Mohon tunggu...
Salsa Alicia Saputra
Salsa Alicia Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political Science Student

Political Science Student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tercorengnya Ekonomi Politik Indonesia akibat Korupsi di Era Reformasi

23 Desember 2022   18:04 Diperbarui: 23 Desember 2022   18:05 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena Korupsi di Era Reformasi

Era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto runtuh setelah bertahan selama 32 tahun. Keruntuhan Orde Baru ini dipicu oleh banyaknya permasalahan ekonomi, politik, hingga pembangunan yang berdampak kepada rakyat. Lengsernya Soeharto juga menandai kematian sebuah era yang melahirkan era baru yang dikenal dengan nama era Reformasi. Era Reformasi ini dapat dikatakan merupakan era yang berusaha untuk membentuk kembali sistem pemerintahan Republik Indonesia. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 pun menyebutkan bahwa reformasi memiliki tujuan untuk mewujudkan pembaharuan di segala bidang pembangunan nasional, terkhusus bidang ekonomi, politik, hukum, agama, dan sosial budaya.

Namun dengan berbagai wacana pembaharuan di awal era reformasi, belum menjadi kepastian akan sejahteranya negara Indonesia di berbagai bidang. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya kasus korupsi di era reformasi. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga turut menyatakan bahwa korupsi para era reformasi nyatanya lebih meluas dibandingkan dengan era Orde Baru. Menurut Mahfud MD, sekarang nama demokrasi diselewengkan di mana korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif, namun sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif, dan secara vertikal dari pusat hingga daerah.

Pada era reformasi, upaya pemerintah dalam memberantas korupsi dimulai oleh Presiden B. J. Habibie melalui ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Upaya dari presiden ke-3 Republik Indonesia ini dilakukan berdampingan dengan berjalannya Ketetapan MPR tersebut dengan turut diubahnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Setelah habisnya masa kepemimpinan Habibie, rupanya upaya yang dilakukan dalam memberantas korupsi semakin giat dilakukan dengan dikeluarkannya undang-undang anti korupsi, pembentukan badan-badan anti korupsi, serta didampingi oleh dukungan dari masyarakat terhadap pemerintahan reformasi. 

Kemudian pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, upaya pemberantasan korupsi diperluas dengan dibentuknya sebuah badan anti korupsi bernama Tim Gabungan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tugas dan wewenang dari badan tersebut adalah melakukan koordinasi penyidikan kasus serta tindakan korupsi dan koordinasi penuntutan tindakan korupsi. Namun pada akhirnya kinerja badan pemberantas korupsi ini tidak berjalan sesuai rencana karena dalam proses menjalankan tugasnya, TGPTPK mengalami masalah perizinan untuk melakukan penyitaan dan penggeledahan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi pada saat itu.

Setelah itu terbentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi upaya pembasmian kasus korupsi pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan terbentuknya KPK, terdapat banyak kasus korupsi yang berhasil dibongkar dan menjadikan KPK sebagai badan anti korupsi paling berhasil dibandingkan badan-badan anti korupsi yang pernah dibangun sebelumnya. D

apat dikatakan bahwa upaya negara dalam memberantas korupsi di era reformasi lebih efektif dibandingkan era-era sebelumnya. Dengan banyak tertangkapnya koruptor di Indonesia menjadi salah satu tanda dari keberhasilan tersebut. Namun hal ini belum bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang sudah bebas dari kasus korupsi karena dengan tertanganinya banyak kasus, nyatanya belum mampu memberikan efek jera kepada pejabat publik lainnya di mana hal ini dapat dilihat dari masih menjamurnya kasus korupsi di negeri ini. 

Kronologi Kasus Korupsi E-KTP Setya Novanto

Pada 17 Juli 2017, KPK mengumumkan bahwa Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP. Penyelewengan ini dimulai pada proyek yang terjadi pada 2011 hingga 2012. 

Saat itu Setya sedang menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana Setya diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP sejumlah Rp 5,9 triliun dapat disetujui oleh anggota DPR. Tidak berhenti sampai di situ, Setya Novanto juga diduga telah mengatur pemenang pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Kemudian didampingi pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, Setya Novanto diduga menyebabkan kerugian kepada negara hingga Rp 2,3 triliun. 

Pada 18 Juli 2017, Setya novanto melakukan jumpa pers guna memberikan respon terhadap penetapannya sebagai tersangka korupsi e-KTP. Pada jumpa pers tersebut Setya Novanto mengakui kebenaran dari kasus yang menyeretnya dan akan menjalani proses hukum dengan sebagaimana seharusnya. Namun pernyataan lain yang disampaikan olehnya adalah ia menolak untuk turun dari jabatannya sebagai Ketua DPR ataupun Ketua Umum Partai Golkar.

Pada 22 Juli 2017, Setya Novanto menghadiri suatu acara dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dalam sidang terbuka yang juga dihadiri oleh politikus Partai Golkar Adies Kadir di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya. Ketua Generasi Muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mempercayai bahwa Setya Novanto memanfaatkan kesempatan tersebut guna melobi Hatta Ali untuk memenangkannya di praperadilan. Namun akibat dari tudingan Ahmad Doli Kurnia ini, ia dipecat oleh Golkar karena Hatta Ali menegaskan bahwa ia hadir dengan tujuan murni sebagai penguji.

Pada 4 September 2017, Setya Novanto yang telah ditetapkan sebagai tersangka selama lebih dari sebulan, resmi mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kemudian gugatan tersebut terdaftar dalam nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel di mana Setya Novanto meminta agar penetapan statusnya sebagai tersangka dibatalkan oleh KPK. 

Setelah itu pada 11 September 2017, KPK memanggil Setya Novanto untuk datang guna diperiksa sebagai tersangka di mana pada saat itu Setya tidak menghadiri panggilan tersebut dengan alasan sakit. Idrus Marham selaku Sekretaris Jenderal Partai Golkar bersama dengan tim kuasa hukum Setya Novanto pada hari itu mengantarkan surat dokter ke KPK. Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, dinyatakan bahwa gula darah Setya Novanto naik setelah melakukan olahraga di hari sebelumnya.

Pada 12 September 2017, Setya Novanto mengirimkan surat kepada KPK melalui Fadli Zon selaku Wakil Ketua DPR RI. Di dalam suratnya, Setya meminta agar KPK menunda proses penyidikan dirinya sampai putusan praperadilan keluar. Surat tersebut pun sempat memicu protes karena dikirimkan menggunakan kop DPR. 

Sebagai tanggapan, KPK menilai bahwa proses praperadilan merupakan hal yang terpisah dari proses penyidikan, sehingga KPK memutuskan untuk tetap menjadwalkan proses penyidikan Setya Novanto. Setelah itu pada 18 September 2017, KPK kembali mengeluarkan panggilan kepada Setya Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun dengan alasan yang sama, Setya Novanto memilih untuk tidak hadir di bawah alasan sakit hingga menjalani kateterisasi jantung di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur. 

Pada 25 September 2017, Partai Golkar menggelar rapat pleno yang menghasilkan putusan agar Setya Novanto dinonaktifkan dari posisinya sebagai Ketua Umum Golkar. Kemudian pada 26 September 2017, sidang praperadilan Setya Novanto kembali berlanjut di mana pihak Setya mengajukan bukti tambahan berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari BPK terhadap KPK pada tahun 2016 di mana KPK keberatan dengan bukti ini karena didapat dari Pansus Angket terhadap KPK di DPR. Setelah itu pada 27 September 2017, hakim Cepi menolak permintaan KPK untuk memutar rekaman yang sebenarnya dapat memperkuat bukti atas keterlibatan Setya Novanto dalam proyek e-KTP. 

Selanjutnya pada 29 September 2017, tepatnya setelah menjalani berbagai rangkaian sidang, hakim Cepi mengabulkan permohonan Setya di mana hal ini berdampak kepada pembatalan penetapan status Setya Novanto sebagai tersangka.

Pada 31 Oktober 2017, Setya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian pada 15 November 2017, penyidik KPK mendatangi kediaman Novanto di Jakarta Selatan untuk menangkap Setya Novanto setelah berkali-berkali menghindari panggilan KPK, namun ia tidak ditemukan. 

Pada tanggal tersebut gugatan praperadilan di PN Jaksel juga kembali didaftarkan. Kemudian pada 16 November 2017, mobil yang ditumpangi Setya Novanto mengalami kecelakaan sehingga ia harus dibawa ke rumah sakit. Dengan kecelakaan yang dialaminya, Setya berhasil lolos lagi dari tahanan KPK karena sakit. Setelah itu pada 19 November 2017, Setya dibawa ke gedung KPK karena tim dokter menganggap ia tidak perli dirawat di rumah sakit dan akhirnya bisa diperiksa serta ditahan. Dan pada 13 Desember 2017, Setya Novanto didakwa di Pengadilan Tipikor.

Dampak Ekonomi Politik dari Korupsi E-KTP

Tindak pidana korupsi e-KTP yang dilakukan oleh Setya Novanto merupakan salah satu fenomena korupsi paling kontroversial di Indonesia. Dengan begitu besarnya kasus ini secara keseluruhan, tentu dampak yang ditimbulkannya pun tidaklah kecil. 

Beberapa bidang yang paling terdampak dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan ini adalah bidang ekonomi dan politik. Pada bidang ekonomi, KPK memastikan bahwa negara mengalami kerugian atas kasus korupsi Setya Novanto sebesar Rp. 2,3 triliun. Hal ini ternyata berdampak luas pula kepada kesejahteraan masyarakat di mana tingkat kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial meningkat karena dana pemerintah yang seharusnya dipergunakan untuk rakyat justru malah dinikmati oleh para aktor yang melakukan korupsi. 

Kemudian yang menarik adalah bagaimana respon KPK yang tidak terlalu memikirkan dampak korupsi e-KTP ini pada bidang politik. Namun justru sebenarnya kalau ditelaah lagi, perpolitikan negara tentunya ikut terguncang. Masyarakat yang pada awalnya menaruh kepercayaan kepada pejabat publik sebagai pemimpin mereka, akan kehilangan rasa kepercayaan tersebut. 

Segala iming-iming kebaikan yang dijanjikan di awal oleh para pemimpin mereka hanya akan dianggap sebagai omong kosong bagi rakyat dan ini akan menjadi siklus yang berkelanjutan bagi para pemimpin-pemimpin selanjutnya. Selain itu, demokrasi juga ikut ternodai dengan tindakan korupsi pejabat negara ini yang juga dapat menyebabkan masyarakat tidak akan memilih siapapun pada pemilihan umum karena kepercayaan mereka yang sudah luntur. Dan plutokrasi pun dapat semakin memiliki tempat akibat sistem politik yang dikuasai oleh para pemilik modal besar yang mampu memberikan suap secara mudah guna memenangkan diri mereka sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun