Di sisi lain, menurut James T. Collins dan Timo Kaartinen (1998), orang Banda mampu menjelaskan sejarah perkembangan bahasa Banda di Kepulauan Kei, namun sangat sedikit yang diketahui tentang bahasa tersebut. Menurut keduanya, hanya sekitar 292 kosakata yang diketahui melalui Van Eijbergen (1864), Stresemenn (1927), Chlenov (1969), dan Wallace (1869). Kecuali beberapa contoh oleh Collins (1982, 1983, dan 1986).Â
Dari situ kemudian, James T. Collins dan Timo Kaartinen menyimpulkan bahwa belum ada informasi yang dipublikasikan apalagi deskripsi tentang bahasa Banda pada abad ini. Dan barulah pada tahun 1994-1996, Timo Kaartinen melakukan penelitian secara mendalam terhadap bahasa Banda. Ada dua aspek yang yang diteliti yakni; Pertama, tentang morfologi dengan fokus pada paradigma infleksi. Kedua, tentang aspek pengaturan multi bahasa.
Menurut Timo Kaartinen (2012), bahasa Banda termasuk salah satu bahasa daerah yang rumit. Karena kerumitan itu pula yang membuat orang Kei sulit untuk mempelajari bahasa Banda.Â
Namun demikian, orang Banda masih tetap mempertahankan beberapa unsur tata bahasa, seperti konjugasi lisan dan bentuk-bentuk kepunyaan, yang telah menghilang dalam bahasa-bahasa di Seram Timur. Â Sampai saat ini, penutur bahasa Banda diperkirakan paling banyak 5.000 orang penutur, jumlah ini dianggap paling sedikit jika dibandingkan dengan bahasa Kei yang memiliki lebih dari 100.000 orang penutur.
Tata bahasa yang rumit dari bahasa Banda tidak digunakan terbatas hanya pada wilayah yang intim dan pribadi. Setidaknya hingga tahun 1980-an, bahasa Banda digunakan untuk pidato di depan publik. Orang-orang Banda sering menggunakan bahasa Banda di saat mereka berupaya mengatasi berbagai pertikaian yang menyangkut perkawinan dan konflik tanah.Â
Keunggulan menggunakan bahasa Banda dalam konteks semacam itu, memungkinkan mereka untuk mengutarakan secara jujur perasaan hati yang terluka dan harga diri yang dilanggar. Berbeda dengan banyak bahasa lain yang telah usang, bahasa Banda secara mencolok telah bertahan hidup lama sebagai salah satu medium untuk mengungkapkan kemarahan, harga diri, dan otoritas.
Ancaman Kepunahan Bahasa Banda
Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan bahasa Banda dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Banda mulai berkurang. Selain dari sisi penutur yang semakin berkurang, perubahan juga terjadi pada kosakata serta pemaknaannya.Â
Kondisi tersebut tentu saja tidak berdiri sendiri, akan tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah penggunaan bahasa Melayu Ambon yang semakin intens dalam beberapa dekade terakhir ini sebagai bahasa pengantar.Â
Selain bahasa melayu Ambon, Bahasa Kei juga memiliki pengaruh yang cukup bagi penggunaan bahasa Banda oleh penuturnya, penyebabnya adalah orang Banda selain mampu menuturkan bahasa Banda, mereka juga memiliki kemampuan untuk menuturkan bahasa Melayu Ambon dan Bahasa Kei.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh James T. Collins dan Timo Kaartinen (1998), bahwa sebagian dari orang Banda, baik yang bermukim di Banda Ely maupun di Banda Elat dapat berbicara dalam tiga bahasa, yakni; Bahasa Banda, Bahasa Kei, dan Bahasa Melayu/Indonesia. Dan jika situasi ini terus dibiarkan, maka akan berdampak terhadap eksistensi bahasa Banda pada masa yang akan datang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Darwis (2011), bahwa kalau suatu bahasa secara terus-menerus mengalami pengurangan jumlah penutur sehingga pada akhirnya kehilangan atau kehabisan jumlah penutur asli sama sekali, maka bahasa itu sudah jelas akan bernasib punah.