Mohon tunggu...
salman imaduddin
salman imaduddin Mohon Tunggu... Sales - Komunitas Ranggon Sastra

Control by eros

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Lebih Penting dari Menang adalah Sadar

7 Juni 2022   20:12 Diperbarui: 7 Juni 2022   20:55 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku mengangguk menyetujui. Air mata tanah air kami. Larik berikutnya.

"Air mata tanah air kami. Berarti air mata yang ga habis-habis itu menetes dari orang-orang yang ada di mana?"

"di Indonesia pak" jawabnya

Ku setujui. "Di sinilah kami berdiri menyanyikan air mata kami. Kenapa malah bernyanyi? mereka lagi sedih tapi mala bernyanyi" tanyaku.

"eh, iya yaa...emm mungkin karena kesedihannya sudah tidak bisa di atasi pak" jawabnya berpikir keras.

"nahh ya betul, karena sesulit itu maka mereka yang kesusahan dan kelaparan hanya bisa menikmati kesedihannya"

"berarti ini sedih pak puisinya. Tadi kenapa saya malah marah-marah ya bacanya" ia lanjut menanggapi.

"ya kamu...memang sedih ini puisinya"

Di balik gembur subur tanahmu Kami simpan perih kami. Larik berikutnya membawa kami ke ruang imajinasi berdasar quotes legendaris yakni Subur makmur gemah ripah lohjenawi. Dari kesuburan dan kekayaan alam negeri kita, masih begitu banyak penderitaan masyarakatnya. Kami simpan perih kami. Kesuburan kegemburan tanah kita menjadi pembelaan atas tertutupnya mata. Mereka-mereka yang betul-betul menderita seringkali tidak terlihat. Tegasku pada aktorku.

Di balik etalase gedung-gedungmu Kami coba simpan derita kami. Kali ini kami menyerengutkan dahi kami memaksa pikiran beranjak pada keseharian kami yang tinggal di kota. Gedung-gedung tinggi sahabat polusi udara menjadi pemandangan setiap hari. Orang-orang mapan memburu rupiah dengan mobil mewah. Orang-orang susah memburu receh dengan berjalan kaki. Kuceritakan pagiku di lampu merah pada pukul 6.10 menit sebelum ke sekolah di jalan saat terhenti lampu merah, aku melihat laki-laki tua memanggul karung. Kaosnya dekil putih menjadi abu-abu. Beralaskan sandal jepit. Ia menyebrang di hadapan kami yang gusar menunggu warna hijau. Rejeki terpatok ayam juga berlaku buat mereka. Hari masih gelap ternyata mereka juga sudah keluar mencari nafkah. Aktorku tercebur dalam alur cerita pagiku. Ia menyimak serius.

Mereka orang-orang yang kesusahan, orang-orang yang kelaparan sangat sering ada di sekitar kita. "coba deh, saat kamu berangkat ke sekolah atau pulang. Lihat sekelilingmu sering kali mereka terlihat begitu lelah dan berbaur dengan yang lainnya yang tidak kelaparan. Mereka pura-pura merasa baik-baik saja" kuutarakan pada aktorku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun