Mohon tunggu...
Salma Rihhadat
Salma Rihhadat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka baca buku dan menulis cerita!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesak

16 Oktober 2023   17:00 Diperbarui: 16 Oktober 2023   17:13 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lapar.

 Gadis dua puluh tahunan itu meringis, menahan perih yang menggerogoti perut. Satu tangannya menekan perut dengan kencang, berharap tekanan yang ia bebankan ke titik itu bisa mengurangi sedikit saja rasa lapar. Tangan lainnya membolak-balik halaman buku, dia harus segera menyelesaikan tugas-tugasnya.

 Aku ingin tidur..

 Genangan air memenuhi matanya, dia yakin sedikit saja berkedip, air mata yang sudah ditahan sejak tadi siap meluncur deras. Gadis itu tidak mengantuk, tapi ingin sekali tidur. Baginya, tidur adalah salah satu cara menahan lapar paling mudah, berkelana di dunia mimpi. Siapa tahu, di mimpinya nanti dia akan disuguhkan makanan-makanan enak yang langka bagi anak perantauan seperti dirinya.

 Gadis itu tidak fokus. 

 Dia tidak bisa lagi mengerjakan tugas yang masih menumpuk. Ini minggu-minggu genting menjelang ujian, tugas-tugas kian banyak dan harus segera diselesaikan. Tapi tidak bisa. Untuk fokus, gadis itu perlu energi sedikit lebih banyak dan perut yang terisi cukup, tidak kelaparan seperti saat ini.

 Bahan makananpersediaannya sudah habis. Beras yang dibawa dari rumah sejak terkhir kali dia pulang sudah tak bersisa, terakhir kemarin, tersisa satu gelas untuk seharian. Uangnya juga menipis, hanya cukup untuk mencetak tugas yang harus dikumpulkan besok. Kalau hari ini uangnya dipakai untuk membeli makan, dia tidak bisa mengumpulkan tugas tepat waktu esok hari.

 Tadi pagi, gadis muda itu sudah menelpon ibunya untuk minta dikirim uang sedikit saja, untuk makan hari ini. Esok hari, dia akan memikirkannya lagi, antara mengambil kerja sambilan sepulang kuliah, atau membantu temannya mengerjakan tugas untuk mendapatkan upah. Tapi hari ini gadis itu buntu sekali. Dia sudah seharian belajar di kampus hingga sore, pulang ke tempat kos, langsung mengerjakan tugas yang tenggat waktu pengumpulannya hanya hingga besok.

 Ibunya di seberang telepon tadi hanya bisa terdiam beberapa detik.

 Gadis itu sudah tahu, diam berarti kabar buruk.

 Tidak ada uang yang bisa dikirimkan.

 Tapi yang paling membuatnya sesak adalah ketika ibunya mulai mengoceh, ceramah, dan ceramah, seakan-akan gadis itu adalah beban yang kerjanya hanya menghabiskan uang orangtua saja. Ini adalah bagian tersakit daripada harus hidup kelaparan.

 Mengingat hal itu, si gadis jadi ingin menangis lagi.

 Ibunya tadi bicara panjang lebar tentang ekonomi keluarga. Hutang yang menumpuk, biaya hidup yang semakin hari semakin mahal sementara pendapatan justru kian berkurang. Gadis itu sebenarnya mengerti, sangat mengerti keadaan ekonomi yang mencekik keluarganya. Selama ini, dia bertahan kuliah hingga semester 5 dengan tertatih-tatih, kebingungan setiap kali tenggat pembayaran uang semester, berujung hutang kepada sanak keluarga.

 Padahal gadis itu tidak berencana meminta banyak. Jatah uang pekanannya minggu lalu sangat minim untuk hidup di kota metropolitan seperti ini. Pekan ini, dia belum juga diberikan jatah, sementara persediaan dapurnya sudah habis tak bersisa. Gadis itu juga berusaha sekuat tenaga menghemat pengeluaran. Makan seadanya, lauk sayur saja, kadang satu butir terus dibagi dua, untuk makan di siang dan malam hari. Pagi saat hendak berangkat kuliah, gadis itu terbiasa tidak sarapan. Dia akui itu kebiasaan buruk, tapi mau bagaimana lagi, itu semua dilakukan untuk berhemat setiap hari.

Hari ini pun, sebenarnya dia bersyukur karena seorang teman di kelas, yang tidak begitu dia kenal dekat, berulang tahun, jadilah teman sekelas itu membagi-bagi roti, cukup untuk mengganjal perutnya pada siang hari.

 Tapi ini sudah malam, dan gadis itu sama sekali belum makan nasi.

 Syukur-syukur ibu kos yang baik hati menyediakan air minum gratis yang bisa diakses siapa saja, hitung-hitung sedekah, katanya. Kalau tidak ada air gratisan itu, habis sudah dia tidak bisa minum, uangnya sudah tak besisa untuk keperluan pencetakan tugas di fotokopi.

 “Kan kamu bisa pinjam teman dulu” 

 Ah, kalimat ibunya tadi terngiang-ngiang lagi. 

 Gadis itu sudah terlampau malu, pada salah seorang teman yang cukup dekat di kelas. Teman itu terkadang datang berkunjung untuk membawakan makanan, katanya dari kekasihnya, dan dia hendak berbagi kebahagiaan. Sekali dua, si teman bahkan meminjamkan uang kalau sudah kepalang kepepet. Gadis itu khawatir pertemanan mereka mungkin akan rusak jika dia terus menerus berhutang budi. Sejujurnya itu juga sangat tidak nyaman ketika dia harus meminta-minta, tidak secara harfiah, tapi gadis itu merasakannya.

 Dia benci menjadi miskin. Dia ingin menyerah, tapi sudah semester 5. Dia harus bisa lulus tepat waktu dan mencari kerja, meskipun dia sendiri tidak yakin dengan kemampuannnya. Setidaknya, hidupnya, hidup keluarganya akan sedikit lebih mudah jika dia punya sedikit uang.

 Gadis itu ragu-ragu mengambil telepon genggam yang data internetnya tinggal sedikit lagi. Di tengah-tengah rasa sesak yang membanjiri hati dan lapar yang menggerogoti diri, ada satu nama yang menjadi harapannya di tengah gulita.

 Gadis itu sudah terlalu sesak menahannya sendirian.

 Sebuah pesan berhasil dia kirimkan kepada seseorang, sahabatnya semasa sekolah menengah, yang kini terpisah jarak dan kesibukan.

 Ra, aku tahu gak tau diri menghubungi tiba-tiba saat aku tidak menjawab pesanmu berhari-hari. Tapi aku mau cerita, aku tidak tahan lagi.

 Sebuah panggilan telepon masuk sesaat setelah tanda centang berubah menjadi biru pada pesan yang ia kirimkan. 

 “Kamu kenapa? ada masalah? sini, ceritaaaa…” Sebuah suara penuh kekhawatiran menyapanya di seberang sana.

 Tangis gadis itu meledak begitu saja. Perlahan, isak kecilnya berubah jadi sedu sedan.

Bionarasi

Halo, Saya Salma Rihhadatul Aisy, mahasiswa sastra sekaligus penulis pemula. Cerpen saya sudah diterbitkan beberapa kali di antologi cerpen dan beberapa platform menulis. Sekarang, saya berdomisili di Tangerang. Temui saya pada akun instagram @meisalma_


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun