Mohon tunggu...
Salwa AmaliaKaysan
Salwa AmaliaKaysan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Introvert yang hobi melukis, menulis dan mendongeng.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dunia Tak Seindah Harapan

27 September 2024   05:46 Diperbarui: 27 September 2024   07:35 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Dunia Tak Seindah Harapan
Karya; Salwa Amalia Kaysan

Saat azan subuh bergema, Amel gegas melangkah ke halte. Di saat anak lain masih bergelung di balik selimut, dia harus berjuang untuk sampai ke sekolah.

Amel korban zonasi. Di PPDB dia tak berhasil mendaftar ke sekolah terdekat. Setiap hari, harus menempuh sekitar jarak 20 KM.

"Tidak apa-apa Ma, yang penting dapat sekolah negeri!" katanya menguatkan sang ibu yang sangat khawatir.

"Tiga tahun looh, Nak!" sahut Bu Yani dengan pasrah.

"Iya, tidak apa-apa! Kalau swasta, beban Mama akan lebih berat!" ujar Amel seraya memeluk.

Ibu Yani menarik napas berat. Dia mengusap punggung putri sulungnya itu dengan lembut.

"Maafkan Mama, Nak!" bisiknya lembut.

"Amel yang harusnya minta maaf!" ujar Amel bergetar.

"Eeh, anak Mama harus kuat!" kata Ibu Yani sambil mengelus rambut Amel, "Kita hadapi semua ini bersama. Selama kita saling dukung, kita akan berhasil melewati semua ini!" lanjut Ibu Yani.

Amel mengangguk dalam dekapan hangat ibunya. Amel merasakan dukungan kuat dari sang ibu, dalam membangun privilege diri.

Walau dia anak yatim, semangatnya selalu stabil dalam meraih cita-cita. Kondisi ekonomi keluarga dan kondisi kesehatan ibunya, membuat motivasi kuat untuk tetap melangkah, fokus meraih cita-cita.

"Mel, tadi terlambat, ya?" tanya Ibu Yani, saat menemani makan malam.

"Iya, Ma!" sahut Amel, "Sampai jam enam tiga puluh menit!" katanya lagi.

"Mama sudah bantu kirim pesan kepada Ibu Yasmin! Apa kamu tidak dibantu?" tanya Ibu Yani melas.

"Tetap saja dicatat, Ma! Kali ini lebih parah lagi, karena yang bertugas Ibu Yuli, guru baru!" sahut Amel dengan sendu.

"Kenapa?" tanya Ibu Yani sambil mengusap bahu Amel.

"Kata beliau, kalau terlambat tiga hari berturut-turut, Amel akan dikeluarkan dari sekolah!" sahutnya pelan.

"Kok begitu?" seru Ibu Yani kaget.

"Mulai besok, Amel naik Jaklinko yang malam saja, Ma!" sahut Amel semangat.

"Tapi, Nak!" kata Ibu Yani kaget.

"Doakan Amel ya, Ma! insyaAllah Amel bisa jaga diri!" sahut Amel mantap.

Ada rasa sedih menggelayut di batin Ibu Yani. Namun, dia berusaha tidak memperlihatkannya.

"Ibu Yuli itu sepertinya orang berada, Ma! Tidak tahu kesulitan orang miskin seperti kita! Beliau juga sepertinya seorang guru, yang tidak punya rasa empati!" ujar Amel dengan intonasi datar, "Amel harus kuat kan, Ma? Wajib kuat!" serunya semangat.

"Memang apa kata Ibu Yuli?" tanya Ibu Yani penasaran.

"Amel sudah bilang, berusaha berangkat sekolah setelah azan subuh, tapi Jaklinkonya penuh terus!" sahut Amel sambil tersenyum, "Komentar beliau sangat enteng, Amel harus berangkat lebih pagi lagi, hehe.... " kekehnya geli.

"Yakin mau berangkat jam empatan?" tanya Ibu Yani meyakinkan.

"Sekarang Jaklinko ada yang malam!" sahut Amel yakin.

"Di halte sini, Mama masih bisa menemanimu, tapiii...." sahutnya terjeda.

"Doain Amel ya, Ma!" sahut Amel menguatkan.

Amel memandang jalan raya yang masih lenggang. Langitpun masih gelap. Beberapa angkutan umum lewat di hadapannya, berisikan sayuran untuk dijual.

Ada rasa sedih di hatinya. Sebenarnya kalau boleh jujur, Amel takut berada di halte sendirian. Diapun tahu, ibunya di rumah juga pasti memikirkannya terus, hingga dia kirim pesan dan mengabarkan, sudah sampai sekolah dengan selamat.

Ibu Yani ingin menemaninya, tapi Amel harus memikirkan kesehatan ibu, dan juga sang adik bungsu, Momo. Waktu awal ke sekolah, Amel diantarkan ke sekolah, dan mereka dengan berat hati, meninggalkan Momo di rumah sendirian.

Setiap pulang sekolah, Amel bertanya pada Momo, "Kamu menangis, saat Mama anter Kakak?".

Momo menggelengkan kepala. Amel takjub sekali, adiknya yang baru berusia empat tahun itu, berani dan mandiri. Dulu saat Amel seusianya, tak seberani itu. Mungkin karena masih ada ayahanda. Sedangkan Momo sejak lahir, sudah tidak melihat figur ayah.

Ayah mereka meninggal dunia, enam bulan setelah Momo lahir. Beberapa kali, Amel menangis sedih dalam diam, saat Ibu Yani dan Momo beberapa kali sakit dan harus rawat inap.

Amel menjadi malu. Momo tidak menangis dan ketakutan saat tak ada ibunya. Sejak itu Amel bertekad untuk lebih kuat lagi.

Hidup ini tidak selalu seindah harapan. Namun rasa syukur akan membuat kita merasakan hidup ini jauh lebih indah. Rasa syukur membuat kita menghargai apapun yang kita harus jalani.

Jakarta, 27 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun