Dengan takut, dia bergerak membuka pintu.
Dia melihat wajah garang Ibu yang mempunyai rumah di depan mess, tempat yang baru mereka tempati.
"Itu yang buang sampah di samping kalian? Eh, kalo buang sampah itu jangan sembarangan, ya! Bayar ke tukang sampah!" seru garang wanita setengah baya itu sambil berkacak pinggang, "Mana ibu kalian?" sentaknya semakin garang.
"Iya, Bu ada apa?" tanya Bu Ani segera menghampiri wanita tetangga barunya itu.
"Eh, kalo buang sampah jangan sembarangan, bayar ke tukang sampah!" semprot wanita itu sambil melotot.
Ibu Rita, begitu biasanya dia dipanggil. Juragan kontrakan di wilayah itu. Dari awal kepindahan Bu Ani dan kedua anaknya, dia sudah merasa tidak senang dengan kehadiran janda dua anak itu.
Dia selalu memasang wajah pongah di hadapan ketiga orang itu. Saat dia mendapati sampah di samping rumah mess, yang dibeli Pak Arwo, pimpinan PT Jana, tanpa basa-basi, Bu Rita langsung meledakkan amarahnya pada Bu Ani dan dua anak yatimnya.
"Ini semua rumah kontrakan gua, dan jalanan ini juga punya gua, tahu!" katanya sambil memutar tangannya selebar-lebarnya seakan menunjukkan kekuasaannya.
Bu Ani menatap Wawa yang gemetaran.
"Kamu buang sampah itu di situ?" tanya tegas.
"Nggak, Ma!" sahut Wawa spontan, "Aku membuang sampah di kantor, kok! Kan Mama lihat sendiri, aku ke sana buang sampahnya!" ujar Wawa sambil menunjuk ke arah work shop.