Menurut Abu Hanifah dan Asy Syafi'I berpendapat, boleh menikahi wanita dengan tidak menunggu habisnya masa iddahnya (sampai melahirkan). Asy Syafi'I membolehkan akad nikah tersebut meskipun dalam keadaan hamil, karena tidak adanya keharaman.
Menurut M. Quraish Shihab pada dasarnya, pria yang menikahi wanita yang pernah dizinai hukumnya sah sah saja.
Menurut Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita telah berbuat zina, baik dengan laki laki yang bukan menzinainya terlebih laki laki yang menzinainya, kecuali telah dengan 2 syarat yaitu setelah masa iddahnya dan bertaubah.
Menurut Malikiyyah berpendapat bahwa menikahi wanita hamil akibat zina tidak sah, apabila akad nikah tersebut dilangsungkan maka akad tersebut menjadi fasid.
Menurut KHI
Perkawianna Wanita Hamil ini telah diatur dengan sendiri di dalam Undang Undang Kompilasi Hukum Islam pada pasal 53 ayat (1), (2), dan (3), yaitu berisikan:
Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang di sebutkan pada poin pertama itu dapat dilangsungkan tanpa menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya itu lahir.
Dalam penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pernikahan wanita hamil menurut KHI di perbolehkan atau sah.
PERCERAIAN ADALAH PERBUATAN YANG DI BENCI ALLAH DAN HALAL, APA YANG DI LAKUKAN UNTUK MENGHINDARI PERCERAIAN?