Baik anak maupun ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibatnya, baik isteri maupun anakanak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan di bawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta bersama.Â
secara yuridis : jika perkawinan tidak dicatatkan maka pasangan suami istri tersebut dianggap tidak sah secara hukum, karena tidak ada bukti tertulis yang dapat menunjukkan bahwa mereka sudah melaksanakan akad. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak ada hubungan perdata dengan sang ayah.Isteri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam persoalan rumah tangganya, Isteri dan anak-anaknya menemui kesulitan untuk memperoleh dokumen keimigrasianÂ
secara sosiologis : jika perkawinan tidak dicatatkan maka jika ada seseorang yang belum tau bahwa pasangan tersebut sudah menikah, maka dapat dipandang kumpul kebo atau istri simpanan dan mungkin juga dapat tidak diakui oleh masyarakat sekitar bahwa mereka pasangan suami istri.
secara religius : jika perkawinan tidak dicatatkan maka Isteri tidak berhak mendapatkan nafkah, Isteri dan anak-anak yang dilahirkan tidak mendapat warisan dari suaminya dan begitu pula sebaliknya, Antara suami isteri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian dikemudian hari.
Perkawinan wanita hamil menurut KHI
KHI berpendapat bahwa hukumnya adalah sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya.3 Namun, apabila yang menikahi wanita tersebut adalah bukan lelaki yang menghamilinya maka hukumnya tidak sah.
Komplikasi Hukum Islam di Indonesia yang dinyatakan berlaku dengan instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 merupakan pedoman bagi hakim
dilembaga peradilan agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53, masalah kawin hamil diatur didalam tiga ayat :
1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya itu lahir.