Ada rasa sedih menggelayut di batin Ibu Yani. Namun, dia berusaha tidak memperlihatkannya.
"Ibu Yuli itu sepertinya orang berada, Ma! Tidak tahu kesulitan orang miskin seperti kita! Beliau juga sepertinya seorang guru, yang tidak punya rasa empati!" ujar Amel dengan intonasi datar, "Amel harus kuat kan, Ma? Wajib kuat!" serunya semangat.
"Memang apa kata Ibu Yuli?" tanya Ibu Yani penasaran.
"Amel sudah bilang, berusaha berangkat sekolah setelah azan subuh, tapi Jaklinkonya penuh terus!" sahut Amel sambil tersenyum, "Komentar beliau sangat enteng, Amel harus berangkat lebih pagi lagi, hehe.... " kekehnya geli.
"Yakin mau berangkat jam empatan?" tanya Ibu Yani meyakinkan.
"Sekarang Jaklinko ada yang malam!" sahut Amel yakin.
"Di halte sini, Mama masih bisa menemanimu, tapiii...." sahutnya terjeda.
"Doain Amel ya, Ma!" sahut Amel menguatkan.
Amel memandang jalan raya yang masih lenggang. Langitpun masih gelap. Beberapa angkutan umum lewat di hadapannya, berisikan sayuran untuk dijual.
Ada rasa sedih di hatinya. Sebenarnya kalau boleh jujur, Amel takut berada di halte sendirian. Diapun tahu, ibunya di rumah juga pasti memikirkannya terus, hingga dia kirim pesan dan mengabarkan, sudah sampai sekolah dengan selamat.
Ibu Yani ingin menemaninya, tapi Amel harus memikirkan kesehatan ibu, dan juga sang adik bungsu, Momo. Waktu awal ke sekolah, Amel diantarkan ke sekolah, dan mereka dengan berat hati, meninggalkan Momo di rumah sendirian.