Selain itu, urbanisasi yang tidak terkelola dengan baik turut memperburuk situasi. Banyak pendatang ke kota yang berharap mendapatkan kehidupan lebih baik, tetapi justru terjebak dalam ketidakpastian ekonomi. Di sisi lain, kebijakan pembangunan yang berfokus pada infrastruktur tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat miskin kota memperlebar kesenjangan sosial.Â
Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan kondisi di mana kolong tol menjadi satu-satunya pilihan bagi mereka untuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan perkotaan.
Menjalani hidup di kolong tol telah membawa dampak sosial dan psikologis yang tidak bisa diabaikan. Secara sosial, para penghuni sering menghadapi stigma sebagai "warga ilegal" atau "penghuni liar," yang membuat mereka terisolasi dari masyarakat sekitar. Marginalisasi ini memperburuk kesulitan mereka untuk mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Dari sisi psikologis, tekanan hidup di lingkungan yang tidak aman, bising, dan penuh keterbatasan seringkali menyebabkan stres kronis, kecemasan, dan depresi, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. Anak-anak penghuni kolong tol kerap kehilangan hak atas masa kecil mereka, harus membantu orang tua mencari nafkah atau menghadapi risiko putus sekolah.Â
Selain itu, rasa tidak aman akibat ancaman penggusuran sewaktu-waktu menambah beban mental yang mereka tanggung setiap hari. Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa kehidupan di kolong tol bukan hanya persoalan fisik atau ekonomi, tetapi juga masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian dan solusi menyeluruh.
Untuk mengatasi permasalahan kehidupan warga penghuni kolong tol memerlukan upaya dan solusi yang berkelanjutan serta melibatkan berbagai pihak. Pertama, pemerintah dapat memulai dengan menyediakan hunian layak dan terjangkau melalui program perumahan rakyat yang inklusif, sehingga mereka tidak lagi harus tinggal di tempat-tempat yang tidak layak huni.
Kedua, pemberdayaan masyarakat menjadi langkah penting, seperti melalui pelatihan keterampilan kerja, akses ke pendidikan, dan dukungan kesehatan. Komunitas lokal dan organisasi non-pemerintah juga dapat berperan dengan memberikan bantuan langsung, baik berupa kebutuhan dasar maupun pendampingan untuk membantu mereka mandiri.Â
Pendekatan ini perlu didukung oleh kebijakan yang adil dan tegas, seperti memastikan bahwa penggusuran dilakukan dengan memberikan solusi alternatif yang manusiawi.
Ketiga, edukasi masyarakat luas untuk menghilangkan stigma terhadap penghuni kolong tol juga penting agar tercipta lingkungan sosial yang lebih inklusif. Dengan kolaborasi yang solid antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, kehidupan penghuni kolong tol dapat berubah menjadi lebih bermartabat dan penuh harapan.
Kehidupan warga penghuni kolong tol sesuangguhnya mengingatkan kita semua bahwa kemajuan suatu kota tidak hanya diukur dari megahnya infrastruktur, tetapi juga dari bagaimana setiap warganya dapat hidup dengan layak dan bermartabat.Â
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama untuk melihat mereka sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, bukan sekadar kelompok yang terpinggirkan.