Mohon tunggu...
Salsabila Astia
Salsabila Astia Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta - Mahasiswa Hukum keluarga Islam

Se-mood-nya orangnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

12 Maret 2024   17:53 Diperbarui: 12 Maret 2024   18:03 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Book review

Judul buku : Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Penulis        : Seno Aris Sasmito, S.HI., M.H

Penerbit      : Fakultas Syariah IAIN SURAKARTA 

Nama : Salsabila Astia Anggraini

NIM    : 222121024 (HKI - 4A)

LATAR BELAKANG BUKU
Buku ini dijadikan bahan ajar Hukum Perkawinan di Indonesia sebagai kajian pengantar dari mata kuliah hukum perkawinan untuk lingkungan fakultas syariah. Bahan dan teori yang terkandung dalam buku  ini mengacu pada beberapa makalah dan buku - buku referensi hukum perkawinan lainnya. Buku ini berisi mengenai pengertian, rukun, dan syarat perkawinan. Adanya hak dan kewajiban bagi suami dan istri. Putusnya perkawinan, pengertian, dan dampak hukum perceraian. Adanya problembatika perkawinan, seperti perkawinan campuran, perkawinan siri, dan itsbat nikah.

PEMBAHASAN
PERNIKAHAN
Tujuan pembelajaran yaitu diharapkan dapat memahami perkawinan menurut undang-undang dan kompilasi hukum Islam, memahami apa tujuan perkawinan, memahami apa saja syarat dan rukun perkawinan, memahami larangan- larangan dalam perkawinan, memahami pencegahan perkawinan, memahami perjanjian dalam perkawinan.


Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 pengertian perkawinan yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan  ibadah.
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan secara khusus tujuan pernikahan namun dalam pengertian perkawinan disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam lebih menekankan pada pasal 3 yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah mawadah dan rahmah.


Rukun dan syarat perkawinan, dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam rukun perkawinan diantaranya : calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang sakti, ijab dan qobul. Dalam pasal 30 Kompilasi Hukum Islam menegaskan apabila mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Syarat perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam pasal 6 hingga pasal 12 yaitu persetujuan kedua calon mempelai, adanya izin kedua orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun, usia calon mempelai sudah 19 tahun, antara calon pria dan wanita tidak dalam hubungan darah atau keluarga yang tidak boleh kawin, tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain, dan tidak berada dalam waktu tunggu atau masa iddah bagi calon mempelai wanita.
Larangan perkawinan menurut pasal 39 Kompilasi Hukum Islam dilarangnya sebuah perkawinan dilangsungkan karena adanya pertalian nasab, pertalian kerabat semenda, pertalian susuan.


Pencegahan perkawinan diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 13 merumuskan bahwasanya perkawinan dapat dicegah berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan dan syarat-syarat perkawinan tersebut dijelaskan pada pasal 7 hingga 12. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan mengenai pencegahan dalam perkawinan pada pasal 60 hingga pasal 69. Pihak yang dapat melakukan pencegahan perkawinan pada prinsipnya adalah keluarga dari mempelai. Intinya pencegahan kawin bertujuan untuk menegakkan hukum dan syarat yang ada perkawinan.


Perjanjian perkawinan, secara istilah merupakan persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum pernikahan dilangsungkan dan saling berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 45 hingga pasal 52 sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 29. Perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat diantaranya: tidak bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan, tidak ada unsur paksaan dari kedua belah pihak mempelai, isi perjanjian harus jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Tujuan pembelajaran yaitu untuk: memahami hak dan kewajiban suami istri, memahami nafkah.
Hak dan kewajiban suami. Hak dan kewajiban adalah hubungan yang berkaitan dalam sebuah ikatan perkawinan oleh suami maupun istri yang baik keduanya harus berjalan secara seimbang agar tercipta suatu perkawinan yang harmonis. Hak suami yaitu berkaitan dengan apa yang harus diberikan oleh istri kepada suami begitupun sebaliknya dengan hak kewajiban istri yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hal yang harus dilakukan oleh suami kepada istri. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 30 sampai pasal 34. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam masalah hak dan kewajiban suami istri diatur pada pasal 77 sampai pasal 83 yang isinya mempertegas kembali pada pasal 30 sampai 34 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 81 menjelaskan mengenai tempat kediaman, pasal 82 menjelaskan mengenai kewajiban suami yang beristri lebih dari satu, pasal 83 berisi mengenai kewajiban istri terhadap suaminya.


Nafkah. Secara terminologi nafkah diartikan sebagai sesuatu yang wajib diberikan oleh suami untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan anaknya. Nafkah terbagi menjadi dua yaitu nafkah materiil dan nafkah non material. Nafkah material adalah nafkah yang diberikan oleh suami kepada istri dan anaknya baik berupa pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anaknya, serta biaya pendidikan bagi anak. Nafkah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 34 ayat (1) yang menjelaskan mengenai bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian pasal 34 ayat (2) menjelaskan juga bahwasanya apabila suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan nafkah dijelaskan pada pasal 80 ayat  (4) yang menyatakan bahwa sesuai dengan penghasilan suami menanggung :

  • Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
  • Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak, serta biaya pendidikan anak.
  • Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut dalam ayat 4 huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin dari istrinya.

Meskipun demikian istri juga dapat membebaskan suaminya dari kewajiban nafkahnya yang tercantum pada pasal 80 ayat 6 yang menyatakan bahwa "istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat 4 huruf a dan b."

PUTUSNYA PERKAWINAN
Tujuan pembelajaran yaitu untuk memahami pengertian dan dasar hukum putusnya perkawinan, memahami macam-macam bentuk dari perceraian, memahami tata cara melakukan perceraian, memahami akibat hukum dari perceraian.
Pengertian dan dasar hukum putusnya perkawinan. Dalam istilah fiqih putusnya perkawinan biasanya disebut dengan talak yang artinya membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam putusnya perkawinan dijelaskan pada bab XVI pasal 117 bahwa, "talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud pada pasal 129, 130, dan 131." Dan dalam Undang-Undang Perkawinan putusnya perkawinan digunakan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah hidup sebagai suami istri. Yang menjadi dasar putusnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 38 yang menjelaskan bahwasanya perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Macam-macam bentuk perceraian. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena adanya talak atau berdasarkan gugatan perceraian yang telah disetujui oleh pengadilan. Macam-macam perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan mulai dari pasal 118 hingga 124, sebagai berikut:

  • Talak Raj'i. Diatur pada pasal 118 yang menjelaskan bahwa talak raj'i adalah talak ke-1 atau ke-2 yang suaminya berhak rujuk selama istri selagi dalam masa iddah.
  • Talak Ba'in sugro. Diatur pada pasal 119 ayat 1 yang menjelaskan bahwa talak ini tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan iddah. Dalam ayat 2 dijelaskan juga bahwasanya talak Ba'in sugro sebagaimana pada ayat 1 adalah talak yang terjadi qabla al-dukhul, talak dengan tebusan atau khulu', talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama.
  • Talak Ba'in Kubra. Diatur pada pasal 120 yang menjelaskan bahwa talak yang terjadi untuk ketiga kalinya cara ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya.
  • Talak Sunni. Diatur pada pasal 121 bahwa kalau sunni yaitu talak yang dibolehkan atau talak yang dijatuhkan terhadap istri saat sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
  • Talak Bid'i. Dijelaskan pada pasal 122 bahwa talak ini adalah talak yang dilarang dijatuhkan pada saat istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
  • Pasal 123 menjelaskan bahwa perceraian terjadi dan mulai terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
  • Khulu'. Khulu' adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan (iwadl) kepada dan atas persetujuan suaminya dan dijelaskan merupakan 124 bahwa hulu harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
  • Li'an. Diatur pada pasal 126 bahwa Li'an adalah seorang suami yang menuduh istri berbuat zina atau mengingkari anak yang ada di dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya sedangkan istrinya menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut. Kemudian dilanjut dijelaskan pada pasal 125 bahwa Li'an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya. Tata cara Li'an yang diatur pada pasal 127 yang berbunyi :
    • Suami bersumpah 4 kali dengan menuduh zina atau mengingkari anak tersebut yang diikuti sumpah kelima dengan kata-kata "laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan atau pengingkaran tersebut dusta."
    • Istri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah 4 kali dengan kata - kata "tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak benar." diikuti semua kelima dengan kata kata -kata "murka Allah atas dirinya bila tuduhan atau pengingkaran tersebut benar."
    • Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
    • Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara b maka tidak terjadi Li'an.

Dijelaskan pada pasal 128 apabila Li'an dapat dikatakan sah apabila dilakukan di hadapan sidang pengadilan agama.

Macam-macam perceraian menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dibagi menjadi dua bagian, yaitu diantaranya:

  •  Cerai talak. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 mengenai peradilan agama pada pasal 66 dikatakan bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
  • Cerai gugat. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dijelaskan pada pasal 73 menyatakan bahwa gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat keadilan penggugat kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 116 dijelaskan beberapa alasan mengenai perceraian diantaranya sebagai berikut :

  • Salah satu pihak telah berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain-lain yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain bisa disebut dengan KDRT.
  • Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami maupun istri.
  • Antara suami dan istri telah terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  • Suami melanggar taklik talak.
  • Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Dan terdapat alasan lainnya yang juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 19. Dari alasan-alasan tersebut dapat mengajukan kepada pengadilan untuk diproses dan ditindak lanjuti.

Tata cara melakukan perceraian. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 39 dijelaskan bahwa apabila pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak pada sidang dengan adanya cukup alasan maka salah satu pihak boleh memproses perceraian dengan tata cara perceraian di depan sidang pengadilan. Kemudian pada pasal 40 ditegaskan juga bahwasanya gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan dengan tata cara pengajuan ini diatur dalam peraturan perundangan  ini diatur dalam Peraturan Perundang - Undangan sendiri. Jangan dalam Undang-Undang Peradilan Agama pasal 65 dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tata cara perceraian dan prosedurnya dibedakan menjadi tiga macam yaitu cerai talak, cerai gugat, dan cerai dengan alasan zina.

Akibat hukum perceraian. Akibat yang paling mendasar dari kita setelah hubungan perkawinan ialah masalah hubungan suami istri, pembagian harta bersama, nafkah dan pemeliharaan bagi kelangsungan hidup anak - anak mereka. Akibat putusnya pernikahan yang disebabkan oleh perceraian disebutkan pada pasal 41 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan akibat hukum perceraian terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan perkawinan sebagai berikut :

Terhadap hubungan suami istri. Dengan perceraian maka istilah perkawinan antara suami dan istri putus maka suami dan istri bebas menikah lagi dengan ketentuan bagi mantan istri memperhatikan masa iddah atau waktu tunggu, hal ini dilakukan untuk memastikan istri sedang dalam keadaan hamil ataupun tidak.

Terhadap pembagian harta bersama. Terdapat dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan pada pasal 37 menyebutkan apabila perkawinan tersebut putus karena adanya perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu hukum Agama dan hukum adat. Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam pengaturan tentang harta kekayaan dalam perkawinan diatur secara tegas dalam masa 85 hingga pasal 97.

Terhadap nafkah. Ketentuan pembiayaan yang telah terjadi perceraian diatur dalam Undang-Undang Perkawinan pada pasal 41 huruf c yang menyatakan bahwa "pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri." Apabila bekas itu tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-hari maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas istrinya menikah lagi dengan pria lain.

Terhadap anak. Pengaturan mengenai akibat hukum anak karena perceraian telah diatur dalam pasal 105 dan pasal 156 Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

PROBLEMATIKA DALAM HUKUM PERKAWINAN

Tujuan pembelajaran. Diharapkan untuk dapat memahami perkawinan campuran, memahami nikah siri, memahami isbat nikah, memahami harta bersama.

Perkawinan campuran. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 57 dijelaskan bahwasanya perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pada pasal 58 dijelaskan bahwasanya perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan suami atau istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan menurut cara yang telah ditentukan undang-undang. Dan dijelaskan hingga pasal 62.

Keabsahan pernikahan campuran. Berdasarkan pasal 56 dijelaskan bahwa Perkawinan campuran yang dilaksanakan di luar Indonesia maka prosesnya wajib mengikuti hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan dan dinyatakan sah maka saat pasangan tersebut kembali berdomisili di Indonesia perkawinan mereka harus diakui keabsahannya. Namun apabila perkawinan campuran diselenggarakan di Indonesia tentunya harus mengikuti tata cara perkawinan yang ada di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang mengenai prosedur perkawinan hal ini sejalan dengan kaidah locus regit actum, bahwa bentuk perbuatan hukum itu dikuasai oleh hukum dari negara di mana perbuatan tersebut dilakukan. Akibat hukum perkawinan campuran:

  • "Kewarganegaraan" perkawinan campuran menurut pasal 58 orang yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraannya dari suami atau istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang Kewarganegaraan memberikan kesempatan kepada WNI yang melawan berkaitan campuran untuk memperoleh kewarganegaraan istri begitupun sebaliknya istri dapat memberi kewarganegaraan suami jika istri dengan kehendak sendiri menentukan atau mengikuti kewarganegaraan suami.
  • "Harta benda" Undang-Undang Perkawinan mengenai harta benda perkawinan diatur pada pasal 35 hingga pasal 31 sedangkan dalam KUH Perdata terkait dengan harta kekayaan perkawinan diatur pada pasal 119 hingga pasal 198. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada pasal 21 ayat (3) menentukan bahwasannya warga negara asing tidak diperbolehkan untuk memiliki hak milik atas tanah meskipun perolehannya merupakan dari akibat adanya harta bersama yaitu percampuran harta dalam perkawinan.
  • "Status anak" akibat perkawinan campuran terhadap anak diatur dalam pasal 62 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwasanya : "Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur dengan pasal 59 ayat (1) Undang-Undang ini "Apabila seorang anak dilahirkan dalam perkawinan yang sah seperti yang disebutkan dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka kewarganegaraan ayah dengan sendirinya menentukan dari kewarganegaraan anaknya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pasal 4 huruf (c) dan (d) tentang kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran memiliki kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun atau ketika sudah berstatus kawin dalam waktu paling lama 3 tahun setelah mencapai umur 18 tahun setelah itu ia harus memilih kewarganegaraan akan menjadi WNI atau WNA.

Nikah siri. Menurut istilah nikah siri yaitu pernikahan yang dapat dilangsungkan di luar pengetahuan Petugas Pencatat Nikah atau Kepala Kantor Urusan Agama sehingga sepasang suami istri dari nikah siri tersebut tidak memiliki surat nikah yang sah dimata negara. nikah siri dikatakan sah atau tidaknya pernikahan dijelaskan pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dalam undang-undang perkawinan. Ciri-ciri nikah siri yaitu : pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan ketentuan dalam agama Islam, pernikahan tidak memenuhi persyaratan yang dibuat oleh pemerintah untuk memperoleh ke pasien hukum dari pernikahan yaitu hadirnya pegawai pencatat nikah, perintah tidak diumumkan atau dirayakan ke khalayak umum. Kedudukan nikah siri terdapat dalam undang-undang nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 1 hingga pasal 5 ayat (1). Dan terdapat juga dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur terkait tidak tercatatnya suatu perkawinan atau nikah siri yang dijelaskan pada pasal 4 hingga pasal 7 ayat (1).

Itsbah Nikah. Secara istilah diartikan sebagai penetapan atas perkawinan seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah tetapi pernikahan yang terjadi di masa lampau belum dicatatkan ke pejabat yang berwenang atau kantor urusan Agama pada pegawai pencatat nikah. Pengaturan mengenai isbat nikah diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pada pasal 39 ayat (4). Dasar hukum isbat nikah yaitu sebenarnya diperuntukkan kepada mereka yang melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975. Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dibakarnya ketentuan Kompilasi Hukum Islam pada pasal 7 ayat (2) dan (3).

Harta bersama. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Dasar hukum tentang harta bersama dalam Perundang-Undangan dan Dasar Hukum tentang harta bersama dijelaskan diantaranya Undang-Undang Perkawinan pada pasal 35 ayat (1), KUH Perdata pasal 119, Kompilasi Hukum Islam pasal 85 dan pasal 86. Harta bersama menurut Hukum Adat menyatakan bahwa tidak semua harta benda yang dimiliki suami istri merupakan kesatuan harta kekayaan atau harta bersama yang termasuk harta bersama hanya harta benda yang diperoleh secara bersama sejak terjadinya perkawinan. Tata cara pembagian harta bersama, biasanya pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setelah adanya kegiatan cerai namun gugatan cerai belum menyebutkan tentang pembagian harta bersama oleh karena itu, pihak suami atau pihak istri belum mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Harta bersama pada umumnya dibagi menjadi dua sama rata di antara suami dan istri sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara keduanya. Namun apabila masih terjadi perselisihan maka harus merujuk kepada ketentuan kompilasi hukum Islam pada pasal 88. Untuk mengatasi masalah pembagian harta bersama terdapat kiat strategis mengenai pembagian harta bersama, diantaranya :

  • Seluruh harta keluarga perlu diinventariskan dan dipisahkan mana yang berupa atap bersama, harta bawaan, dan harta perolehan.
  • Setelah itu seluruh aset harta tersebut di data secara lengkap baik harta bergerak maupun tidak bergerak atau aset properti lainnya.
  • Menginventariskan asuransi dan aset investasi yang dimiliki khususnya yang berbentuk portofolio keuangan seperti tabungan, deposito, atau investasi lainnya.
  • Setelah aset-aset dihitung maka dilakukan kegiatan mendaftar dan menghitung semua hutang keluarga.
  • Setelah seluruh aset dikurangi dengan hutang piutang maka tinggal dibagi dua dengan porsi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

INSPIRASI

Dari buku ini kita dapat menjadikannya bahan referensi untuk matakuliah yang bersinggungan dengan hukum perkaawinan yang ada di Indonesia dalam buku ini sudah diperincikan apa saja hukumnya, pengertiannya, macam - macamnya, dampaknya, promblematika, hingga tata caranya, pasal-pasalnya juga dijelaskan baik yang ada pada Undang-Undang perkawinan dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam. Didalam buku ini juga dijelaskna secara runtut mulai dari yang pertama membahas mengenai perkawinan baik dari segi pengertian, tujuan, rukun dan syarat, larangan, pencegahan, dan perjanjian dalam pernikahan. Kemudian membahas mengenai adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri serta menyinggung juga dengan nafkah seorang suami. Setelahnya dibahas mengenai terputusnya perkawinan yang dijelaskan mulai dari pengertian, dasar hukumnya, macam - macam, tatacara, dan akibat bentuk perceraian. Dan yang terakhir dibahas mengenai problematika yang ada didalam pernikahan seperti adanya pernikahan campuran antar negara, pernikahan  siri, dan diberlangsungkannya itsbat nikah.

DAFTAR PUSTAKA

Isnaeni, Moch. Hukum Perkawinan Indonesia. (Bandung: Refika Aditama, 2016). hlm. 131

Sasmito, Seno Aris. Hukum Perkawinan di Indonesia.cet. 1 (Sukoharjo: Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2020)

Syabiq, Sayyid. Fiqih Al Sunnah. Juz II. (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983). hlm.206

Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. cet. 3 (Jakarta: Prenada-Media Group, 2009) hlm. 189

 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun