Rasionalitas massa yang sentimentil ini, membuat massa hanya ingin mendengar gagasan-gagasan yang mendukung wacana atau teks yang disampaikan pemimpinnya. Perbedaan pandangan di sini tidak dapat diterima. Opini berbeda dipandang sebagai sesuatu yang salah. Kebenaran bagi mereka telah terpatenkan dalam kata-kata pemimpin. Â Akibatnya relasi komunikatif tidak dimungkinkan.
Â
Dalam konteks tersebut, perdebatan seputar persoalan hoax hanya menjadi seperti bunyi tong yang kosong, tanpa pengaruh dan insight baru bagi para pendengar. Manusia yang terikat dengan suatu kelompok massa tertentu, telah terpatenkan dalam suatu opini kebenaran pemimpin massa tersebut. dalam kasus ini opini pemimpin telah menjadi semacam ideologi yang dianut oleh massa.
Â
Realitas massa tanpa rasionalitas subjektif, tidak lagi memiliki kebebasan untuk menilai apa yang disampaikan oleh pemimpin. Fenomena tersebut membuat mereka tampil sebagai robot yang digerakkan untuk memenuhi kepentingan orang tertentu. Pemimpin atau pengendali tersebut cukup menyampaikan beberapa kata maka mereka akan menjalankannya.
Â
Kegiatan politik yang sedang bangsa ini jalankan bukanlah politik diskursif. Kritik inilah yang diungkapkan oleh Habermas seperti dikutip Armada. Politik demokrasi tak bisa dibayangkan jika tidak berupa sebuah aktivitas diskursif.[12] Sebab yang dimainkan saat ini adalah politik massa. Belakangan ini juga terdengan isu bahwa salah satu paslon pilpres akan menjalan people power menuntut KPU. Jelas bahwa dalam hal ini, salah satu paslon tidak hendak mencari kebenaran, tetapi lebih menuntut kehendaknya sendiri untuk menang. Massa dijadikan alat untuk merebut kekuasaan. Jelas bahwa demokrasi tidak akan berjalan berdasarkan rasionalitas massa, tetapi lebih karena sentimen oleh karena opini yang dimunculkan pemimpin.Â
Â
Apa yang sedang dimainkan oleh para elit politik yang menuntut kemenangan tersebut dapat menimbulkan kehancuran.[13] Lagi Armada mengutip Pierre Bourdieu bahwa bahasa adalah alat propaganda. Mereka mengemukakan bahasa-bahasa yang penuh kecurigaan terhadap KPU. Isu-isu kecurangan dimunculkan untuk memicu reaksi massa. Armada melanjutkan bahwa hal inilah yang diabaikan oleh para politikus.[14] Menurutnya bahasa bukan sekedar alat komunikasi tetapi lebih merupakan alat propaganda dan wacana.[15]
Â
Jadi fenomena hoax dicetuskan terutama untuk menimbulkan reaksi massa. Reaksi massa tersebut kemudian digunakan oleh para pemimpin untuk mengendalikan massa. Massa digunakan bukan untuk mencari kebenaran dalam diskusi. Massa dimanfaatkan untuk mewujudkan kehendaknya sendiri. Oleh karena itu mereka sedemikian rupa mengungkapkan bahasa-bahasa yang berbau hasutan dalam setiap wacana yang mereka sampaikan. Keterbatasan subjek dalam suatu kelompok untuk mengetahui kebenaran menjadi batasan dalam kelompok tersebut. Ideologi yang sedemikian dijunjung menghalangi subjek dalam kelompok massa untuk berpikir secara rasional untuk memahami konteks hic et nunc yang sedang ia alami.