Kalau kita telisik dalam literatur fikih, jihad tidak selalu identik dengan perang. Makna jihad sebenarnya lebih luas dan tidak sesempit pemahaman IS. Perang hanyalah salah satu bagian terkecil dari jihad, dan hanya boleh digunakan pada kondisi darurat dan untuk membeladiri.
Bahkan sebagian mengatakan bahwa perang hanyalah sebatas instrumen jihad (wasilah), bukan tujuan jihad (ghayah). Jihad adalah bersungguh-sungguh dalam menyiarkan agama Islam, mengajarkan ilmu syariat, melindungi warga sipil, menebar kebaikan dan perdamaian.
Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in menjelaskan bahwa jihad tidak mesti dengan angkat senjata atau perang. Mengajarkan ilmu agama dan menyelesaikan permasalahan masyarakat juga termasuk bagian dari jihad. Bahkan, dalam pandangan sebagian para ulama, ikut serta dalam penyejahteraan masyarakat, seperti membantu pembayaran gaji dokter, harga obat, dan membayar gaji pegawai yang belum dibayar gajinya, juga dapat dikategorikan jihad.
Jihad tanpa berperang lebih tepat diamalkan pada situasi masyarakat damai seperti saat sekarang ini. Di beberapa negara misalnya, hubungan umat beragama sudah mulai membaik, Muslim dan non-Muslim dapat bergaul antara satu sama lain tanpa mempermasalahkan agama, dan mereka juga mampu melakukan kerja-kerja sosial meskipun berbeda agama. Pada situasi ini, memahami jihad sebatas perang justru akan bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan anti kekerasan.
Oleh sebab itu, hadits-hadits jihad yang identik dengan perperangan seharusnya dipahami berdasarkan konteksnya. Kebanyakan hadis perperangan lahir dalam situasi konflik antara Muslim dan non-Muslim. Memahami Islam haruslah komprehensif. Ada beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang berbicara mengenai perperangan, dan pada saat bersamaan ada pula ayat dan hadits yang menganjurkan perdamaian. Keduanya mesti diterapkan berdasarkan konteksnya; dalam hal ini ayat tentang perperangan diterapkan saat perang, dan ayat tentang damai diterapkan pada saat damai, bukan sebaliknya.
Apakah masih ada anjuran untuk hijrah?
Meskipun anjuran hijrah masih ada, namun perlu digaris bawahi bahwa, tidak semua orang diharuskan untuk hijrah. Ulama fikih membagi hukum hijrah dalam tiga kategori:
Pertama, hijrah diwajibkan kepada orang yang mampu melakukannya dan dia tidak diberikan kebebasan dalam menjalankan kewajiban agama di daerah asalnya. Orang yang berada dalam situasi ini, diharuskan bagi mereka untuk hijrah guna dapat melaksanakan kewajiban agama. Hal ini didasarkan pada surat Al-Nisa’ ayat 97;
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Qs. Al-Nisa’: 97).
Kedua, tidak ada kewajiban hijrah bagi orang yang tidak mampu melakukannya, misalnya orang tua, perempuan, anak-anak, dan lain-lain, sekalipun di tempat tinggalnya mereka tidak bebas melaksanakan kewajiban agama. Pengecualian ini dipahami dari surat Al-Nisa’ ayat 98;