Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Kehidupan Penghuni Kolong Tol: Sebuah Refleksi Sosial

4 Desember 2024   06:10 Diperbarui: 4 Desember 2024   06:14 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: youtube.com

JEJAK KEHIDUPAN PENGHUNI KOLONG TOL: SEBUAH REFLEKSI SOSIAL

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: newsmaker.tribunews.com
Input gambar: newsmaker.tribunews.com
Kisah kehidupan warga penghuni kolong tol mencerminkan kompleksitas masalah sosial di kota-kota besar, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan kurangnya perencanaan urban yang inklusif. Kolong tol menjadi simbol paradoks: kemajuan yang tidak diiringi pemerataan, mempertegas perlunya kebijakan yang lebih manusiawi dan adil untuk mengatasi kesenjangan sosial.

Di balik megahnya infrastruktur jalan tol yang menjadi simbol kemajuan kota, tersimpan cerita lain yang jarang tersorot bahwa masih ada kehidupan warga yang bertahan hidup di kolong tol. Tempat yang seharusnya kosong dan steril berubah menjadi hunian darurat bagi mereka yang terpinggirkan oleh kerasnya kota. 

Dengan segala keterbatasan, para penghuni kolong tol berjuang untuk bertahan hidup di tengah suara kendaraan yang terus menggelegar di atas kepala mereka.

Fenomena ini bukan hanya mencerminkan kemiskinan struktural, tetapi juga mengungkap paradoks pembangunan modern: kemegahan berdampingan dengan ketimpangan. Kehidupan mereka mengajak kita untuk merenungkan kembali makna kemajuan sekaligus menyadari pentingnya keadilan sosial dalam membangun sebuah kota yang benar-benar inklusif.

Melihat potret nyata kehidupan warga di kolong tol menyiratkan suatu perjuangan bertahan hidup di tengah segala keterbatasan. Di tempat yang sebenarnya tidak dirancang untuk dihuni, banyak keluarga mendirikan tempat tinggal sederhana dari bahan-bahan bekas seperti terpal, kayu lapuk, dan seng. 

Kondisi ini menciptakan suasana yang jauh dari layak, dengan minimnya akses terhadap fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, dan sanitasi. Kehidupan lingkungan yang bising akibat suara kendaraan yang melintas tanpa henti serta polusi udara dari emisi kendaraan memperburuk kualitas hidup mereka. 

Meskipun demikian, penghuni kolong tol tetap berusaha menjalani hari-hari mereka dengan semangat yang luar biasa. Sebagian besar mencari nafkah sebagai pemulung, pedagang kecil, atau pekerja serabutan, sementara anak-anak mereka kerap kali harus berjuang mendapatkan akses pendidikan di tengah berbagai keterbatasan.

input gambar: megapolitan.kompas.com
input gambar: megapolitan.kompas.com
Di sisi lain, kehidupan mereka juga diwarnai stigma sosial yang membuat mereka semakin terisolasi dari masyarakat umum. Kolong tol, yang semestinya hanya menjadi ruang sisa dari pembangunan infrastruktur, berubah menjadi tempat yang menyimpan berbagai cerita tentang ketangguhan manusia, sekaligus menjadi pengingat nyata tentang pentingnya kebijakan yang lebih inklusif untuk mengatasi kemiskinan perkotaan.

Muncul beragam faktor terkait kehidupan warga di kolong tol karena soal kemiskinan struktural yang membuat sebagian masyarakat tidak mampu mengakses hunian layak di kota besar. Tingginya biaya hidup dan harga properti memaksa mereka mencari tempat tinggal alternatif, bahkan di ruang-ruang yang tidak semestinya dihuni pun mereka menyulapnya menempatinya sebagai tempat tinggal.

Selain itu, urbanisasi yang tidak terkelola dengan baik turut memperburuk situasi. Banyak pendatang ke kota yang berharap mendapatkan kehidupan lebih baik, tetapi justru terjebak dalam ketidakpastian ekonomi. Di sisi lain, kebijakan pembangunan yang berfokus pada infrastruktur tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat miskin kota memperlebar kesenjangan sosial. 

Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan kondisi di mana kolong tol menjadi satu-satunya pilihan bagi mereka untuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan perkotaan.

Menjalani hidup di kolong tol telah membawa dampak sosial dan psikologis yang tidak bisa diabaikan. Secara sosial, para penghuni sering menghadapi stigma sebagai "warga ilegal" atau "penghuni liar," yang membuat mereka terisolasi dari masyarakat sekitar. Marginalisasi ini memperburuk kesulitan mereka untuk mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.

Input gambar: antarafoto.com
Input gambar: antarafoto.com
Dari sisi psikologis, tekanan hidup di lingkungan yang tidak aman, bising, dan penuh keterbatasan seringkali menyebabkan stres kronis, kecemasan, dan depresi, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. Anak-anak penghuni kolong tol kerap kehilangan hak atas masa kecil mereka, harus membantu orang tua mencari nafkah atau menghadapi risiko putus sekolah. 

Selain itu, rasa tidak aman akibat ancaman penggusuran sewaktu-waktu menambah beban mental yang mereka tanggung setiap hari. Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa kehidupan di kolong tol bukan hanya persoalan fisik atau ekonomi, tetapi juga masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian dan solusi menyeluruh.

Untuk mengatasi permasalahan kehidupan warga penghuni kolong tol memerlukan upaya dan solusi yang berkelanjutan serta melibatkan berbagai pihak. Pertama, pemerintah dapat memulai dengan menyediakan hunian layak dan terjangkau melalui program perumahan rakyat yang inklusif, sehingga mereka tidak lagi harus tinggal di tempat-tempat yang tidak layak huni.

Kedua, pemberdayaan masyarakat menjadi langkah penting, seperti melalui pelatihan keterampilan kerja, akses ke pendidikan, dan dukungan kesehatan. Komunitas lokal dan organisasi non-pemerintah juga dapat berperan dengan memberikan bantuan langsung, baik berupa kebutuhan dasar maupun pendampingan untuk membantu mereka mandiri. 

Pendekatan ini perlu didukung oleh kebijakan yang adil dan tegas, seperti memastikan bahwa penggusuran dilakukan dengan memberikan solusi alternatif yang manusiawi.

Ketiga, edukasi masyarakat luas untuk menghilangkan stigma terhadap penghuni kolong tol juga penting agar tercipta lingkungan sosial yang lebih inklusif. Dengan kolaborasi yang solid antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, kehidupan penghuni kolong tol dapat berubah menjadi lebih bermartabat dan penuh harapan.

Kehidupan warga penghuni kolong tol sesuangguhnya mengingatkan kita semua bahwa kemajuan suatu kota tidak hanya diukur dari megahnya infrastruktur, tetapi juga dari bagaimana setiap warganya dapat hidup dengan layak dan bermartabat. 

Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama untuk melihat mereka sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, bukan sekadar kelompok yang terpinggirkan.

Sebagai solusi alternatif, pemerintah dapat mempercepat pembangunan hunian vertikal bersubsidi yang dirancang khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah, lengkap dengan akses fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, dan pendidikan. Selain itu, program pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan keterampilan kerja dan pemberian modal usaha, dapat membantu mereka keluar dari lingkaran kemiskinan. 

Di sisi lain, penegakan kebijakan tata ruang yang lebih inklusif harus disertai solusi kemanusiaan, seperti relokasi yang disertai kompensasi memadai. Dengan pendekatan ini, tidak hanya tempat tinggal yang diperbaiki, tetapi juga kualitas hidup secara keseluruhan, sehingga mereka dapat meraih masa depan yang lebih baik.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun