MENATAP MELATI ATAU MENANCAP BELATI
*Oleh: Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Ketika menjelang senja, sambil menikmati indahnya pemandangan alam dari puncak bukit di suatu perkampungan desa. Diriku mengeluarkan buku dari tas ransel yang kubawa. libido membacaku muncul, ingin segera berselancar menikmati sebuah karya seorang akademisi dan sastrawan hebat NTT, Dr. Marselus Robot yang mengulas sekumpulan esai bernas dalam buku berjudul "Kejahatan Sunyi Merindumu Itu Luka".Â
Sang penulis menderaskan kata-kata indah mampu mengetuk pintu rasa memberi mata air inspirasi dan motivasi. Barisan kata-kata yang dibumbui dengan kentalnya nilai sastra seakan merangsang diriku singgah sejenak menikmati diksi-diksi terkandung pesan.Â
Pada perjalanan menikmati bacaan tersebut, ada perjumpaan dengan barisan kalimat "Namun, kadang melati menjadi belati yang begitu mudah menggunting pita-pita kemanusiaan di antara kita"(hal 5).Â
Pada bagian lain buku tersebut (hal 29-30) terdapat kutipan puisinya Yanti Ali berjudul "Kata-kata belatimu". Berikut barisan kalimat puisinya : Kata-katamu bagai belati, Aku pergi membawa luka, Mampu merajamku namun tak mampu menguasaiku, Walaupun perih tersayat belatimu, ku akan melupakanmu.Â
Kata "melati dan belati" pada rangkaian kalimat di atas, sungguh menggelitik dan mengajakku untuk mengulitinya lebih jauh dalam perspektif konteks realitas kehidupan.Â
Saya menambahkan pada dua kata terpisah tersebut dengan masing-masing sebuah kata di depannya untuk menjadi frasa yang menjadi judul ulasan kali ini. Sebelum kedua kata ini difrasakan maka melati adalah bunga yang sering dikaitkan dengan berbagai makna dalam berbagai budaya, namun secara umum, melambangkan keindahan, kesucian, ketulusan, dan keabadian.Â
Melati sering kali diasosiasikan dengan kesucian, kebersihan, serta kebaikan. Bunga ini dalam banyak budaya dianggap sebagai lambang kesucian, keabadian, dan kebaikan batiniah.Â
Keterkaitan melati dengan kesucian dan kebaikan membuatnya menjadi simbol spiritualitas, cinta yang murni, dan harapan yang tak tergoyahkan. Aroma yang harum dan penampilan yang menawan dari bunga melati juga menyiratkan keteduhan, ketenangan, dan kedamaian. Dalam konteks ini, melati sering kali menjadi simbol kedamaian batin dan ketenangan jiwa.
Belati merupakan senjata tajam yang menyimbolkan ketajaman dan kekuatan yang diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup. Belati juga mencerminkan ketajaman dalam kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, terutama dalam situasi yang menantang.Â
Pada Frasa pertama "menatap melati" mengandung banyak makna yang dapat diinterpretasikan secara simbolis. Menatap melati bisa diartikan sebagai tindakan mengagumi atau memperhatikan sesuatu yang indah atau suci dalam kehidupan. Ini bisa mencerminkan sikap penghormatan terhadap kebaikan, kedamaian, atau keindahan dalam situasi tertentu. Secara filosofis, "menatap melati" juga bisa melambangkan introspeksi atau refleksi mendalam terhadap kebaikan batiniah atau keindahan spiritual dalam diri sendiri atau di sekitar kita.
Frasa ini juga dapat mewakili tindakan menghargai keindahan alam, menghormati kebaikan dalam hubungan antarmanusia, atau menunjukkan penghargaan terhadap nilai-nilai yang suci dan tulus dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menatap melati, seseorang mencoba untuk menghargai, memahami, dan merasakan kedamaian serta keindahan yang ada di sekitarnya.Â
Pada tingkat lebih dalam, frasa ini mungkin juga menggambarkan sikap kesadaran akan keindahan yang tersembunyi di tengah-tengah kehidupan yang sibuk dan penuh tantangan. Ini mengajarkan kita untuk memperlakukan kebaikan dengan penuh perhatian, menghargai momen-momen kecil yang berharga, dan menjaga hati agar tetap terbuka terhadap keindahan yang ada di sekitar kita.
Pada frasa kedua "Menancap belati" adalah gambaran dari sebuah aksi atau tindakan menusuk atau menusuk dengan belati. Sebuah gambaran yang menggambarkan tindakan kekerasan, ancaman, atau bahkan pengkhianatan baik secara verbal maupun nonverbal. Arti belati adalah suatu benda tajam yang digunakan untuk menyerang atau melukai seseorang.Â
Oleh karena itu, "menancap belati" tidak hanya mencerminkan tindakan fisik yang menyakitkan, tetapi juga dapat mencerminkan pengkhianatan emosional, penghianatan dalam suatu hubungan, atau tindakan merugikan secara keseluruhan yang berdampak negative bagi orang lain.Â
Dalam konteks yang lebih luas, frasa ini bisa mencerminkan bahaya, kekerasan, atau ancaman yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Ini bisa menggambarkan situasi atau tindakan yang merugikan, menyakiti, atau menimbulkan bahaya bagi individu atau kelompok tertentu. Hal ini menjadi pengingat bahwa tidak semua yang terlihat di atas permukaan baik itu selalu aman, tetapi kita perlu tetap waspada terhadap situasi atau orang-orang yang mungkin membawa ancaman atau kerugian bagi hidup dan kehidupan kita.
Di antara kedua Frasa "menatap melati dan menancap belati" sungguh mengandung makna yang mendalam yang mencerminkan perpaduan antara kedamaian dan kekerasan, serta kontras dalam sebuah situasi atau tindakan. Bagaimana sikap kita menghadapi dua situasi yang tak bisa kita hindarkan. Sesungguh manusia mengharap bisa "Menatap melati" terus tumbuh dan berbunga di ladang kehidupan namun terkadang pula muncul manusia yang menggenggam belati dan sewaktu-waktu akan menancapkan pada tubuh kita. Pemahaman frasa ini mengajarkan bahwa dalam hidup, kita dihadapkan pada berbagai situasi yang memiliki dua sisi atau dimensi yang berlawanan.
Kita harus bisa memahami bahwa ada saat-saat ketika kita menikmati keindahan dan kedamaian, sementara pada waktu lain kita mungkin dihadapkan pada konflik atau bahaya yang mengintai sehingga perlu diatasi.Â
Selain itu, frasa ini juga bisa diartikan sebagai simbol dari kompleksitas manusia itu sendiri. Kita sebagai individu sering memiliki sisi-sisi yang berbeda: ada sisi kebaikan, kelembutan, dan kedamaian dalam diri kita, tetapi juga ada sisi yang mungkin keras, tajam, atau bahkan berpotensi berbahaya. Dengan memahami frasa ini, kita diajak untuk memiliki kesadaran akan perbedaan dan keberagaman dalam kehidupan, serta untuk menerima bahwa kebaikan dan kekerasan bisa saja ada dalam satu kesatuan.
Penting bagi kita untuk tetap bersikap tenang dan menikmati damai dalam menghadapi berbagai bentuk tekanan yang mendatangkan ketegangan atau konflik, sambil tetap waspada terhadap potensi bahaya yang mungkin muncul dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pada setiap perkataan dan tindakan kita perlu menakar nalar secara matang terlebih dahulu agar kemunculannya seperti melati terpandang indah bukan menjadi belati yang menggunting kekuatan cinta pada kehidupan.Â
Namun demikian, dalam realitas kehidupan, tak jarang kita menemukan kebutuhan untuk menyatukan kedua konsep ini. Ada momen di mana ketenangan melati diperlukan untuk mengatasi ketegangan dalam situasi yang menuntut kekuatan. Memiliki kelembutan dan ketegasan yang seimbang akan membantu kita dalam menghadapi masalah dengan pikiran yang jernih dan hati yang lapang.Â
Dengan demikian, simbolisme melati dan belati secara kontras menggambarkan kedamaian dan kebaikan (melati) berlawanan dengan ancaman dan kekerasan (belati).
Kedua simbol ini bisa dijadikan metafora untuk melukiskan dualitas dalam kehidupan, yang seringkali terdiri dari kebaikan dan kejahatan, kedamaian dan konflik, kesucian dan kekerasan, yang berdampingan dalam kenyataan manusia. Sebagai manusia, kita perlu mengakui serta mampu mengintegrasikan kedua hal ini dalam perjalanan kehidupan sebagai kunci untuk menjadi individu yang seimbang. Kedua hal ini dapat menginspirasi kita untuk menunjukkan peran membantu serta menyediakan ketenangan dan kekuatan bagi orang lain yang membutuhkan.
Semoga melati dengan keharumannya yang menyegarkan dan keindahannya yang menenangkan, akan bertahan di tengah kegaduhan kehidupan. Saat menatap melati, itu akan menciptakan kesadaran akan keindahan sederhana di sekitar kita yang sering terabaikan dalam rutinitas sehari-hari. Di sisi lain, ketika kita menggenggam belati tanpa menancapkannya, maka kita sedang merasakan kekuatannya yang menguatkan, menegaskan bahwa kehidupan tidak selalu lembut dan sering kali memerlukan ketegasan serta ketangguhan untuk menghadapi rintangan yang ada. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H