Mohon tunggu...
salma rohmahal_munajad
salma rohmahal_munajad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa di kampus UIN Raden mas said Surakarta hobby saya membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi Pemidanaan Nikah Sirri Berdasarkan UU No 22 Tahun

5 Juni 2023   14:51 Diperbarui: 5 Juni 2023   16:39 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Salma Rohmah Al Munajad

Nim : 212121055

Prodi- kelas : HKI 4B 

RIVIEW SKRIPSI

Judul : PEMIDANAAN NIKAH SIRRI BERDASARKAN UU NO.22 TAHUN 1946 jo. UU NO. 32 TAHUN 1954 

Nama penulis : ENDRA RUKMANA

Universitas: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Nikah sirri secara bahasa berarti menikah secara sembunyi-sembunyi atau secara rahasia. Kata sirri dalam bahasa Arab berasal dari kata sirrun yang berarti rahasia. Menurut arti terminologis nikah sirri setidaknya mempunyai dua pengertian, yaitu: 

1. Pengertian yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Syaltut, ada dua bentuk nikah sirri yaitu: 

a. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa pencatatan. Para ahli fikih bersepakat melarang nikah sirri semacam ini.

 b. Akad pernikahan yang dihadiri oleh para saksi, tetapi mereka diharuskan untuk merahasiakan pernikahan tersebut.sebagian ulama seperti Hanafiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah sebab adanya saksi menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi (menjadi nikah alaniyah). 

2 . Pengetian nikah sirri berkembang di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang tedapat Dalam perjalanan Hukum Islam, Nikah Sirri bukanlah masalah yang 

baru karena di dalam kitab Al-Muwattha karya Imam Malik telah tercatat bahwa istilah nikah sirri berasal dari perkataan Umar Ibnu al-Khattab r.a :

"Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata: Ini nikah sirri, Aku tidak membolehkannya, seandainya kamu melakukannya pasti aku rajam."

Pengertian nikah sirri dalam perspektif Umar tersebut adalah bahwa syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kreteria Umar dipandang sebagai nikah sirri.

Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri. 

Mengenai perihal saksi, para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafii dan Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan Syafii berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah. Sehingga tidak sah suatu pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil: 

"tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cukup".

Golongan Jumhur Ulama

Imam SyafiI, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir, Umar, Urwah, Syabi dan Nafi, bahwa apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiakannya pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan. Sabda Nabi SAW dari Aisyah: 

"Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Masjid serta ramaikanlah dengan memukul rebana." (HR at-Tirmidzi). 

Golongan Maliki

Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang lakilaki tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya; lalu jawabnya: Keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang diterimanya, sedang kedua orang saksinya tidak dihukum.

Perspektif Hukum Positif 

Telah memenuhi ketentuan hukum materil, sebagaimana perintah UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1), yaiut pernikahan telah dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Maka bagi orang Islam, pernikahan itu sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. 

UU NO 1 Tahun 1946

Dalam UU No. 22 tahun 1946, dijelaskan juga unsure pidana bagi pihakpihak yang melakukan pelanggaran, yaitu bagi pihak yang melakukan perkawinan atau menjatuhkan talak atau rujuk tanpa dicatat atau tanpa di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka dijatuhi hukuman denda. Sebagaimana pasal 3 ayat (1)menyatakan bahwa:

"Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah)".

Pasal 3 ayat (3) menyatakan bahwa: 

"Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah)."

Sementara bagi pihak yang menikahkan padahal bukan tugasnya untuk menikahkan (nikah di bawah tangan), maka pihak tersebut dijatuhi hukuman pidana selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,-. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa: 

"Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah)."

Undang-undang ini berupaya mencegah adanya pungutan liar (pungli) bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan menjatuhkan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah). Pasal 3 ayat (4) menyatakan bahwa:

"Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan dari pada bukupendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah)."

Kali pertama yang harus dikaji adalah pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengandung unsur pidana. Berikut merupakan pasal 3 UU NO 22 Tahun 1946:

1. Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh 

2. pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh rupiah).3. rupiah). 

4. Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100,-(seratus rupiah). 

5. Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimanatersebut Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1)pasal2,atau tidak memberikan petikan dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp 100,- (seratus rupiah). 

6. Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan kepada yang berwajib, maka biskalgripir hakim kepolisian yang bersangkutan mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat nikah yang bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat k

eputusan hakim yang menyatakan hal itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun