Mohon tunggu...
Salma Putri Rany
Salma Putri Rany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Tetaplah hidup walaupun cobaannya awikwok:)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia

29 Maret 2023   23:31 Diperbarui: 29 Maret 2023   23:51 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia

Sebelum masuk pada pengertian hukum perdata islam, pengertian dari Hukum Islam sendiri adalah hukum yang mengatur kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Hukum Perdata, adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum atau privat materiil, yaitu seluruh hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. 

Hukum perdata Islam dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah fiqih mu'amalah, yaitu ketentuan (hukum Islam) yang mengatur hubungan antar orang-perorangan. Dalam pengertian umum, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan (1) munakahat (hukum perkawinan, mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibat hukumnya); (2) wirasah atau faraid (hukum kewarisan mengatur segala persoalan yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta

peninggalan, harta warisan serta pembagian harta warisan).

Selain pengertian umum, hukum perdata Islam secara khusus bermakna norma hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, aturan mengenai jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, persyarikatan (kerja sama bagi hasil), pengalihan hak dan segala yang berkaitan dengan transaksi, hukum jual beli, utang piutang, sewa menyewa, upah mengupah, dan lain sebagainya.

Hukum perdata Islam mengatur hak-hak dan kewajiban perseorangan di kalangan warga negara Indonesia yang menganut agama Islam. Dengan kata lain, hukum perdata Islam adalah privat materiil sebagai pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan dan kekeluargaan yang khusus diberlakukan untuk umat Islam di Indonesia. 

 Prinsip perkawinan menurut UU No. 1/1974 adalah: 

(1) Tujuan perkawinan adalah

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal; dapat dilihat rujukannya pada firman Allah:"Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih saying. Sesugguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir" (QS. Al

Rum: 21). 

(2) Sahnya perkawinan sangan tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing; sesuatu yang telah jelas dimana hukum yang ingin ditegakkan harus bersumber pada al-Quran dan al-Hadits. 

(3) Asas monogami; dapat dilihat pada firman Allah:"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah dengan wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinlah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu

adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". (QS. an-Nisa: 3)

(4) Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya; 

(5) Mempersulit terjadinya perceraian; sesuai dengan Hadits Rasul yang berbunyi:

"Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian". (HR. Abu Daud dan at-

Tirmidzi)

(6) Hak dan kedudukan suami istri adalah

seimbang.

Prinsip perkawinan menurut KHI

prinsip perkawinan menurut hukum Islam sebagai berikut :

a. Perkawinan berdasar dan untuk menegakkan hukum Allah

b. Ikatan perkawinan adalah untuk selamanya

c. Suami sebagai kepala rumah tangga, isteri sebagai ibu rumah tangga, masing masing bertanggung jawab.

d. Monogami sebagai prinsip, poligami sebagai pengecualian.

Dasar hukum perkawinan monogami dalam Islam didasarkan pada ayat 3 surat Annisa. Di mana dijelaskan bahwa perkawinan menurut Islam harus didasarkan kepada dan untuk menegakkan hukum Allah. Salah satu kewajiban yang harus ditegakkan adalah berlaku adil. Jika sebelum kawin dengan isteri kedua sudah khawatir atau takut tidak akan

berbuat adil, maka hendaknya berketetapan hati untuk tetap menjaga ikatan perkawinan dengan

seorang wanita saja, karena memang pada dasarnya suruhan untuk mengikat tali perkawinan itu hanya dengan seorang perempuan.

Pentingnya pencatatan perkawinan

Pentingnya pencatatan perkawinan dan dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan Pencatatan pernikahan menjadi hal penting bagi masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum atas perkawinan dan kelahiran anak-anaknya. Pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan wajib untuk dilakukan meski tidak berkaitan dengan syarat sah suatu perkawinan.

Agar adanya kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga memudahkan dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga.

Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.

Agar ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan sosial lebih efektif.

Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih dapat ditegakkan.

Selain untuk mewujudkan ketertiban hukum pencatatan perkawinan juga mempunyai manfaat preventif, yakni agar tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan baik menurut ketentuan agama maupun menurut peraturan perundang-undangan, menghindari terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan melakukan pernikahan, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai istri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh pegawai pencatat.

Dampak yang terjadi apabila perkawinan tidak dicatatkan sosiologis, religius, dan yuridis

Dampak dari perkawinan yang tidak dicatatkan menurut ketentuan hukum pencatatan.

1. Substansi Perkawinan dianggap tidak sah

Meskipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara atau di mata hokum, substansi perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

2. Dapat ditalak kapan saja

Karena perkawinan di bawah tangan tersebut tidak tercatat, sehingga tidak ada bukti hitam di atas putih, maka suami akan dengan mudahnya menjatuhkan talak terhadap istri kapanpun dia kehendaki. Bahkan yang lebih parah, suami atau istri dapat mengingkari bahwa tidak pernah terjadi suatu pernikahan.

3. Status Hukum Anak Tidak Jelas Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 43 Undang- Undang Perkawinan). Sedang hubungan pe hirdata dengan ayahnya tidak ada.

Namun demikian, perkembangan terkini setelah terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. 

4. Hak Istri dan anak atas nafkah, warisan tidak terjamin

Baik anak maupun ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibatnya, baik isteri maupun anakanak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan di bawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta bersama. 

secara yuridis : jika perkawinan tidak dicatatkan maka pasangan suami istri tersebut dianggap tidak sah secara hukum, karena tidak ada bukti tertulis yang dapat menunjukkan bahwa mereka sudah melaksanakan akad. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak ada hubungan perdata dengan sang ayah.Isteri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam persoalan rumah tangganya, Isteri dan anak-anaknya menemui kesulitan untuk memperoleh dokumen keimigrasian 

secara sosiologis : jika perkawinan tidak dicatatkan maka jika ada seseorang yang belum tau bahwa pasangan tersebut sudah menikah, maka dapat dipandang kumpul kebo atau istri simpanan dan mungkin juga dapat tidak diakui oleh masyarakat sekitar bahwa mereka pasangan suami istri.

secara religius : jika perkawinan tidak dicatatkan maka Isteri tidak berhak mendapatkan nafkah, Isteri dan anak-anak yang dilahirkan tidak mendapat warisan dari suaminya dan begitu pula sebaliknya, Antara suami isteri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian dikemudian hari.

Perkawinan wanita hamil menurut KHI

KHI berpendapat bahwa hukumnya adalah sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya.3 Namun, apabila yang menikahi wanita tersebut adalah bukan lelaki yang menghamilinya maka hukumnya tidak sah.

Komplikasi Hukum Islam di Indonesia yang dinyatakan berlaku dengan instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 merupakan pedoman bagi hakim

dilembaga peradilan agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53, masalah kawin hamil diatur didalam tiga ayat :

1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.

3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya itu lahir.

Adapun dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkawinan wanita hamil adalah Q.S An-Nur (24):3 yang artinya "laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin".

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasal 53 Kompilasi Hukum Islam ini diterapkan hanya bagi wanita hamil yang pada saat kehamilannya itu wanita tersebut tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki manapun, baik statusnya masih perawan ataupun janda yang telah habis masa iddahnya. 

Dengan demikian, kehamilannya tersebut dipastikan adalah karena zina ataupun diperkosa. Sedangkan jika yang hamil adalah seorang wanita yang pada saat itu berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki yaitu suaminya, maka pasal 53 ini tidak dapat diberlakukan walaupun kehamilannya itu terjadi akibat perzinaan dengan lelaki lain yang bukan

suaminya.

Perkawinan wanita hamil menurut para ulama

Syafii, Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan mengawininya itu laki-laki yang menghamilinya, sebab hamil seperti ini tidak menyebabkan haramnya dikawini. Dalilnya terdaoat dalam QS. An-Nur: 3. Sedangkan Abu hanifah juga membolehkan mengenai hal ini. Secara umum, haram hukumnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain. 

TETAPI BILA WANITA YANG HAMIL AKIBAT ZINA, MAKA ADA BEBERAPA PENDAPAT ULAMA:

a. Pendapat Imam Abu Hanifah

Menurut Abu Hanifah bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh (sesama pezina). Kalau pun yg menikahinya itu bukan laki2 yang menghamilinya, maka laki2 itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.

b. Pendapat Imam Asy-Syafi'i

Pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.

Alasan: Janin yg bukan dari hasil perkawinan yang sah dianggap tidak ada, sehingga tidak berlaku masa iddah. Masa iddah menurut keduanya hanya dalam perkawinan yang sah dengan maksud untuk memelihara keturunan dan menghargai sperma. (Pendapat inilah yang cenderung dipilih oleh Pemerintah RI) sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) RI no.1/1991.

c. Pendapat Imam Malik & Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Malik & Imam Ahmad mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil, kecuali setelah ia melahirkan & telah habis 'iddahnya. Tapi jika tidak bertobat dari dosa zina, maka "menurut Imam Ahmad bin Hambal" dia tetap boleh menikah dengan siapapun. Pendapat Imam Malik tampak lebih berhati2 & lebih mashlahat demi memelihara agama. Selain berdasarkan QS.65:4.

Hal yang dilakukan untuk menghindari perceraian 

Ada beberapa cara untuk menghindari agar tidak terjadinya perceraian yaitu :

1. Saling mendengarkan satu sama lain

Dengan sering melakukan komunikasi dapat menjadikan kehidupan rumah tangga menjadi lebih harmonis, namun yang dimaksud sering komunikasi disini bukan komunikasi yang saling serang atau emosi berlebihan melainkan komunikasi bertukar pikiran dengan cara yang baik. Karena salah satu faktor yang merenggangkan suatu hubungan adalah kurangnya dalam komunikasi antar satu dengan yang lain. Dengan mendengarkan pasangan dapat diketahui bagaimana yang dia pikiran dan bagaimana yang dia rasakan, sehingga satu sama yang lain dapat mudah untuk mengetahui dan menyelesaikan jika terjadi suatu masalah.

2. Jangan saling menyalahkan

Salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan adalah saling menyalahkan jika terjadi pertengkaran. Padahal mendapat masalah dan terjadi pertengkaran di dalam rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Akan lebih baik jika terjadi suatu masalah diselesaikan secara baik-baik bagaimana mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.

3. Hargai keberadaan pasangan

Seiring dengan berjalannya waktu, maka seseorang akan memiliki perubahan dalam hidupnya. Hal yang penting dalam pernikahan adalah memahami, menghargai serta beradaptasi dengan perubahannya. Agar bisa mengingat mengapa Anda jatuh cinta dengan pasangan, cobalah untuk membuat daftar kelebihan pasangan yang membuat Anda jatuh cinta.

4.Menjaga komunikasi yang baik

Kesibukan masing-masing pasangan sering kali membuat komunikasi menjadi tidak baik karena intensitas mengobrol yang tidak lagi intens. Cobalah untuk meluangkan waktu 30 menit setiap harinya untuk membicarakan hal-hal yang dapat membuat Anda semakin dekat dengan pasangan.

Topik seperti kehidupan, minat, impian, hal-hal yang mengganggu pikiran serta perasaan yang saat ini dirasakan oleh pasangan.

5. Belajar memaafkan

Semua orang di bumi ini pasti memiliki kesalahan begitu juga dengan pasangan. Oleh sebab itu mulailah memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan dan melupakannya. Kerena tidak ada yang suka jika masalah sudah berlalu masih diungkit-ungkit lagi. Jika benar-benar tidak dingin bercerai maka lakukan lah hal tersebut supaya dalam rumah tangga tidak ada rasa bersalah dan dendam antar satu dengan yang lain.

Buku tulisan Dr. Aunur Rahim Faqih, S.H., M.Hum yang berjudul Hukum Kewarisan Islam, dalam buku ini menjelaskan tentang waris Islam yang dimana sangat dibutuhkan oleh mahasiswa atau para dosen yang ingin menambah ilmu dalam ranah hukum Islam. Hukum waris sendiri sangat penting bagi masyarakat mengingat banyaknya dari kita masih menggunakan hukum adat. setelah saya mereview buku ini saya dapat memahami waris Islam secara lebih mendalam, dan semoga bisa memberikan pengetahuan kepada orang lain tentang waris Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun