keluarga Tong yang saat ini dikepalai oleh Bujang adalah satu di antara sederet kelompok penguasa shadow economy. Keluarga Tong memiliki puluhan perusahaan di Asia Pasifik, terdaftar di bursa saham internasional. Dua puluh tahun terakhir, shadow economy berubah secara menakjubkan. Mampu mengubah sesuatu yang gelap menjadi remang, dan yang remang menjadi terang (hal 39).
Pada bab pertama novel ini, pembaca langsung dibawa menuju konflik utama yang penuh ketegangan; tentang upaya Bujang dan kawan-kawannya yang sedang menuju suatu tempat untuk mengambil benda berharga dan sangat penting untuk mengendalikan shadow economy, yakni; prototype anti serangan siber. Tugas utama Bujang adalah merebut kembali benda berharga milik Keluarga Tong tersebut, yang dicuri oleh keluarga lawannya, El Pacho. Dalam misi kali ini, Bujang ditemani Salonga (tukang pukul nomor satu di keluarga Tong), White (penembak jitu yang dibekali senjata AK-47), dan dua gadis kembar cucu Guru Bushi yang cukup pintar mengelabui lawan, Kiko dan Yuki.
Di luar dugaan Bujang, ternyata ada seorang lelaki yang juga sedang mengincar benda tersebut. Dia adalah seorang pemuda misterius yang mampu mengalahkan Bujang dan berhasil membawa kabur prototype anti serangan siber yang tak ternilai harganya itu. Lelaki bertopeng dan pandai memainkan gitar itu sempat mengucapkan kata-kata yang mengejutkan sebelum pergi. Kata-kata yang menunjukkan bahwa Bujang masih ada hubungan darah dengannya. Bujang semakin kaget saat lelaki itu tahu bahwa nama asli Bujang sesungguhnya adalah Agam, alias Si Babi Hutan.
Bujang mendadak teringat masa lalu Samad dan Midah, ayah-ibunya yang kini telah tiada. Bujang lantas meyakini bila ayahnya memiliki wanita lain sebelum menikahi ibunya. Sebuah fakta yang tentu saja sangat menyakitkan dan menguak kembali luka lama dalam dirinya.
Tugas Bujang pun kini bertambah; menyelidiki dua sosok penting dalam hidupnya. Pertama, Catrina, wanita lain yang pernah menjalin hubungan dengan almarhum ayah. Kedua, Diego, pemuda yang masih ada hubungan darah dengannya (hal 232).
Beragam cara ditempuh Bujang demi mengorek kenangan masa silam almarhum ayah. Salah satunya dengan mendatangi Tuanku Imam, pengasuh sekolah agama di sebuah perkampungan nelayan. Tuanku Imam merupakan kakak kandung almarhumah ibunya Bujang. Perlahan, sedikit demi sedikit, kisah suram masa lalu orangtua Bujang pun terkuak. Â Â
Sementara itu, konflik kian memanas ketika Chen, salah satu orang yang telah lama bergabung dengan Keluarga Tong, kepergok berkhianat dan membocorkan rahasia penting keluarga tersebut. Beragam persekongkolan dan pengkhianatan antar penguasa shadow economy membuat alur cerita makin rumit tapi justru malah semakin menarik dan cukup berhasil membuat pembaca masuk ke dalam alur ceritanya. Membaca novel ini rasanya seperti sedang menonton sebuah film kolosal yang penuh ketegangan dan hal-hal mendebarkan. Â
Kaya Pesan Moral
      Novel ini kaya akan pesan moral yang dapat menjadi bahan renungan bagi para pembaca. Beberapa pesan moral yang saya maksud antara lain:
1. Pentingnya Menjalankan Perintah Agama
Saat Bujang bertemu Tuanku Imam, beliau berpesan agar jangan pernah meninggalkan shalat. Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat adalah termasuk hal pokok dalam kehidupan umat Islam. Islam ibarat sebuah bangunan. Sementara shalat diibaratkan tiang penyangganya. Orang Islam yang meninggalkan shalat berarti sama saja dengan meruntuhkan bangunan tersebut. Merobohkan agama Islam.
"Kamu harus lebih sering shalat, Agam. Itu perintah agama. Bahkan tiang agama" (hal. 85).
"Dalam perkara shalat ini, terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia tetap harus shalat, kewajiban itu tidak luntur. Maka, semoga entah di shalat yang ke-berapa, dia akhirnya benar-benar berubah...," (hal 86).
Â
2. Tentang Cara Mengelola Emosi
Dalam kehidupan ini, kadang kita harus berhadapan dengan orang-orang yang tak menyukai dan memusuhi kita. Namun, Islam mengajarkan agar kita jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Jangan membalas emosi dengan emosi. Jangan membalas amarah dengan amarah. Jangan membalas kebencian dengan kebencian. Justru kita dianjurkan membalas kejahatan dengan kebaikan. Karena siapa tahu dengan kebaikan yang kita lakukan, hati orang tersebut akan luluh, lembut, lantas menjadi orang yang menyayangi kita. Â Â
"Jangan biarkan emosi, rasa marah, kebencian kepada lawan membuat penilaian kita menjadi keliru. Marah, tindakan nekat membabi-buta hanya membuat lawan kita tertawa" (hal. 224).
3. Pentingnya Menjaga Toleransi Beragama
Toleransi beragama merupakan hal penting yang seyogianya dapat terus terjaga antar umat beragama. Sebagaimana pesan dalam novel ini, tepatnya ketika Salonga yang beda agama dengan Bujang, terlihat sangat menghormati dan mendukung Bujang agar jangan pernah lalai dengan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Jadi ketika Tuanku Imam menasihati Bujang agar rajin shalat, Salonga sangat mendukungnya dan berkata, "Aku setuju, Po Imam. Aku sendiri tidak pernah alfa setiap minggu menghadiri misa di Gereja Tondo. Itu penting untuk membuat jalan hidup kita tetap lurus. Tersambung dengan kuasa Tuhan" (hal. 85).
4. Jangan Mencintai Seseorang Secara Berlebihan
Dalam hidup ini, setiap orang nyaris tak bisa lepas dari perasaan mencintai seseorang. Ya, perasaan mencintai dan ingin dicintai adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, jangan sampai kita mencintai seseorang terlalu berlebihan karena hal itu akan membuat hati kita sangat bersedih dan terluka saat berpisah dengannya. Padahal, perpisahan dalam hidup ini adalah suatu keniscayaan.
      "Perasaan cinta yang besar, yang sebesar apa pun dia, tetap akan berakhir saat waktu telah berakhir..." (hal 245).
Â
5. Dampak Buruk Memiliki Banyak Istri dan Banyak Anak
Berbicara poligami selalu menuai pro dan kontra. Memang, dalam Islam, poligami adalah hal yang boleh selama pelakunya benar-benar mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Berbicara adil, tentu bukan hal mudah, bahkan teramat sulit bagi manusia biasa untuk berlaku adil, terlebih jika menyangkut nafkah batin. Dalam novel ini, disinggung dampak buruk suami yang memiliki banyak istri dan anak.
      "...jika seorang kepala keluarga memiliki banyak istri dan banyak anak, saat dia meninggal, anak-anaknya tersebut berebut kekuasaan," (hal 231).
Dari sekian banyak pesan moral tersebut, ada sebuah pesan penting yang menjadi inti novel ini, yakni ke mana langkah kaki kita akan dibawa pergi? Dalam novel Pulang, dikisahkan Bujang memilih jalan pulang ke kampung halamannya, menziarahi makam kedua orangtuanya, dan berdamai dengan masa lalunya yang menyakitkan.Â
Kini, dalam novel Pergi, ketika ia kembali bergabung dengan Keluarga Tong, ada sederet pertanyaan penting dari Tuanku Imam yang harus segera dijawab oleh Bujang; kamu akan pergi ke mana, Nak? Bersama siapa? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita?
Mampukah Bujang menjawab dan melaksanakan pesan Tuanku Imam, sosok yang dulu pernah mendapat wasiat dari almarhum ayah Bujang agar mengawasinya dari jauh? Jawabannya dapat ditemukan dalam novel menarik ini.Â
***
Judul Buku    : Pergi
Penulis       : Tere Liye
Co-author    : Sarippudin
Penerbit      : Republika
Cetakan       : I, April 2018
Tebal         : iv + 455 halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-573-405-2
Peresensi     : Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.
(Keterangan tambahan: cover buku diambil dari: www.republika.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H