Hubungannya dengan sebuah bahasa daerah yang terancam punah, Salminen (1999), mengemukakan bahwa berdasarkan kondisi atau vitalitas bahasa, maka dapat digolongkan menjadi enam kelompok, yaitu:
- Bahasa  yang  punah  (extinct languages),  bahasa  tanpa  penutur lagi;
- Bahasa hampir punah (nearly extinct languages), bahasa dengan sebanyak-banyaknya  sepuluh penutur yang semuanya generasi tua;
- Bahasa yang sangat terancam (seriously endangered languages), bahasa dengan jumlah penutur yang masih banyak, tetapi anak-anak mereka sudah tidak menggunakan bahasa itu;
- Bahasa terancam (endangered languages), bahasa dengan penutur anak-anak, tetapi  cenderung menurun;
- Bahasa yang potensial terancam (potentially endangered languages) bahasa dengan  banyak penutur anak-anak, tetapi bahasa itu tidak memiliki status resmi atau yang prestisius;
- Bahasa yang tidak terancam (not endangere languages), bahasa yang memiliki  transmisi ke generasi baru yang sangat bagus.
Kaitannya dengan hal tersebut, Grimes (dalam Muhammad Darwis, 2011) mengemukakan enam gejala yang menandai kepunahan bahasa pada masa depan, yaitu (1) penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, (2) semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa ibu, (5) penutur generasi terakhir sudah tidak cakap lagi menggunakan bahasa ibu, artinya tersisa penguasaan pasif (understanding without speaking), dan (6) contoh-contoh mengenai semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa, seperti keterancaman bahasa Kreol dan bahasa sandi.
Selanjutnya, Summer Insitute of Linguistics (SIL) (dalam Muhammad Darwis, 2011), menyebutkan bahwa paling kurang dua belas faktor yang berhubungan dengan kepunahan suatu bahasa, yaitu (1) kecilnya jumlah penutur, (2) usia penutur, (3) digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak, (4) penggunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5) perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, (6) urbanisasi kaum muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9) intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, dan (12) kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa.
Apabila kedua belas atau ketiga belas variabel kepunahan bahasa sebagaimana dinyatakan oleh SIL di atas jika dicocokkan dengan kondisi bahasa Banda saat ini, maka semuanya hampir relevan dengan keterancaman punahnya bahasa Banda. Selain itu juga, keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 24 Tahun 2009 dianggap memiliki dampak yang sangat besar terhadap berkurangnya penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat penuturnya. Dalam kaitan ini, mengutip pendapat Muhammad Darwis (2011), bahwa bahasa Indonesia dalam politik nasional dengan sengaja dikondisikan sebagai bahasa yang berprestise, yaitu bahasa ini ditanggapi sebagai aspek kebudayaan yang tinggi, sehingga orang terdorong untuk menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
Dengan cara ini, warga masyarakat mengidentifikasikan ketinggian derajat sosial mereka melalui penggunaan simbol-simbol atau bahasa prestise tersebut. Akibatnya, masyarakat bersikap positif terhadap bahasa Indonesia sehingga pada gilirannya mereka bersikap negatif terhadap bahasa daerah. Lambat-laun bahasa daerah tidak diperlukan lagi sebagai lambang identitas budaya dan daerah atau etnik.Â
Seharusnya yang terjadi adalah bagaimana membuat bahasa daerah bisa memberi kontribusi penguasaan dan pengayaan bagi bahasa Indonesia. Selanjutnya, diharapkannya agar bahasa Indonesia menggali kosakata yang ada dalam bahasa daerah dan mengangkatnya untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia.
Selain bahasa Indonesia, bahasa asing juga memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap berkurangnnya penggunaan bahasa Banda oleh generasi muda. Bahasa asing dianggap sebagai cerminan gaya hidup modern dan memiliki nilai yang sangat prestise jika dibandingkan dengan bahasa Banda yang terkesan terbelakang dan tidak memiliki daya saing. Generasi muda cenderung lebih nyaman dan percaya diri jika menggunakan istilah-istilah asing dalam pergaulan sehari-hari, terutama generasi muda yang bermukim di daerah perkotaan. Fenomena ini tentu saja tidak bisa terlepas dari situasi dan era di mana kita berada.
Saat ini, kita berada pada suatu era di mana tidak ada lagi batasan kehidupan sosial antara berbagai bangsa di dunia. Ketiadaan batasan itulah yang berdampak terhadap eksistensi bahasa daerah, termasuk bahasa Banda sebagai salah satu aset budaya bangsa. Dan jika kita tidak mengantisipasi situasi ini, maka sama halnya kita membiarkan warisan budaya leluhur ini tergerus habis oleh arus globalisasi. Dan pada akhirnya, kita akan kehilangan identitas diri sebagai sebuah bangsa yang berbudaya.
Upaya Melestarikan Bahasa Banda
Keberadaan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional hendaknya menjadi perhatian semua pihak untuk tetap menjaga dan melestarikannya. Untuk itu, maka diperlukan strategi penanganan yang sistematis dari semua stackholder, terutama pemerintah dan masyarakat penuturnya. Terkait dengan itu, Sugiyono (2013), berpendapat bahwa penanganan terhadap bahasa dan sastra daerah diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah. Dalam pengembangan bahasa dilakukan upaya memodernkan bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, dan pengembangan laras bahasa.
Dalam pembinaan bahasa dilakukan upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif masyarakat terhadap bahasa itu. Sementara itu, upaya perlindungan dilakukan dengan menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajaran.