Mohon tunggu...
Salma Asti
Salma Asti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Journalism Student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Emotional Abuse, Kekerasan Tak Kasat Mata

30 Desember 2022   15:00 Diperbarui: 3 Januari 2023   12:30 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Bunga, penyintas kekerasan seksual revenge porn. (sumber: Davies Surya/BBC Indonesia via kompas.com)

"Halah! Istilah dari mana lagi sih itu?", kata mereka yang masih awam mengenai istilah emotional abuse atau pelecehan mental. Istilah tersebut masih sangat awam di tengah masyarakat karena tidak terlihat wujud nyatanya. 

Namun, seseorang dapat terlihat jika ia merupakan korban dari emotional abuse dengan cara bagaimana dirinya bersikap dengan orang lain. 

Menurut Moffat dikutip oleh Wulandari (2018) kekerasan emosional dapat diartikan sebagai perilaku atau sikap yang dapat mengganggu perkembangan sosial ataupun kesehatan mental seseorang. 

Selain itu, menurut Beverly Engel, penulis The Emotionally Abusive Relationship, emotional abuse didefinisikan sebagai sikap nonfisik yang dilakukan untuk mengendalikan, menghukum, atau mengisolasi orang lain dengan penghinaan atau berbagai bentuk ancaman.

Tindak kekerasan ini sering ditemukan dalam suatu hubungan yang toxic dan memiliki pola yang berulang serta konsisten. 

Misalnya, ketika kamu tidak melakukan hal sesuai kemauan sang pasangan, pasanganmu akan melakukan penghinaan, mencari-cari cara untuk meyakinkan bahwa kamu merupakan unsur masalahnya, memojokkan kamu dengan berbagai ancaman hingga akhirnya tidak dapat membela diri dan berakhir mengalah. 

Tidak sampai di situ, rasanya tidak lengkap bagi pasanganmu apabila tidak menambahkan unsur manipulatif. 

Setelah kamu mengalah, si manipulator pun meminta maaf dan meyakinkan kamu bahwa dirinya melakukan hal tersebut sebagai wujud kepedulian serta kasih sayang. Hal tersebut pun terus berulang di masalah-masalah berikutnya. 

Pada akhirnya kamu yang menjadi korban emotional abuse tersebut kehilangan kepercayaan diri, tidak bisa memperjuangkan kebenaran untuk diri sendiri, selalu dihantui dengan rasa ketakutan hingga akhirnya sulit untuk keluar dari hubungan toxic tersebut.

Mayoritas menganggap kekerasan yang tidak menimbulkan kecacatan pada fisik masih dapat ditolerir. Banyak korban yang takut dianggap terlalu membawa perasaan atau baper karena apa yang dilakukan pasangannya hanya sebatas kekerasan verbal yang tidak melukai fisik.  

"Ya.. setiap orang kan punya caranya masing-masing buat nunjukin rasa cintanya", pernyataan tersebut menjadi cara korban untuk memaafkan dan menormalisasikan perlakuan kekerasan verbal yang dilakukan oleh pasangannya.

Pelaku emotional abuse dalam sebuah hubungan memiliki pikiran bahwa mengontrol hidup pasangannya merupakan cara untuk menunjukkan rasa peduli dan cinta. 

Film mengenai emotional abuse berjudul
Film mengenai emotional abuse berjudul "MAID". Sumber: Ne  

Pelaku akan menuntut pasangannya untuk selalu menjawab pesannya, mengangkat teleponnya, mengabari siapa yang sedang duduk di sebelahnya, mengontrol pakaian yang digunakannya dan jika hal tersebut tidak dituruti, pelaku akan marah. 

Mungkin contoh yang lebih gila lagi, pelaku biasanya memiliki akses media sosial pasangannya untuk mengontrol followers lawan jenis yang dimiliki pasangannya. 

Rupanya setelah termanipulasi pelaku tidak puas jika pasangannya tidak juga terisolasi. Hal tersebut dilakukan untuk meyakinkan bahwa pasangannya adalah miliknya seorang, prioritas dalam hidupnya sehingga mau tidak mau semua perhatian harus tertuju kepada dirinya. 

Jika korban sudah berani untuk membela dirinya, pelaku akan membuat korban merasa tidak layak melakukan hal tersebut dengan melontarkan kalimat-kalimat intimidasi seperti "Oh, sudah mulai berani ya sekarang".

Pelaku emotional abuse biasanya akan mencegah pasangannya untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman atau bahkan keluarganya sendiri. 

Mereka akan menyalahkan korban atas tindakan kekerasan yang pelaku perbuat, memaki dengan kata kasar atau nama hewan hingga korban merasa terpuruk. 

Namun, canggihnya pelaku dapat memanipulasi hal tersebut sehingga korban berujung merasa bersalah padahal tidak melakukan kesalahan apapun.

Seorang pelaku emotional abuse dapat melakukan hal-hal yang memiliki dampak berkepanjangan bagi korbannya. Kondisi emosional para pelaku tidak tertebak dan dapat berubah dalam hitungan jam. 

Pagi ini pelaku bersikap baik, sweet, patut diberikan penghargaan sebagai pasangan terbaik, tetapi ketika di malam hari perlakuannya berubah drastis menjadi seseorang yang sangat pemarah. 

Hal ini menjadi salah satu faktor sulitnya korban untuk meninggalkan pasangannya karena menciptakan harapan pasangannya dapat berubah menjadi lebih baik. Belum lagi ancaman bunuh diri ketika pasangan akan mengakhiri hubungan toxic tersebut. Pelaku akan terus mencari-cari alasan untuk korban dapat memaafkan perlakuan kejamnya. 

Entah itu alasan mental, trauma masa kecil, atau masalah pekerjaan. Tidak ada alasan apapun yang dapat menjustifikasi tindak kekerasan. Beberapa contoh alasan tersebut mungkin bisa menjadi pembelaan pelaku tetapi tidak untuk alasan pembenaran. 

Ini bukan tentang kisah heroik untuk mentolerir perlakuan kekerasan yang diberikan oleh pasangan. Sudah pasti masalah tersebut ada pada diri pelaku dan bukan tugas pasangannya untuk menyembuhkan.

Menunggu pasangan yang merupakan seorang pelaku kekerasan untuk berubah sama saja membiarkan dirinya untuk mengontrol hidup pasangannya. 

Jika dibiarkan, perilaku buruk pelaku akan menjadi konsumsi sehari-hari korban selama hidupnya. Banyak korban yang akhirnya meragukan kewarasan dirinya karena pelaku memang lihai bermain dalam pikiran.

Seseorang yang menjadi korban dari emotional abuse akan selalu meminta maaf walaupun dirinya tidak berbuat salah. Hal tersebut berangkat dari permasalahan dalam hubungan sebelumnya dimana pelaku yang selalu berhasil memanipulasi korban. 

Selain itu, korban akan selalu menyembunyikan perasaannya demi tidak mengecewakan perasaan orang lain. Pada akhirnya korban akan memiliki self esteem yang rendah karena trauma kekerasan verbal yang diberikan oleh pasangannya selama menjalin hubungan bersama.

Minimnya informasi dan kurangnya edukasi mengenai berbagai jenis kekerasan menjadi salah satu faktor seseorang melakukan kekerasan emosional. 

Tidak sedikit korban yang menganggap hal ini sepele karena tidak meninggalkan lebam pada fisik yang pada kenyataannya meninggalkan lebam pada kondisi mental seseorang. 

Dari berbagai kasus kekerasan, masyarakat selalu diberikan berbagai tindakan preventif setelah terjadinya kasus kekerasan. Memang, hal tersebut sudah sangat baik untuk mencegah meningkatnya angka korban kekerasan kedepannya. 

Namun, apakah akan lebih baik lagi apabila masyarakat lebih diedukasi mengenai berbagai macam tindak kekerasan untuk mencegah munculnya pelaku-pelaku kekerasan sehingga angka kasus kekerasan akan berkurang. 

Tanpa disadari, pelaku-pelaku seperti ini datang dari ketidaktahuan dan kurangnya informasi. Mereka mendapatkan sumber informasi yang salah yang kemudian menjadi kebiasaan dan mengimplementasikan hal yang salah tersebut kepada orang lain.

Perlu diingat, emotional abuse is still abuse, kekerasan emosional tetaplah kekerasan. Apabila pasangan memang menyayangimu, dirinya akan memiliki rasa respek dan memberi ruang privasi. 

Selalu sadari tanda-tanda hubungan toxic dan tinggalkan secepat mungkin karena suatu hubungan tidak seharusnya memberikan rasa keterpurukan terus menerus.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun