Mohon tunggu...
Salsabila Astia
Salsabila Astia Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta - Mahasiswa Hukum keluarga Islam

Se-mood-nya orangnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

12 Maret 2024   17:53 Diperbarui: 12 Maret 2024   18:03 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Terhadap pembagian harta bersama. Terdapat dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan pada pasal 37 menyebutkan apabila perkawinan tersebut putus karena adanya perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing yaitu hukum Agama dan hukum adat. Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam pengaturan tentang harta kekayaan dalam perkawinan diatur secara tegas dalam masa 85 hingga pasal 97.

Terhadap nafkah. Ketentuan pembiayaan yang telah terjadi perceraian diatur dalam Undang-Undang Perkawinan pada pasal 41 huruf c yang menyatakan bahwa "pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri." Apabila bekas itu tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-hari maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas istrinya menikah lagi dengan pria lain.

Terhadap anak. Pengaturan mengenai akibat hukum anak karena perceraian telah diatur dalam pasal 105 dan pasal 156 Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

PROBLEMATIKA DALAM HUKUM PERKAWINAN

Tujuan pembelajaran. Diharapkan untuk dapat memahami perkawinan campuran, memahami nikah siri, memahami isbat nikah, memahami harta bersama.

Perkawinan campuran. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 57 dijelaskan bahwasanya perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pada pasal 58 dijelaskan bahwasanya perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan suami atau istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan menurut cara yang telah ditentukan undang-undang. Dan dijelaskan hingga pasal 62.

Keabsahan pernikahan campuran. Berdasarkan pasal 56 dijelaskan bahwa Perkawinan campuran yang dilaksanakan di luar Indonesia maka prosesnya wajib mengikuti hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan dan dinyatakan sah maka saat pasangan tersebut kembali berdomisili di Indonesia perkawinan mereka harus diakui keabsahannya. Namun apabila perkawinan campuran diselenggarakan di Indonesia tentunya harus mengikuti tata cara perkawinan yang ada di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang mengenai prosedur perkawinan hal ini sejalan dengan kaidah locus regit actum, bahwa bentuk perbuatan hukum itu dikuasai oleh hukum dari negara di mana perbuatan tersebut dilakukan. Akibat hukum perkawinan campuran:

  • "Kewarganegaraan" perkawinan campuran menurut pasal 58 orang yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraannya dari suami atau istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang Kewarganegaraan memberikan kesempatan kepada WNI yang melawan berkaitan campuran untuk memperoleh kewarganegaraan istri begitupun sebaliknya istri dapat memberi kewarganegaraan suami jika istri dengan kehendak sendiri menentukan atau mengikuti kewarganegaraan suami.
  • "Harta benda" Undang-Undang Perkawinan mengenai harta benda perkawinan diatur pada pasal 35 hingga pasal 31 sedangkan dalam KUH Perdata terkait dengan harta kekayaan perkawinan diatur pada pasal 119 hingga pasal 198. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada pasal 21 ayat (3) menentukan bahwasannya warga negara asing tidak diperbolehkan untuk memiliki hak milik atas tanah meskipun perolehannya merupakan dari akibat adanya harta bersama yaitu percampuran harta dalam perkawinan.
  • "Status anak" akibat perkawinan campuran terhadap anak diatur dalam pasal 62 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwasanya : "Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur dengan pasal 59 ayat (1) Undang-Undang ini "Apabila seorang anak dilahirkan dalam perkawinan yang sah seperti yang disebutkan dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka kewarganegaraan ayah dengan sendirinya menentukan dari kewarganegaraan anaknya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pasal 4 huruf (c) dan (d) tentang kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran memiliki kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun atau ketika sudah berstatus kawin dalam waktu paling lama 3 tahun setelah mencapai umur 18 tahun setelah itu ia harus memilih kewarganegaraan akan menjadi WNI atau WNA.

Nikah siri. Menurut istilah nikah siri yaitu pernikahan yang dapat dilangsungkan di luar pengetahuan Petugas Pencatat Nikah atau Kepala Kantor Urusan Agama sehingga sepasang suami istri dari nikah siri tersebut tidak memiliki surat nikah yang sah dimata negara. nikah siri dikatakan sah atau tidaknya pernikahan dijelaskan pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dalam undang-undang perkawinan. Ciri-ciri nikah siri yaitu : pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan ketentuan dalam agama Islam, pernikahan tidak memenuhi persyaratan yang dibuat oleh pemerintah untuk memperoleh ke pasien hukum dari pernikahan yaitu hadirnya pegawai pencatat nikah, perintah tidak diumumkan atau dirayakan ke khalayak umum. Kedudukan nikah siri terdapat dalam undang-undang nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 1 hingga pasal 5 ayat (1). Dan terdapat juga dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur terkait tidak tercatatnya suatu perkawinan atau nikah siri yang dijelaskan pada pasal 4 hingga pasal 7 ayat (1).

Itsbah Nikah. Secara istilah diartikan sebagai penetapan atas perkawinan seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah tetapi pernikahan yang terjadi di masa lampau belum dicatatkan ke pejabat yang berwenang atau kantor urusan Agama pada pegawai pencatat nikah. Pengaturan mengenai isbat nikah diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pada pasal 39 ayat (4). Dasar hukum isbat nikah yaitu sebenarnya diperuntukkan kepada mereka yang melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975. Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dibakarnya ketentuan Kompilasi Hukum Islam pada pasal 7 ayat (2) dan (3).

Harta bersama. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Dasar hukum tentang harta bersama dalam Perundang-Undangan dan Dasar Hukum tentang harta bersama dijelaskan diantaranya Undang-Undang Perkawinan pada pasal 35 ayat (1), KUH Perdata pasal 119, Kompilasi Hukum Islam pasal 85 dan pasal 86. Harta bersama menurut Hukum Adat menyatakan bahwa tidak semua harta benda yang dimiliki suami istri merupakan kesatuan harta kekayaan atau harta bersama yang termasuk harta bersama hanya harta benda yang diperoleh secara bersama sejak terjadinya perkawinan. Tata cara pembagian harta bersama, biasanya pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setelah adanya kegiatan cerai namun gugatan cerai belum menyebutkan tentang pembagian harta bersama oleh karena itu, pihak suami atau pihak istri belum mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Harta bersama pada umumnya dibagi menjadi dua sama rata di antara suami dan istri sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara keduanya. Namun apabila masih terjadi perselisihan maka harus merujuk kepada ketentuan kompilasi hukum Islam pada pasal 88. Untuk mengatasi masalah pembagian harta bersama terdapat kiat strategis mengenai pembagian harta bersama, diantaranya :

  • Seluruh harta keluarga perlu diinventariskan dan dipisahkan mana yang berupa atap bersama, harta bawaan, dan harta perolehan.
  • Setelah itu seluruh aset harta tersebut di data secara lengkap baik harta bergerak maupun tidak bergerak atau aset properti lainnya.
  • Menginventariskan asuransi dan aset investasi yang dimiliki khususnya yang berbentuk portofolio keuangan seperti tabungan, deposito, atau investasi lainnya.
  • Setelah aset-aset dihitung maka dilakukan kegiatan mendaftar dan menghitung semua hutang keluarga.
  • Setelah seluruh aset dikurangi dengan hutang piutang maka tinggal dibagi dua dengan porsi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

INSPIRASI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun