Tradisi khitanan atau sunatan pada masyarakat Sunda dilakukan satu hari sebelum hari mengkhitan anak. Sehari setelah dikhitan, anak laki-laki akan diarak keliling desa dan sering disebut sebagai pengantin sunat (Adithia, 2018). Rombongan pengantin sunat ini keliling desa ditemani dengan kesenian Sunda yang meriah. Ada yang menggunakan kesenian tanjidor, kesenian sisingaan, dan kesenian kuda renggong. Setelah pesta arakan, pada malam harinya diadakan acara syukuran untuk anak yang akan dikhitan. Setelah dikhitan, digelar lagi pesta untuk pengantin sunat agar ia melupakan rasa sakit setelah dikhitan.
Sawer Pengantin
Upacara sawer pengantin dilakukan setelah akad nikah, pasangan pengantin dibawa ke tempat penyaweran atau tempat terbuka. Selanjutnya, penyawer melantunkan syair sawer, sambil menabur beras yang berjampur irisan kunir dan uang receh ke penonton (Kusmayadi, 2018).
Lingkungan alam
Pada hakikatnya, masyarakat Sunda menganggap bahwa lingkungan alam bukanlah sesuatu yang harus ditundukkan, melainkan sesuatu yang harus dihormati, dipelihara, dan dirawat. Sikap masyarakat Sunda dalam hubungannya dengan alam, cenderung lebih bersifat menyesuaikan diri dengan alam (Indrawardana, 2012). Hal ini dapat dilihat dalam hal bertani seperti yang dikatakan oleh Keontjaraningrat (1981) bahwa masyarakat petani Indonesia hidup selaras dengan alam sebagai suatu konsepsi yang lazim dalam petani Indonesia. Keterikatan masyarakat Sunda dengan lingkungan alam terkadang memposisikan manusia sebagai seseorang yang tunduk terhadap alam, padahal yang terjadi adalah secara tidak langsung alam membentuk mentalitas masyarakat Sunda. Alam dijadikan sebagai tempat perumpamaan bagi perilaku manusia, melalui ungkapan dalam bentuk bahasa perbandingan, ataupun kias. Beberapa nama tokoh Sunda masa lalu banyak menggunakan nama unsur alam seperti: Prabu Lingga Buana, Gelap Nyawang, Gajah Lumantung, Ciung Wanara, dan sebagainya. Tidak hanya itu, terdapat nama perilmuan untuk kesaktian masa lalu, seperti: Bayu Bajra, Guntur Bumi, Kidang Kancana, Pa Macan, dan sebagainya.
Paririmbon
Paririmbon adalah metode perhitungan kuno untuk memprediksi tentang aspek kehiduapan manusia mulai dari sikap manusia, rumah tangga, perjodohan, peruntungan, karir, hari baik-buruk, dan lain sebagainya. Ramalan dari paririmbon tidak sepenuhnya secara mutlak dipercaya oleh masyarakat karena belum tentu kebenarannya (Emon, 1992). Seluruh kehidupan suku sunda Sebagian besar dipengaruhi oleh filosofi hidup dan cara berpikir mereka. Secara geografis, masyarakat Sunda beranggapan bahwa tanah yang didirikan dan ditempati oleh mereka akan memiliki nama, kondisi, dan karakter tersendiri. Paririmbon tertuang dalam Kitab Primbon Sunda yang memuat tentang ramalan-ramalan.
Bahasa Sunda
Bahasa digunakan sebagai alat interaksi di dalam lingkungan sosial karena bahasa dapat menjadi ruang bagi tumbuhnya nilai sosial, dan terjadinya interaksi antar manusia (Farady & Sierjames, 2018). Meskipun suku Sunda telah menduduki berbagai daerah, akan tetapi logat atau dialek yang mereka gunakan mengikuti dialek atau logat yang sesuai dengan tempat yang mereka tempati. Hal ini dikarenakan adanya faktor "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung", serta dari faktor leluhur suatu daerah.
Pamali
Pamali sebagai salah satu sistem pengetahuan masyarakat adat Sunda. Pamali masih dipertahankan dalam kebudayaan masyarakat adat Sunda (Rohaeni, dkk, 2013). Pamali terus dipelihara dalam masyarakat adat Sunda secara turun temurun. Latar belakang munculnya pamali memberikan alasan logis dan sebagai ungkapan budaya menjaga adat sunda dari dampak digitalisasi dan globalisasi dan pengarauh luar. Contoh pamali seperti, (1) Ulah kaluar imah sareupna. Pamali ini terkait adanya anjuran dalam agama Islam untuk tidak berkeliaran di waktu Magrib sampai Isya. (2) Ulah cicing di lawang panto. Pamali ini merupakan pamali yang sering didengar oleh masyarakat, yang bermakna bahwa berdiri atau duduk di dekat pintu adalah perbuatan yang menganggu mobilitas orang lain.