2. menarik napas dan menghembuskannya
Tarik napas yang dalam. Tutuplah matamu jika kamu mau. Untuk memudahkanmu kamu bisa menghitung napasmu hingga hembusan yang ke sepuluh. Bayangkan napas masuk melalui hidung ke perut, saat menghembuskan napas, bayangkan napas keluar dari jari tangan dan kaki jika itu memudahkanmu.
3. bertahanlah untuk merasakan sensasi tersebut sebisamu
Sambutlah kemarahan dengan tangan terbuka. Cobalah melihat kemarahan sebagai sebuah kesempatan untuk memahami perasaan, seperti bagaimana bernafas bisa mengecilkan api kemarahan.
4. perhatikan pikiran yang muncul
Pikiran-pikiran seperti "saya tidak tahan dengan ini" atau "Itu adalah hal yang bodoh" hanya akan memberi makan kepada emosi marah. Lepaskan pemikiran tersebut ketika muncul. Tetapi jika kamu tidak bisa melepaskannya, yang mana adalah hal yang wajar, terus perhatikan bagaimana pikiran dan perasaanmu saling memberi makan.
5. ambil langkah mundur
Mundurlah dari pengalaman internal yang sedang terjadi. Sadari bahwa kamu adalah pengamat pikiran. Emosimu dan kamu bukanlah pikiran dan emosi itu sendiri. Pahami bahwa emosi bukanlah hal yang bersifat tetap.
6. komunikasi
Setelah kekuatan utama kemarahanmu hilang, kamu mungkin perlu mengkomunikasikan perasaanmu dengan orang lain. Mulailah dengan pernyataan 'saya' alih-alih tuduhan 'kamu'. Saat kamu terus berkomunikasi, tetap waspada dan sadar akan perasaanmu sendiri, dan lepaskan agresi apapun jika kamu bisa – lebih sedikit agresi dan lebih banyak kejujuran lebih cenderung mengarah pada percakapan dan hasil yang harmonis dan produktif.
Kita tidak bisa secara bebas untuk memilih agar tidak marah. Tetapi, saat mindful, kita belajar untuk kenal tanda-tanda fisiologis dari tubuh kita bahwa "sebentar lagi saya akan marah" sehingga kita mampu memprediksi kemunculan kemarahan ini lebih awal maka kita bisa melakukan antisipasi agar marah ini tidak sampai termanifestasi dalam bentuk perilaku yang akan kita sesali.