"Salah kita adalah satu, kita miskin!" sahut Wawa sambil tersenyum miris, "Orang kaya berlaku begitu, bener aja, RI! Nggak perlu nunggu kita ngelakuin kesalahan!" ujar Wawa sambil mengusap rambut Riri lembut.
"Hehe... orkay maah bebas ya, Kak?" tanya Riri tersenyum, "Semoga saat Kak Wawa dan Riri jadi orang kaya nanti, jangan seperti itu ya, Kak? Aamin....," kata Riri sambil mengusap wajah.
"Aamin!" sahut Bu Ani dan Wawa berbarengan.
Mereka tertawa sambil menatap buah rambutan yang menggiurkan di halaman Ibu Rita si pemilik semua jalanan umum yang ada di hadapan keluarga Ibu Ani.
Ibu Ani menghela napas berat. Dia menangis dalam hati. Kesedihannya begitu dalam. Melihat kedua anak yatimnya harus mengalami kekerasan secara verbal dari tetangga baru.
Mereka setiap berpapasan dengan Ibu Rita, disuguhi dengan wajah garang dan tak bersahabat. Bahkan anak Bu Rita, yang seumuran dengan Riri, dengan bahagia merundung Riri.
"Jangan temenin dia! Dia nggak punya bapak!" teriak Gilang putra bungsu Ibu Rita.
"Yaah, nggak punya bapak, nggak punya bapak!" ujar teman-teman Gilang bernyanyi mengejek Riri.
Riri menatap anak-anak itu dengan heran.
"Riri, kenapa duduk di situ, sini masuk!" panggil Ibu Ani sambil melotot ke arah gerombolan anak-anak yang dengan gembira mengejek Riri.
Bu Ani tanpa sadar melihat Bu Rita tengah duduk di teras rumahnya, dan membalas dirinya dengan mata berapi-api.